Minggu, 09 Agustus 2015

Sparkle VII Happy fvcking Birthday.

Nama adalah Cerita
Sparkle : VII

Happy Fvcking Birthday!!

     Sebuah budaya yang  mendunia disegala kawula. Suasana yang diperingati setiap tahun bagi setiap orang ini dikatakan untuk bisa lebih membahagiakan. Entah siapa yang merasa bahagia jika harus dijadikan “hina” terlebih dahulu bahkan kemudian dituntut harus rayakan pesta atau mentraktir. Ini negara bernama indonesia. Perubahan dari gaya hidup yang mengikuti sesuai arus trend-trend Barat. Tetapi dari Barat bagian mana jika yang akan dibahagiakan harus dijadikan hina terlebih dahulu. Dihadapan khalayak ramai, dilempari, dilumuri, ditertawakan, hingga mengotori tempat dan  pakaian. Sungguh hina, sangat hina.
     Iya, tentu tidak semuanya dilakukan hal yang demikian, tidak lagi bahkan. Itu hanyalah perilaku manusia-manusia berusia kencur. Ini  hanya sekedar membawakan kejutan di detik-detik pertama hari kelahirannya kala ia tidur. Ia akan terbangun dengan terkejut serta perasaan yang berubah menjadi bahagia karena ada saja orang yang peduli terhadap hari lahirnya. Padahal sebenarnya, mereka yang yang melakukan itu sangat berharap agar mengalami hal yang sama terjadi padanya, namun berinisiatif membungkusnya dengan kertas plastik bernama persahabatan atau kertas minyak bernama cinta. Berharap sekali. Karena dengan kekuatan berharap inilah mereka berani untuk melakukannya terhadap orang lain terlebih dahulu. Its called  The power of Ngarep.
     Tapi bagaimana jika mereka kemudian melakukan hal yang sama, namun pada saat yang tidak tepat, entahlah, namanya saja juga kejutan. Bisa saja datang tanpa dugaan. Walau kondisi sedang sangat tidak memungkinkan, mood tak beraturan, atau ada moment lain yang sedang sangat sama sekali tidak bisa dienyahkan.
     “kau tahu fi, rasanya aku mau kembali ke masa itu.”
     “masa apa? Seenaknya ingin kembali kemasa ini dan itu.”
     “kau ingat insiden hari minggu itu? Di pantai, kado yang dicuri?”
    “bukannya kau yang besikeras agar kita tidak memikirkan hal itu, bahkan sampai membicarakannya lagi. Whats wrong with you, dude?”
     “of course I am, itu karena aku gak mau mengingat itu, karena aku gak akan pernah terima hal seperti itu. Kau bisa bayangin kan, kita semua satu demi satu telah dia kerjai dan dibahagiakan, diberikan sureprise. Tapi malah, … dan kau tahu siapa yang langsung menenangkan kita? Bukan dia.’’
     “kakaknya, kan?.”
     “Tepat sekali. Hafia.”
     Jika kembali kuawang kejadian itu. Dimana aku dan beberapa sahabat kecilku yang baru saja lulus ujian SNMPTN akan memberikan kejutan kepada sahabat kami yang sangat berjasa. Karena di kediamannya kami mendapatkan fasilitas untuk mengerjakan semua prosedur-prosedur untuk masuk ke peruruan tinggi. Fasilitas yang dimiliki rumah itu tentunya sangat mendukung.
    Berawal dari hari kelahiranku yang sudah lama ia persiapkan. Ia telah merencanakan dengan sangat matang. Ia paham bahwa aku bukan orang yang teledor. Ia tahu jika melakukan itu tepat pada hari H, maka pasti akan gagal. Karena ia tahu bahwa aku bukan orang yang bodoh yang mau menerima jika dilakukan hal demikian. Toh dirumahku, tidak ada budaya seperti itu. Iya semua orang juga tidak ada budaya melempar telur dirumahnya. Maksudku, perayaannya. Dirumahku, tidak ada budaya yang diawali dengan meniup lilin, memotong kue dan pemberian hadiah. Cukuplah uang jajan yang setiap hari diberikan. Meskipun juga halnya orang tuaku adalah perias kue terbaik untuk acara-acara seperti itu. Aku juga yang melayani para pelanggan untuk pemesanan kue seperti apapun yang diinginkan, akan kami tempah dengan senang hati.
     Namun temanku yang satu ini, ia berencana melakukannya sehari sebelum hari itu, tepatnya pada malam sebelum hari itu. Dengan melakukan adegan bahwa ia kehilangan kunci gerbang rumahnya. Ia memintaku untuk mencarikannya dengan bantuan senter kecil dari telfon genggam milikku. Saat aku sedang mencarinya dalam kegelapan disemak rerumputan dekat dengan parit kecil dan disebelahnya ada sebuah tempat sampah beton kecil, secara tiba-tiba ia menyiramkan ramuan super bau. Isinya telur ayam busuk yang dicampur dengan terasi, sedikit air yang bahkan, ugh! kau tahu, aku sendiri mual saat akan mengatakan ini. Ia menyiramnya tepat mengenai kepalaku. Utuh, basah sepenuhnya dengan larutan super bau itu.
    Aku menatapnya dengan emosi amarah, berserapah, namun tidak mungkin, mau dikata apa, nasi sudah menjadi bubur dan bubur pun telah habis disantap. 
   “bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan mengingatnya dan akan melakukan ini? Aku menepati janjiku kan?” katanya polos mementalkan serapahku.
   “iya, tapi ini belum juga, ini masih tanggal berapa? Seharusnya besoklah hari kelahiranku. Ouh shit. Sumpah ini sama sekali tidak nyaman, baunya hueeekk” aku mual dan hampir saja memuntahkan isi lambungku.
    “siapa peduli? Yang penting hari ini kau akan babak belur. Ayo kita habisi dia malam ini! Lempar lagi telurnya” ajaknya yang kemudian menyerangku dengan hina. Melempariku lagi dengan beberapa butir telur tepat mengenai kepalaku, pun ditaburi lagi dengan tepung hingga menutup selruh bagian rambutku. Mereka mentertawaiku dengn terbahak. Sangat hina menurutku.
     “jangan coba-coba maju atau kau akan, ..” belum sempat ia menyelesaikan ancamannya aku datang dengan menggenggam sisa-sisa larutan super bau buatannya dan menaburi ke seluruh wajahnya dan dilanjutkan dengan beberapa wajah teman-temanku yang lain.
      “sekarang pulanglah dan ganti pakaianmu itu. Lalu kembalilah kemari segera. Maaf kamar mandi dirumah ini tidak melayani bau busukmu itu”
      Sejurus kemudian, pun aku kembali ke tempat kediamanku. Di sebuah pabrik air minum dalam kemasan milik ayahku yang sudah tidak beroperasi lagi karena tidak ada lagi dana yang akan menggerakkannya. Suasananya terkadang menyeramkan, maka terkadang aku sering mengajak temanku ntuk menginap. Setelah aku samapai di pabrik ini aku membersihkan diri dan mengganti pakaian kemudian kembali ke rumah itu yang tak jauh dari tempatku.
      Saat aku membuka pintu dan masuk mereka menyambutku dengan kejutan. Dengan sebuah black forest yang bertuliskan namaku dan tentunya sebuah bingkisan. Mereka memintaku untuk memotong kue dan menyuapi mereka satu demi satu dari mereka berempat. Kenapa harus seperti ini? Pun juga mereka memaksaku untuk membuka bingkisan itu. Setelah kubuka isinya sebuah kemeja hitam, mereka paham warna kesukaanku.
    “tuh, pake yang baru, jangan pake yang itu melulu.” Ledek mereka yang ternyata memperhatikan apa yang sering kukenakan ditubuhku. Pakaian serba hitam. Maklum, selama kugeluti dunia sulap aku terbiasa dengan black style. Mereka mengira bahwa aku hanya mengenakan yang itu terus-terusan padahal aku memiliki banyak pakaian hitam. Walau demikian aku menerimanya dengan senang hati. Tapi, dalam benakku, aku merencanakan program pembalasan. Akan ku cari tahu dan kuingat tanggal lahir mereka semua. Terkhusus kepada gadis pemilik rumah dan pembuat larutan super bau itu.
      Kami pun merencanakan hal itu tanpa sepengetahuannya. Namun hari yang menjadi hari kelahirannya tidak memungkinkan kami untuk bisa merealisasikannya. Karena itu adalah masa-masa dimana kami sudah memasuki dan melakukan kegiatan sebagai mahasiswa. Maka kami pun merencanakannya tujuh hari lebih awal. Beberapa properti kami siapkan. Tak lupa larutan yang kuracik dengan resep yang sama seperti racikannya. Kue serta sebuah boneka berukuran lumayan besar berwarna kesukaannya, sebagai apresiasi untuk sahabat kami tercinta.
     Namun, pada hari itu, minggu, hari yang menjadi hari pembalasan untuknya tiba. Persiapan serta prosedur peleburan dalam bingkisan kebahagiaan telah matang dengan ranum. Tapi tidak!. Sematang apapun rencana itu, persiapan itu, adalah nihil. Sepertinya gadis dengan hijau sebagai warna favoritnya itu telah mengetahui rencana ini. Aku dan teman-temanku yang lain merasa aneh, siapa dalang yang membeberkan rencana ini. Anehnya lagi, anak itu tidak hanya mengetahui, ia menghilang. Ponselnya tak bisa memberikan kami petunjuk. Segera kuhubungi sang kakak perempuannya yang manis itu. Ia memberi kami jalan bahwa ia dan adiknya telah tiba di pantai. Tepat sekali. Ia berada tepat di tempat eksekusi.
     Setelah tiba di tempat itu, di salah satu pondok yang berada sedikit jauh dari beberapa pondok lainnya di pinggir pantai. Pondok pantai yang menyediakan makanan khasnya. Yaitu rujak dan mie instan yang dicampur dengan bumbu khusus khas Aceh. pondok ini tidak terlalu ramai walau ini adalah akhir pekan. Tanpa banyak basa-basi lagi aku langsung menyembunyikan dua buah kotak yang masing-masing berisi kue yang terukir namanya dan sebuah boneka dengan warna kesukaannya. Kusembunyikan agak jauh dari pandangan khalayak.
     “yan, kau bawa ramuannya ya, kita langsung menyerangnya di tempat” tutur Hafia mengatur strategi.
    “ah, tidak. Dia sedang di dalam air laut. Kita akan terkena imbasnya terlebih baunya juga. Cukup telur saja. Ini ambil beberapa butir ya.” Bantahku sambil memberinya dua butir telur dan langsung berlari menuju sahabat kami itu dan plak! plak! Dua butir telur dari ku dan Hafia remuk di kepalanya.
    “happy birthday! Iya, sorry terlalu cepat memang. Tapi takutnya kita tak akan bertemu lagi tepat pada tanggal kelahiranmu.”
    “iya, kita akan sibuk sebagai mahasiswa baru.” Jelasku dan Hafia sembari meninggalkannya dengan wajah yang aneh. Beda. Sangat beda.
   “terserah! Apapun alasannya! Aku benci hari ini! Aku tidak suka dengan hari ini!” serapahnya dengan wajah jengkel yang diaduk dengan amarahnya. Aku dan Hafia meninggalkannya dengan bingung dan langsung menuju meja kami yang berdekatan dengan kakaknya untuk mempersiapkan kejutan selanjutnya.
   “Kak, adikmu kenapa? Kok dingin gitu?” Tanya Lita pada sang kakak yang baru saja datang dari pemandiannya.
     “entahlah Lita, kakak juga tidak paham. Kalian berencana mengerjai dia hari ini? Tapi ulang tahunnya kan masih sepekan lagi. Ooh iya kalian udah pada kuliah nantinya ya. Mungkin saja dia sedang pms.” Jelas kakakn perempuannya yang manis itu.
            Ia tak kembali ke meja. Padahal kami menungunya sedari tadi. Ia tetap berada didalam rendaman air laut. Mungkin ia tidak mau dilempari lagi. Sudahlah kami tidak peduli, sekaan saatnya pemotongan kuenya serta pemberian hadiah. bertubi-tubi Cici dan Lita mencoba mengajaknya kemeja, namun ajakannya dihempas dengan gelengan keala dan wajah yang murung pula. Namun kami menunggunya hingga hari semakin gelap. Mentari sepertinya lelah dan juga bosan menunggu pelepasan kebahagiaan kami untuk sahabat kami ini. 
   “sudahlah, kak, tolong bawakan ini keumah ya. Akan kuambilkan kadonya dulu.” Kataku sambil menyerahkan kotak yang berisi kue yang bertuliskan namanya. Saat aku berjalan menuju tempat dimana kado itu kusembunyikan, aku memikirkan tatapannya yang tak biasa. Kureka kembali kata-katanya tadi. Bahwa ia sangat benci hari ini, tanggal hari ini. Apa ada kenangan yang menyedihkan atau, ah biarlah mungkin benar kata kakaknya yang manis itu. Mungkin ia sedang pms. Namun saat kepalaku mendongak keluar pagar pondok dan mencoba mengambil kado itu, kado yang dibalut dengan kertas bingkisan berwarna hijau sudah tidak ada lagi. Gawat! Kadonya dicuri. Sial padahal tempat ini sedikit tersembunyi dari keramaian.
    “Woy Hafia! Kadonya hilang! Apa mungkin kau memindahkannya? Atau ada yang sudah mengambilnya?” teriakku pada mereka.
   “tidak ada. Tidak ada yang tahu dimana kau menyimpannya. Kau yakin menaruhnya disini? Coba tanyakan pada pemilik pondok ini.” Setelah kami tanyakan ternyata nihil. Tak ada yang menyadari kebeadaan kado itu.
      “kau meletakkannya sembarangan sih, dicuri kan. Sekarang kekmana?” Lita dan Cici gelisah. Tiba-tiba seorang wanita muda yang sedang menggendong anaknya mendatangi kami dan mengatakan bahwa kado yang sedang kami cari baru saja dibawa lari oleh orang dengan sebuah becak.
            “kadonya agak besar kan? Bewarna hijau?” tanyanya lagi.
            “iya betul kak. Betul sekali.”
            “iya baru saja becak itu pergi ke arah sana. Kalau dikejar mungkin masih sempat. Bang, coba kejar saja mumpung belum jauh.” Papar wanita muda itu dan meminta sang suami untuk menolong kami dengan mengejar becak bermotor yang menjadi angkutan umum dikota ini.  Tanpa pikir panjang sang suami yang menjadi superhero kami pun langsung mengejar dengan sepeda motor miliknya. Pun Hafia menarikku dan langsung berlari menuju parkiran.
           “jangan diam saja, ayo cepat.” Ajaknya dan langsung menyalakan motor kemudian melaju dengan kecepatan penuh.
        “itu! Itu fia. Aku melihat orang yang menolong kita tadi. Dan pasti itu becaknya.” Kataku. Hafia langsung menuju orang tadi yang telah memberhentikan becak yang mencuri kado untuk sahabat kami.
         “Pak! Kado yang bapak bawa tadi itu milik mereka.” Kata superhero kami kepada tukang becak yang ternyata seorang bapak yang membawa istri serta dua anaknya yang masih kecil. Ingin kuserapahi, namun itu cih, nihil. aku menjadi iba. karena itu orang tua.
      “ooh, milik kalian ya dek, waah maaf ya. Bapak kira nggak ada yang punya. Sebab jauh dari penglihatan orang. Maaf ya dek.” Tutur sang bapak tukang becak dengan wajah bersalah dan sedikit senyuman. 
     Aku langsung meraih kembali kado yang berada di bagian bepan bangku penumpang dan ditutupi dengan selembar handuk putih kecil. Perasaanku berkecamuk antara amarah dan rasa iba. Tak kuhiraukan sedikitpun permintaan maaf bapak itu dan apapun yang dikatakannya, aku hanya melihatnya sekilas. Aku tak peduli. Aku dan Hafia langsung berterima kasih kepada superhero kami yang telah membantu kami mengejar kado kami. Ingin sebenarnya kusebut sebagai pencuri, tapi ah, sudahlah, kado untuk sahabat kami telah kami dapatkan kembali dengan utuh. 
      Saat aku dan Hafia tiba di pondok dengan membawa kado, aku melihat Lita dan Cici sudah di parkiran. Wajah mereka murung. Mereka merangkul kotak yang berisi kue untuk sahabat kami itu. Ternyata ia dan kakak perempuannya yang manis itu telah pulang terlebih dahulu sebelum kami datang, pun  karena hari juga semakin gelap. mereka diacuhkan?

            “sudahlah. Ayo kerumahnya dan letakkan benda-benda sialan ini di depan pintu rumahnya. Lalu kita pulang.”

Sparkle: VI Ilahi, Secepat Itukah?

Ilahi, Secepat itukah?
Malam itu awan masih terlihat seperti biasanya, datar tanpa senyuman rembulan. Tidak hujan bahkan tidak berbintang. Seolah langit menjadi hampa tanpa ornamen-ornamen ciptaan dan kuasa ilahi Rabbi. Pun terpaan angin tidak merdu malam itu. Suasana gedung putih tempat para mahasiswa calon kader yang disiapkan oleh Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia untuk mengemban risalah da’wah, warisan para Nabi dan Rasul, tampak terlihat aneh. Kebanyakan dari mereka terlihat murung dan lesu, tidak banyak tawa dan candaan seperti biasanya. Walau terlihat sunyi namun hanya terdengar suara batuk. Hanya batuk para mahasiswa-lah yang memecah keheningan.
Setelah diputuskan oleh dewan kemahasiswaan bahwa nama-nama yang tidak tercantum dikertas biru yang terpahat suram dipintu asrama, tidak akan mendapatkan jatah atau subsidi makan selama empat hari kedepan. Terhitung sejak senin hingga hari kamis mendatang.
“ini nggak adil bro, masa cuma karena kita tidak ikut ekskul panca bela malam itu kita dihukum seperti ini, nggak dapet jatah makan empat hari, bayangin coba” celetuk seorang yang namanya terlibat masalah kaena tidak tercantum.
“ente sih, makanya, ikutan. Namanya ya peraturan. Melanggar, dapet hukuman, wajar kan?”
“iya tapi kan, kita, …”
“lihat, mereka yang tercantum akan mengambil subsidinya dikantor kampus.”
Aku adalah orang yang mendapatkan subsidi diantara mereka. Awalnya akan di bagikan sebesar enam ribu rupiah/mahasiswa. Namun, harga bbm dinegara ini kembali naik. Maka subsidi ditambah menjadi sepuluh ribu rupiah. Walau hanya sepuluh ribu rupiah perhari, berarti jatah subsidinya sekali makan hanya sekitar tiga ribu rupiah. Jika dibagikan seperti ini tidak akan cukup. Ah sudahlah, kita lihat dulu kesepakatan dengan teman sekelasku.
Aku kembali ke kamarku setelah menyepakati bahwa subsidi ini akan di belikan secara bersamaan, berupa beras serta lauknya.
“eh, bro, ente kok dapet? Kan malem itu ente nggak ada?” tanyaku pada temanku yang sedang mengotak atik laptopnya.
“ane kan anterin anak-anak yang sakit, hehehe” jawabnya polos
“iya ya, ente anterin Angga ya?”
“iya, tiba-tiba aja dia lumpuh, awalnya cuma batuk doang, trus tiba-tiba kakinya nggak bisa gerak lagi, mungkin sarafnya kali ya?”
Sejurus kemudian seseorang masuk kekamarku, tampaknya ia baru pulang dari Jakarta, tapi oleh-olehnya hanya pisang dan buah duku. Lumayan sih, untuk malam ini. Kami melanjutkan perbincangan dan berharap anak-anak yang sedang sakit itu segera sehat kembali. Yah, di musim pancaroba ini, banyak teman-teman seasrama kami terserang penyakit seperti demam serta batuk dan pilek. Aku sendiri baru sembuh dari penyakitku. Sempat diceritakan oleh ustadz bagian kemahasiswaan bahwa kabarnya, Angga sedang menjalani kondisi kritis, dan sedang dibawa ke rumah sakit lain. Padahal tadi sore, kabarnya ia sudah cukup baik. Namun, melalui suara telefon, terdengar bahwa ia sedang ditalqinkan. Munajatku dalam hati, semoga ia baik-baik saja.
Tak lama kemudian, tepat pada pukul 22.50 , temanku yang tadinya mengantarkan oleh-olehnya untuk kami kembali datang dengan muka yang lebih lesu dari biasanya. Ia seperti membawa beban pikiran yang sangat berat. Ia sepertinya ingin menyampaikan berita yang bahkan ia sendiri tidak sanggup mengucapkan lewat inderanya. Secara perlahan kalimat itu pun terucap dalam pilunya. Angga telah meninggal dunia.
“eh jangan ngaco lu, cak! Becandanya nggak asik ih!” bantah temanku yang sedari tadi masih ngobrol denganku.
“iya nih” tambahku.
“apa raut wajah ini mengajakmu becanda? Saya serius!” paparnya dengan sangat serius.
Suasana hening. Aku keluar dari kamar dan saat didepan pintu, semua mahasiswa telah ramai dikoridor, isak tangis pun mulai terdengar. Kutatapi wajah mereka satu demi satu. Ternyata benar. Teman kita telah tiada. Tetapi aku masih saja tidak percaya. Pasti mereka semua bergurau, mereka pasti bohong.
Mobil ambulan yang membawa jenazahnya pun sudah tiba. Kami berbondong menuju masjid untuk melihatnya. Aku yang masih dalam rasa ketidak-percayaan ini pun ikut untuk melihat. Bagian belakang masjid ternyata sudah dipenuhi para mahasiswa serta para ustadz. Mereka mengelilingi jasad Angga yang sudah terbujur dingin dan kaku. Satu demi satu dari mereka mendatangi wajahnya dan mengecupnya dalam isak tangis kesedihan.
Kenapa begitu cepat ia pergi? Padahal malam itu kami masih bergurau, ia dengan kekonyolannya memainkan sulap, kami mentertawakannya. Saat mementaskan drama, ia adalah yang paling lucu. Suaranya yang merdu saat mengimami shalat kami. Ia sudah menyelesaikan hafalan Alquran-nya hampir lima belas juz. Ia sangat sederhana, seadanya. Ia juga sang jawara saat pementasan pidato bahasa Arab. Saat sore hari sering kutemukan ia sedang merapikan rambut teman-temannya. Tapi sekarang, ia sudah tidak ada, kenapa begitu cepat Ya Allah? Kenapa? Bahkan aku sempat mengira bahwa ia akan bangun dari pembaringannya dan mentertawakan kami semua yang sedang meratapinya. Apa yang ada dipikiranku? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan pahit ini. Bukankah kita semua akan sepertinya.
Kawan, kau tahu?  Ketika kawan sedang berada disebuah taman bunga, bunga mana yang akan kau petik? Tentu saja yang paling indah. Begitu juga hidup ini. Kenapa Allah memanggil manusia terbaiknya begitu cepat.
Setelah menunggu persetujan dari pihak keluarganya di Lombok utara, ia akan dimandikan serta dikafankan disini dan akan dipulangkan ke tanah kelahirannya di dusun Nangka Rempek, kecamatan Bayan. Para asatidz menganjurkan kepada mahasiswa yang telah dibekali pelatihan untuk mengurus jenazahnya.
Saat sedang menunggu kabar dari keluaganya, seorang teman yang mengiringnya selama diperjalanan menuju rumah sakit menceritakan tentang keadaanya. Dalam isak tangis ia bercerita
“saat rumah sakit menolaknya karena keadaan sudah penuh, kami membawanya ke rumah sakit lain. Kondisinya sedang dalam keadaan setengah sadar, tubuhnya lemas. Bersuarapun ia tidak sanggup. Namun dalam keadaan seperti itu, ia masih bisa menyuruh teman-teman disampingnya untuk membacakan Alquran untuknya. Ia menyimak hafalan temannya, ia menggelengkan kepalanya dengan pelan jika yang dibaca salah. Sampai bacaan sebanyak tiga juz ia masih mendengarkan bacaan temannya.
Lalu kawan, dengan suara sangat pelan dipangkuan ustadz Imam Taufik, ia berkata “ummul kitaab” mereka membacakannya, kemudian terus mentalqinkannya. Ia melanjutkan dengan lirih nafasnya yang hangat dan pelan “nikmatnya, nikmatnya ya Allah, …” ia ditalqinkan, kemudian perlahan ia mengucapkan kalimat tauhid dan ia pun tidak bernafas lagi.”
Kawan, ia adalah sahabat kita, keluarga kita, semoga syahid disisi Allah. Ia gugur dalam keadaan sedang menuntut ilmu tentang Islam, tentang da’wah, tentang apa yang diwariskan Rasulullah. Ia menghembuskan nafas terakhirnya dalam keadaan sedang muraja’ah, mengulang hafalannya. Sempat merasakan nikmat pada akhir hayatnya.  Kawan, jika itu kau, jika itu kita, jika itu aku. Apakah akan sepertinya? Atau malah sebaliknya? Dalam keadaan sedang bermaksiat, dalam keadaan sedang penuh dosa. Ketika ditalqinkan, malah nyanyian-nyanyian yang terucap. Atau bahkan tak sempat ditalqinkan. Tak ada amalan yang bisa menemani kita?
Angga Pratama, pemuda Lombok yang berusia masih sangat muda. Terlahir sebagai orang yang akan mengemban risalah da’wah, pada tanggal 17 september 1992. Namun ketetapan Allah tak ada yang bisa mengganggu. Ditanah Bekasi ini Allah menjemputnya, 29 maret 2015, tepatnya pukul 22.40 ia menghembuskan nafas terakhirnya. Selamat jalan Angga, setelah husnul khatimah, semoga nikmat-Nya membimbingmu pada Jannah-Nya.