Minggu, 21 Agustus 2016

Curhat, the Untold story



Hello, haai. Eh, Assalamualaikum, kawan-kawan pembaca blog ku.
Sehat fisiknya? Sehat hatinya? Hehehe
Di postingan kali ini aku mau curhat saja, tentang apa aja, tentang menulisku yang tidak istiqomah juga, hahaha.
Kemarin sempat aku menulis cerita hingga sepuluh chapter, cerita pribadi, cerita yang sebenarnya tidak penting dan tidak ada pengaruhnya sama sekali bagi kalian yang membaca. Kenapa kutulis saja? Karena aku sebenarnya tidak bisa mengarang-ngarang, tidak bisa berimajinasi gila.
Aku menulis karena cinta.
Ketika sedang cinta dan sedang gila-gilanya, atau sedang dikhianati hingga kecewa segila-gilanya. Sampai satu mangkuk mie ayam basi habis kulahap sempurna tanpa sisa.
Atau ketika merindu sedalam-dalamnya. Menanti-nanti yang entahlah itu siapa. Lalu ku wujudkan saja sosok wanita, entahlah siapa yang bidadari pun mungkin kalah perangainya. Hahaha. Lah? Apa itu mengarang juga namanya? Entahlah. hahaha
Pun ketika aku mulai mengagumi seorang wanita, yang benar-benar ada sosoknya, aku mengawang-awang bagaimana jika aku adalah pendampingnya, khayalan-kayalan yang mungkin diimajinasikan oleh setan, kutepis saja, kemudian kutulis dengan harapan dia akan benar-benar menjadi pendamping hidupku. Tetapi, Imajiku bukan tentang hal-hal menjijikkan gila atau semacamnya.
Kemudian aku terus menelusuri informasi tentangnya, hingga aku tahu bahwa ia sedang mencintai orang lain, yang aku tidak ada apa–apanya jika dibandingkan dengannya. Dan aku pun kecewa, siapa yang tidak gila jika cinta sudah bersemi namun dikhianati begitu saja. Hahaha.
Ketika kecewa, disitu kadang inspirasi-inspirasi muncul lagi dan lebih dahsyat. Hingga aku terkagum lagi dengan yang lebih jelita, mulia akhlaknya, surga otoritasnya. Disanalah inspirasi melalang buana. Ya inilah ceritanya. Bukan hanya tentang pengaguman wanita. Tapi ada juga kadang, Juga tentang do’a, tentang pengalaman-pengalaman gila yang pernah ku geluti ia.
Oh iya, aku juga menuliskan puisi-puisi. Karena tidak sempat lagi menulis cerita, terkadang inspirasi menulis tetap ada, ya kutulislah beberapa kata saja. Dan wow ternyata puisi tercipta. Hahaha. Pernah ada sayembara-sayembara yang bisa kusalurkan karyaku. Untuk cerita-ceritaku, tidak ada yang mereka minati, tapi untuk puisi, well Alhamdulillah sering menang, hehehe. Sering ya, begitulah. Twice, hahaha.
Tapi hanya puisiku yang begitu, ceritaku ya entahlah. Haha. Mungkin karena aku tidak tahu system. Jenis tulisanku. Alurnya, plot, dan lain-lain yang entahlah apa itu namanya. Who’s care?  Just write. Its healing. Trust me.
Aku hanya menulis dengan mencari kata yang cocok. Bahkan aneh. Mencoba membuat pembaca memutar otaknya dua kali dan bertanya kenapa kata yang digunakan tidak nyambung? Haha. Mungkin karena anda kurang literature. Aku juga mencari kata yang jarang digunakan, kata-kata langka, yang bahkan garing jika dieja. Anti mainstream ya namanya?
Aku juga bimbingan, mencari perbandingan dari apa yang sudah aku tuliskan. Dengan guruku ketika SMA dulu. Beliau sangat mengapresiasi. Bahkan puisiku menjadi bahan ajar. Haha. Juga dari teman-teman sekitar yang mereka kadang hanya menganggap itu bualan, Terlalu berlebihan, Menggelikan. Tetapi kuanggap itu pujian. Yah, begitulah aku butuh komentar, dan begitu komentarnya. Mungkin level sastra mereka terlalu tinggi.
Tapi, ada juga pembaca blogku yang fanatic coy, haha. Itulah yang menjadi semangatku buat nulis terus. Seringnya ia menjadikan display picturenya dengan kata-kataku yang di screenshot. Haha. Thanks ya. Dan sampai juga dia ngasih hadiah yang keren buanget buatku. Thank you so much, again. And keep being my blog’s reader.
By the way, dia agak kebule-bulean gitu, jadi harus pake bahasa inggris bilangnya. Chat nya aja harus pake English, kalo telfon juga. Aku bisa belajar juga buat tingkatin toefl, dan ngga usah jauh-jauh ke Pare sana.
Ohya, jika kawan-kawan bertanya padaku gimana cara nulis, Kalian bertanya pada orang yang salah. Hahaha. Tapi kalo ditanya gimana –caraku- menulis, nah, begini. Ya seperti tadi. Aku harus jatuh cinta, merindu dengan gila. Atau ketika kecewa, karena terlalu tergila-gila. Intinya, gila. Jadilah gila. Hahaha.
Tidak, aku bercanda, tapi iya benar. Harus gila. Harus baper juga. Bawa perasaan. Tumpahkan perasaan dalam tulisan. Walau berantakan, itulah yang akan menjadi efek untuk yang membaca.
Kemudian, imajinasikan sebelum dituliskan. Lebay sekalian, tidak masalah. Ya tulis saja. Apapun itu. Masalah kehidupan sehari-hari. Atau tidak tahu mau menulis apa. Tulislah masalah itu, bahwa kita tidak tahu mau menulis apa. Ya seperti curhat begitu. Contohnya: “aku sebenarnya ingin sekali menulis, tapi aku tidak tahu mau menulis apa. Dan bagaimana cara memulainya. Bagaimana ini? Apa yang harus aku tulis terlebih dahulu, … bla-bla-bla,… “ dan lihat. Itu sudah menjadi sebuah tulisan. Haha. Teruskan dan jangan pernah berhenti hingga puluhan halaman.
Yang sebenarnya aku ingin menuliskan semua kejadian yang menakjubkan dalam hidupku, hal-hal istimewa, hal-hal gila, canda-tawa, tangis, bahagia, kecewa, rindu, cinta, dan segala semesta. Hingga muncul satu demi satu dalam memori tentang kejadian itu.
Kutulislah perlahan, kata demi kata yang berkesinambungan hingga satu halaman. Dua halaman, tiga, empat hingga enam halaman saja. Cukup untuk satu chapter. Tidak usah terlalu panjang. Karena bahasaku kadang membosankan. Jadi agar pembaca tidak jenuh maka ku buat mereka jadi penasaran dengan memotong ceritanya menjadi dua atau tiga bagian. Hahaha.
Anyway, jika sudah punya minimal satu atau da chapter, bagikan kepada temanmu yang bisa diajak untk saling berbagi, seperti duit misalnya. Haha. Bukan, maksudku, mereka yang bisa memberikan komentar positif jika kau adalah orang yang terlalu baper. Karena jika ada yang langsung bekomentar negative dan kau langsung merasa down atau putus asa. Bagiku, itu adalah sebuah tamparan keras. Karena dengan mudah mereka bisa berkomentar seperti itu sebab buruknya tulisanku, oh, dude. Haha maka tulislah yang benar. Jika kau tidak berani mengajukan kepada siapapun, tenang. Berikan padaku, aku akan menerimanya dengan senang hati.
And finally, ini aja dulu curhatku. Jika kau punya tulisan, apapun itu, berikan saja jika butuh komentar. Haha. Atau jika punya usulan, atau kritikan, terimakasih, aku sangat menantikan itu. Keep write it ya. Seorang kawan pernah bilang padaku, “bacalah buku, maka kau akan tahu dunia, dan tulislah buku, maka dunia akan tahu siapa kau.” Hahaha. Keren sekali bukan? Haha
Berhenti menulis keluhan tidak berguna di meia sosialmu, karena itu sangat menjijikkan, mungkin bagi sebagian orang. Jika kau berkeluh kesah, curhatlah pada Rabb semesta alam, Dia mendengarmu. Maka ingatlah ini, :
“tulislah kebenaran, atau minimal tulislah yang benar, jika belum mampu mengajak kepada yang benar.” –Arrayyan Owl, saudaramu yang sedang mengumpulkan mahar dengan semangat. hahaha
Apapun tulisanmu, Kirim saja ke email ku owlarrayyan@gmail.com
Blog ceritaku: www.owl-stories.blogspot.com  

Senin, 28 Maret 2016

Special Sparkle: SAiV ! Act; two.

SAiV
ACT: TWo
Aku memasukkan properti perburuan ke ranselku. Kukenakan jaket bertudung hitam dan bergegas keluar menuju tempatku bekerja. Sebagai freelancer yang tidak memiliki pekerjaan tetap, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan keseharianku.
Lalu-lalang melintang padatnya ibu kota. Beberapa kemajuan diterapkan masih saja ada kemacetan yang awet. Majunya peadaban membuat semua yang didesa ingin turut serta merasakan indah dan nikmatnya mencari penghidupan. Akibatnya ibukota penuh sesak dengan keramaiannya.
Mereka yang dianggap memiliki keahlian namun kurang beruntung, terpaksa untuk melakukan pekerjaan rendahan. Mereka yang sebenarnya tidak bisa apa-apa namun uangnya bisa berbicara, bisa dengan mudah lulus dari pendidikan dengan predikat sempurna bisa duduk di kantornya dan katanya ‘bekerja’. Pun mereka yang tidak bisa apa-apa miskin pula, pendidikannya tersia, meilih meminta dan menyanyi saja di jalan raya. Dan cara mereka sungguh meresahkan saja. Meminta dengan memaksa, menyanyi dengan seenaknya saja, padahal bicara saja tidak bisa, namun dipaksa mengeluarkan suara.
Untuk pengguna jalan raya sepertiku, aku harus menggunakan alat transportasi umum, agar bisa lebih mudah mengamati, mengawasi, ciri-ciri tipikal yang akan menjadi target buruanku. Namun tidak hanya mereka yang terdaftar, tapi mereka yang secara instan kudapati didepan mata juga pasti kusikat saja. Seperti mereka yang bernyanyi seenaknya ini. Agar tidak terlihat seperti aku yang mencoba memulainya, maka aku harus menjadi korban dari pekerjaan mereka agar bisa dilihat sebagai pembelaan diri.
Seusai bernyanyi dengan suara yang tidak pantas itu di bus kota yang kunaiki ini, mereka mendatang satu demi satu penumpang sembari menyodorkan tangan mereka. Sembari memproklamirkan rasa kelaparan dan mengharapkan agar bisa membeli sesuap nasi. Tak hanya mereka pun para pengasong silih berganti menaiki dan menawarkan barangnya kepada para calon pembeli. Setiba diarahkannya tangan mereka kepadaku, aku yang sedari tadi menggunakan headset mengacuhkan mereka dan mengangkat tangan sekadarnya saja. Dari awal mereka besuara aku sudah mengeluarkan ekspresi dan mengenakan headset yang tidak ada suaranya sama sekali agar mereka terpancing bahwa aku tidak menghargai mereka. Wanita bertudung didepanku juga dipaksanya hingga harus mengeluarkan lembaran-lembaran mereka.
Saat kuacuhkan, mereka tidak beranjak, tetap menyodorkan tangannya, sambil sesekali menyentuh tanganku dan mengarahkan ke mulut mereka, isyarat buat membeli makanan. Tetap kuacuhkan. Mereka mulai melotot dan memaki. Aku berpura-pura tidak mendengar, sampai ia berteriak dan aku menatapinya juga.
“woy, jawab kek, ngomong kek apa, hargai suara kami dong, apa lu melotot-melotot ke gua hah??” hardiknya. Berhasil. Ia terperangkap. Kusodorkan recehan yang bahkan tidak cukup untuk membeli apapun. Tidak laku lagi.
“maksud lo apaan nih hah? Lu menghina gua, hah? Ayo sini lo kalo berani?” ia melemparkan recehan tadi ke wajahku. Bus tetap berjalan, para penumpang mulai panik, namun tetap tidak ada yang berkutik. Kuraih masker buff yang diasongkan dan menyerahkan uangnya, karena aku lupa membawa punyaku hingga harus membelinya lagi. Agar jika aku memulai aksiku aku harus menutupi wajahku. Seolah aku mengabaikan mereka yang sedang menggonggongiku.
Ia menarik kerah jaketku, mengangkatnya hingga aku berdiri dari tempat duduk, kuabaikan lagi sambil membuka kemasan masker dan mengenakannya hingga ke leherku dan menutupi setengah wajahku. Ia memaki. Kutepiskan cengkramannya, ia memanas dan melayangkan kepalan tangannya dengan cepat ke arah wajahku. Lebih cepat lagi aku menunduk, hingga kepalan tinju yang berasal dari tangannya yang bau itu mengenai temannya. Kuraih wajahnya dengan telapak tanganku, kudorong dengan kuat dan kubenturkan ke tiang pembatas penumpang. Ia tesungkur.
Dua temannya  yang dibelakang kembali menyerangku, kuhempaskan telapak kakiku ke wajah salah satunya yang di sebelah kanan dengan kuat. Hingga ia tersungkur ke bangku penumpang yang dibelakang. Satunya lagi menyerangku dengn gitar busuk kecil miliknya, kutepiskan. Ini harus segera tuntas dengan cepat. Kukepalkan tangan kananku dan menonjolkan sedikit jari tengah dan kuhujam kearah antara leher dan tulang rusuknya. Pun ia tersesak nafasnya. Yang tersungkur tadi kembali bangkit. Kubenturkan kepalanya ke besi bangku penumpang berkali-kali dan kuhempas ke kaca jendela hingga pecah. Kulayangkan lagi kaki ke arah wajahnya yang baru bangkit dari bangku belakang hingga memcahkan kaca jendela bagian belakang bus ini.
Satu lagi yang berada di depan, setelah menepis pukulannya. Kuhujam bagian kepala atau pelipis disebelah matanya dengan siku. Agar pembuluh darahnya kaku. Kubenturkan lagi kepalanya ke tiang itu bertubi-tubi. Ia tersungkur dan kepalanya jatuh tepat di belakang pintu dan serangan terakhir. Kutendang pintu itu yang mana kepalanya berada dibalik pintu itu dengan kuatnya.
Para penumpang yang kebanyakannya wanita dan beberapa pria tua berteriak ketakutan melihatnya. Tiga manusia perusuh itu sudah tidak bergerak lagi. Target instan berhasil dilumpuhkan. Kuperhatikan para penumpang, ada dua wanita yang mengarahkan ponselnya. Gawat ia merekamnya. Tanpa berucap apapun, kuraih ponselnya dan kuhapus semua data yang ia rekam. Bus pun menepi dan berhenti. Aku segera turun agar tidak menjadi permasalahan yang melibatkan awak hukum. Padahal tujuanku adalah stasiun kereta dimana bus ini menepi. Namun untuk menghilangkan jejak, harus kunaiki angkutan lain. Ku amati, banyak angkutan yang berhenti menunggu penumpang. Beruntungnya ada taksi. Kumasuki saja dan langsung kukatakan untuk segera jalan saja dan mengubah arah.
---
Pukul sembilan pagi. Aku terlambat empat puluh menit. Dasar. Gara-gara gadis muda itu, harus berdebat dulu dengannya. Karena aku menaiki taksi yang sedang ada penumpangnya. Gadis yang kuanggap sedikit gila itu menyuruhku untuk turun, dan aku bersikeras agar tetap bisa ikut saja kemana, pasti kuganti ongkosnya. Dasar wanita. Ia menuntut membayar ongkosnya dua kali lipat. Untuk menghindari hal kelamaan, aku mengiyakan saja. Akibatnya aku harus mengantri ke mesin ATM. Herannya kenapa aku turut saja. Gadis yang kuanggap sedikit gila itu, karena kerudung yang ia kenakan sangat aneh, dililitnya entah kemana-mana. Kusemogakan tercekik lehernya karena lilitan itu yang maha aneh modelnya. Dan polosnya ia, saat berdebat dengannya, kusempatkan meraih tas mungilnya untuk meraih beberapa lembar uang miliknya sendiri. Dengan sedikit pengalihan. Jadi saat mengantri, dan ia mau menunggu, aku hanya mengeluarkan isi dompetnya dan isinya sangat cukup untuk mengelabuinya. Saat turun, kuserahkan ongkos taksi sesuai tarifnya dan itu setengahnya dariku, dan aku memberikan tuntutan dua kali lipatnya yang mana itu adalah miliknya sendiri. Aku membayar hak sang supir taksi sesuai dengan haknya. Dan tentu saja aku tidak mau rugi, pun pasti wanita yang sedikit gila itu. Giurkan wanita bukan dengan banyak janji, namun dengan apa yang ia sukai meskipun itu bayangannya sendiri. Mengerti?
Aku memasuki gerbang tempat dimana aku bekerja. Sebuah lembaga pengelola wisata. Aku ditempatkan di bagian penerjemah. Kaena aku mahir beberapa bahasa asing. Bukan dengan terpaksa, dengan disini, aku bisa mengakses beberapa orang asing yang kadang menjadi suplier buruanku. Atau bahkan merekalah buruanku. Antek-antek asing yang mencurigakan, semua kutelusuri datanya. Walau tadi sempat dibentak oleh The Boss, Mr Greg, aku selalu beralasan dengan lugu. Amarahnya selalu sirna, karena baginya aku adalah satu-satunya aset yang paling berharga. Karena aku, pun dianggapnya, yang paling bisa dipercaya melebihi sekretarisnya bahkan istrinya sendiri, aku selalu berkata apa adanya. Kecuali kejadian tadi tentunya. Walau sempat diinterogasi oleh Lulu, sekretarisnya.
“where have you been? Mr. Greg menantimu sedari tadi, kalau kau sampai mengecewakan beliau, habislah sudah.”
“Mr. Greg sudah kubawakan jamu kesukannya, aku memberikannya pada beliau saat di depan tadi. Tenang saja, aku hanya menaiki angkutan yang mogok, Lu.”
“mogok? Bukannya semua transportasi umum sudah diganti dengan yang paling baru?”
“kau tahu buatan cina kan? Seperti ponselmu, motif cangkirmu, pelembab kulitmu, semuanya dari cina.”
“iya, hah? Lotionku? Apanya yang cina?”
“kau tidak baca keterangannya? Diolah dari mutiara asli cina, blablabla. Kau ini payah, tidak teliti.”
“tidak seperti kau, pantas saja si Bos selalu membanggakanmu. Tapi darimana kau tahu lotionku?”
Aku pun berlalu meninggalkan Lulu yang masih bertanya. Aku segera ke mejaku dan akan segera melayani turis special dari negeri Gajah Putih. Ia membutuhkan penerjemah. Sayang sekali, aku bukan ahli dalam bahasa yang memiliki huruf abjad yang terdiri dari tiga puluhan lebih. Beruntungnya, kusodorkan pada ahlinya.
“Fer, bahasa Thai nih, lusa, bisaa ya? Asisten inggrisnya tidak ada. Jadi dia butuh penerjemah langsungnya, sekalian. Kaerna bakal ada acara besar nih”
“Lusa ya, berarti hari Rabu? Hmm, kulihat jadwalku dulu,  oke, aku bisa.”
“ Sip.”
“oh iya, dibawah tumpukan berkasmu, ada paket dari Sydney, sepertinya. Lihatlah. Aku meletakkannya disitu tadi pagi. Mungkin dari perlombaan menulis essaimu itu”
Kubuka amplop besar yang berisi sertifikat tebal yang bertuliskan namaku sebagai juara ke 3. Ada selipan surat kabar selembar. Dan satu keping micro chip yang di tempel di tepat di bawah tulisan angka 3. Kuamati micro chipnya, surat kabarnya, halaman utamanya. Sebuah tulisan besar, headline. Akan diadakan pemilihan Miss Transgender di kota ini. Dan yang meminta layanan penerjemah adalah, … ternyata ini pesan dari si Nomor 3.
Kumasukkan micro chipnya ke ponselku, berikut prosedurnya muncul. Bahwa para transgender dan wanita jadi-jadian itu akan berangkat dengan mengendarai sebuah bus dan dikawal oleh awak hukum. Pun hingga di tempat audisinya, dijaga sangat ketat. Nomor 3 menyarankanku agar mengikuti skenarionya. Bahwa dia yang akan mengatasi gedungnya jika kendaraan pengangkut mereka tidak bisa dilumpuhkan.

“Kita punya satu nyawa, sebaiknya  hanya untuk yang terbaik.” 3.

Senin, 21 Maret 2016

Special Sparkle: SAiV, Bloody Story. Act; One.

SAiV !
BLOODY STORY,
ACT ONE.ACT ONE

Semilir angin masih menerpa seperti biasa. Saat ada beberapa gerbong kereta yang digerakkan dengan mesin bisingnya. Masih berjalan dengan teratur walau getaran besar yang dikeluarkan cukup terasa, namun tak ada sesiapa yang mewaspada. Orang-orang, para penumpang hilir mudik sembari berdiri, menanti, melirik-lirik ke arah dimana kereta akan datang. Beberapa mencari tempat untuk merebahkan diri, sekedar merehatkan kepenatan diatas sebuah kursi tunggu. Walau sudah kepenuhan dengan penumpang lain yang pun sedari tadi menanti.

            Suara bising dari petugas stasiun yang mengumumkan datangnya kereta atau melintasnya kereta besar kadang sering mengecewakan para penumpang. Menyakitkan. Dikecewakan selalu menyakitkan. Dijanjikan dengan sesuatu yang menyenangkan, namun nihil. Tidak akan datang. Sebenarnya apa yang dinantikan? Keadilan. Keadilan dari kepemimpinan negara ini. Songsong harapan menuju kesejahteraan, selalu saja merugikan beberapa pihak yang lemah gerahamnya.

Kupikirkan itu lagi, otakku semakin panas. Kutemukan, Para bedebah itu, sialan. Sewenangnya melakukan tindakan hina itu didepan umum. Menjijikkan. Sembari menunggu delapan gerbong yang akan dinaiki, mereka bermesraan, melakukan rangkulan, mendaratkan ciuman. Ini stasiun dengan keramaian yang normal, cukup mudah kudekati tanpa dicurigai untuk melakukan eksekusi. Pengumuman tentang kedatangan kereta disuarakan. Mereka yang masih bermesraan bangkit. Berdiri, ingin melanjutkan di dalam lagi nanti.

Sudah kuambil posisi dengan sangat pas. Tepat dibelakang kedua gay sialan ini. Kutuunggu saat yang tepat. Hanya sebelas detik saja. Sebelum ujung kereta melewati arahku. Mereka terlalu rapat dengan garis kuning pembatas.. Lima detik lagi. Kemudian terdengar ledakan keras dan kepulan asap muncul. Orang tidak panik seluruhnya. Hanya sekedar menoleh dan tidak peduli dan ingin segera pergi menaiki kereta yang akan tiba dan berhenti dengan sempurna. Dua lelaki sialan ini menoleh juga ke arah suara ledakan. Dua detik lagi kereta yang belum melambat akan melewati dihadapan kami. Satu detik. Dhuagh.

Suara ledakan lebih besar terdengar lagi. Orang-orang mulai panik. Para wanita berlari dan berteriak Perfect timing! Saat seorang wanita berlari kesebelahku, seolah aku menghindari, namun ku sodorkan tubuhku ke arah dua gay sialan itu yang sedang merangkul erat, hingga tersungkur ke dalam lintasan dan dengan otomatis kereta melindas mereka berdua dengan pemberhentian sempurnanya.
Aku berlari ke arah yang ditujukan oleh petugas untuk segera evakuasi. Pemicu ledakan kecil buatanku sempurna sekali. Tanpa api, tanpa jejak lagi. Hanya suara dan asapnya yang mengepul ke udara. Belum ada yang menyadari hingga kereta kembali diberangkatkan dan dikejutkan dengan dua mayat yang hancur berantakan. Perburuan target nomor 6 dan 7, berjalan sempurna.

-

Pukul sembilan malam.

Masih terlalu cepat untuk kembali ke kediamanku. Rerintikan hujan sempat membasahi bagian atas pakaianku. Kuamankan ranselku dengan anti-weathernya agar beberapa alat perburuanku tidak karatan. Aku menempati sebuah ruangan kecil di sebuah bangunan tinggi. Setelah bernegosiasi dengan petugas keamanan dan kutawarkan harga yang cocok, aku diijinkan menikmati ruangan yang tidak bisa dilacak menurutku. Namun aku selalu merasa was-was, pasti ada yang selangkah lebih maju dariku. Saat kubuka pintu dan masuk, ruangan sudah seperti ada yang menggeledah lembut. Bau yang tidak biasa, rokok yang tak befilter, pastinya yang dihisap. Aku cukup sensitif terhadap bau yang tidak biasa denganku, karena aku bukan juga perokok.

Sebuah meja kecil bertumpukkan buku dan kertas-kertas  yang berada pas didepan pintu bergeser, orang ini menyenggolnya sedikit. Kuambil samurai kecil di saku celanaku, sambil kutelusuri ruangan disebelah yang hanya dihalangi dengan lemari besar dan ada sebuah komputer. Sepertinya psikopat. Benar dugaanku, ia sedang mengakses komputerku dan menggunakan tiga komputer miliknya disekelilingnya. Posisi duduknya membelakangi kedatanganku, dan dengan cepat, ku rangkul lehernya dan ku tarik ia kebelakang. Ia melawan, rangkulanku mudah ia lepaskan, tapi dengan sangat cepat ku ayunkan benda tajam ke arahnya, tepat dilehernya namun ternyata ia sudah siap menarik pelatuk pistolnya yang sudah menempel di kepalaku.

“calm down, idiot! Ini aku. Maaf kalau masuk dengan tidak sopan. Dan juga sedikit penggeledahan, kupikir kau punya cemilan.”

“cyberking? Oh come on. Bagaimana kau bisa tahu tempatku?”

“ah, jangan panggil nama itu. Tempatmu? Kau pikir kau sudah bisa menghilang dengan sempurna? Seperti hantu? Kau selalu berjejak, Owl. Selalu besuara. Ponselmu. Aku selalu melacak ponselmu yang selalu menggunakan pass code yang sama.”

“iya tapi sudah kuganti secara berkala, dan juga aku mendiami tempat ini karena system keamanan firewall yang tidak bisa ditembus, tapi tetap saja ada.”

“ahahahaha, tidak bisa ditembus ya? Benarkah? Hahaha”

“atau janan-jangan, system di gedung ini, …”

“bukan aku yang merancang, tapi aku konsultan sang perancang. Hahaha”

“dasar, ini aku bawa makanan jika kau butuh camilan, aku mau shalat. Kau sudah shalat Cybey?” kataku sambil meletakkan plastik hitam dan melepas pakaianku yang agak basah.

“pertanyaan horror, baik aku akan shalat bersamamu. Lagi pula, siapa lagi yang bisa shalat di masjid, karena sudah tidak ada tempat ibadah lagi di negara ini. Dan juga aku rindu suara lantunanmu”

“apa sih? Kalimatmu terdengar jijik.”

“oops, no, don’t think that I am like that, kau tahu aku sudah bertunangan dengan Putri, dan aku tahu buruanmu, Owl. Tentang yang terjadi di stasiun hari ini dan lima lainnya. Sebenarnya ada yang ingin aku diskusikan, baiknya kita shalat dulu.”
-

Sebuah statemen baru selalu lahir untuk dibawa kepada perundang-undangan. Didasari dengan kebebasan atau hak-hak keasasian selalu dituntut demi terwujudnya sebuah peradaban yang dilingkupkan kesejahteraan. Dibungkus lagi dengan kesetaraan dan keadilan. Baru saja maju dari segi ekonomi dan politik, negara ini sudah mencetus peraturan dasar-dasar kenegaraan baru. Bukan lagi dengan dasar-dasar atau asas yang lama. Itu sudah kuno, sudah tidak layak lagi. Agama juga, itu hanya masalah keyakinan hati. Bukanlah sesuatu yang harus menjadi patokan dalam kehidupan sehari-hari.
            
          Para pencetus berotak kaku itu berhasil menghegemoni seluruh lapisan rakyat dengan mudah. Sesiapa menganggap ini semua demi kepentingan rakyat, kepentingan keadilan. Mata uang menjadi pesat meningkat, investor ramai menginvestasi di seluruh kedalaman negeri. Aset-aset menjadi rata terbagi. Tetap saja, selalu ada sosok-sosok yang masih dalam merugi. Resmilah negara ini menjadi raksasa dalam liberalisasi. Sesiapa yang berani menginvansi, bersuara, berbisik bahkan mengeluarkan nafas kalimat-kalimat protes, dalam kurun dua jam ia sudah lenyap dan tidak pernah ditemukan lagi.
           
            “dengar Owl, aku bisa mengamankan keberadaanmu seperti yang kulakukan selama ini.”
            “maksudmu?”
         “kau pikir kau sudah aman? Aku yang menghapus jejak online yang kau telusuri untuk mencari informasi keberadaan target buruanmu.”
            “jadi maksudmu ini tidak gatis, kau menuntut bayaran?”
            “tentu tidak, kau sudah menyelamatkan jiwaku dari kegilaan liar dunia, membuka pikiran, aku bersyukur sekali saat itu disadarkan olehmu. Hingga aku bisa memantaskan diri untuk melamar Putri.”
             “lalu?”
            “aku menawarkan ini, aku harus merekrutmu”
            Ia memutar laptopnya dan aku melihat data-data tentang seperti sebuah perkumpulan rahasia. Foto-foto target, pelaku, visi misi, dan lokasi-lokasi tertentu.
            “tidak, aku lebih suka bermain solo.”
            “ayolah, dengan bergabung, kau bisa lebih mudah mendapatkan target, visi misinya sama denganmu, dan kau bisa membalaskan dendammu pada pemerintah ini. Apa lagi yang, ..”
           “ini bukan tentang pembalasan dendam, Cyb, kau pikir aku dendam? Aku sudah mengiklaskan segalanya yang terjadi. Namun aku harus memperbaiki dengan cara ini. Ini cara yang diperintahkan Tuhan. Aku bisa mengatasi ini sendirian” 
         “itu dia, maksudku. Kelompok ini butuh orang sepertimu. The Leader. Seorang pemimpin. Belum ada yang cocok untuk memberi arahan dengan benar dan rapi. Setiap anggota tidak pernah bertatap muka langsung, namun mereka bisa menerima segala perintah dengan baik selama ini. Kau pikir kau sendirian melakukannya? Menurutmu siapa dengan sengaja berlari kearahmu agar kau bisa mendorong targetmu. Mereka selalu disana, membantu melancarkan misi ini.”
          “tidak. Dio, dengar, bukan aku tidak percaya pada kau. Tapi, aku memang tidak pernah percaya lagi kepada siapapun di dunia ini. Aku sudah kenyang dengan hal-hal semacam itu. Dikecewakan, dibohongi oleh orang terdekatku sendiri”
“baik, mungkin tidak kali ini. Jika kau sudah matang, hubungi aku dan bergabunglah dengan aliansi ini. Okay, oh iya. Apa lukamu sudah sembuh?”
“sudah, Alhamdulillah. Kau mau bergegas?”
“ya, aku harus pulang, seminggu lagi pesta pernikahanku, aku sudah mendaftarkanmu sebagai pemberi tausiyahnya. Jangan lupa tanggalnya, dan aku juga sudah memasukkan data terbaru tentang target yang bisa kau buru, orang-orang itu mungkin datang ke tempatku nanti jadi kau bisa eksekusi saja. Baiklah, aku pamit.”


Teman kecilku, Cyberking, Claudio. Ia selalu menyuspkan asip-arsip penting untukku dengan mudah. Karena ia merupakan bagian dari instansi pemerintah, tapi ia tetap ramah. Aku tahu ia sengaja agar bisa merekrutku. Kubuka kembali tentang data aliansi itu. SAIV, nama yang tidak asing, suku kata dari ‘save’? penyelamatan? atau ‘saif’? pedang? mungkin keduanya. Masih mencari pemimpin, cih, kenapa harus aku yang didepan. Sebaiknya aku teliti dulu anggotanya yang ternyata seluruhnya bisa diandalkan untuk bidang eksekutor. Mereka diberi inisial angka. Wajah tak pernah terlihat. Baik, aku harus pantau perburuannya. Halo, nomor tiga. Semoga kau tidak mengacaukan perburuan selanjutnya.