SAiV
ACT: TWo
Aku memasukkan properti perburuan ke ranselku. Kukenakan jaket
bertudung hitam dan bergegas keluar menuju tempatku bekerja. Sebagai freelancer
yang tidak memiliki pekerjaan tetap, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan
keseharianku.
Lalu-lalang melintang padatnya ibu kota. Beberapa kemajuan
diterapkan masih saja ada kemacetan yang awet. Majunya peadaban membuat semua
yang didesa ingin turut serta merasakan indah dan nikmatnya mencari
penghidupan. Akibatnya ibukota penuh sesak dengan keramaiannya.
Mereka yang dianggap memiliki keahlian namun kurang beruntung,
terpaksa untuk melakukan pekerjaan rendahan. Mereka yang sebenarnya tidak bisa
apa-apa namun uangnya bisa berbicara, bisa dengan mudah lulus dari pendidikan
dengan predikat sempurna bisa duduk di kantornya dan katanya ‘bekerja’. Pun
mereka yang tidak bisa apa-apa miskin pula, pendidikannya tersia, meilih
meminta dan menyanyi saja di jalan raya. Dan cara mereka sungguh meresahkan
saja. Meminta dengan memaksa, menyanyi dengan seenaknya saja, padahal bicara
saja tidak bisa, namun dipaksa mengeluarkan suara.
Untuk pengguna jalan raya sepertiku, aku harus menggunakan alat
transportasi umum, agar bisa lebih mudah mengamati, mengawasi, ciri-ciri
tipikal yang akan menjadi target buruanku. Namun tidak hanya mereka yang
terdaftar, tapi mereka yang secara instan kudapati didepan mata juga pasti
kusikat saja. Seperti mereka yang bernyanyi seenaknya ini. Agar tidak terlihat
seperti aku yang mencoba memulainya, maka aku harus menjadi korban dari
pekerjaan mereka agar bisa dilihat sebagai pembelaan diri.
Seusai bernyanyi dengan suara yang tidak pantas itu di bus kota
yang kunaiki ini, mereka mendatang satu demi satu penumpang sembari menyodorkan
tangan mereka. Sembari memproklamirkan rasa kelaparan dan mengharapkan agar
bisa membeli sesuap nasi. Tak hanya mereka pun para pengasong silih berganti
menaiki dan menawarkan barangnya kepada para calon pembeli. Setiba diarahkannya
tangan mereka kepadaku, aku yang sedari tadi menggunakan headset mengacuhkan mereka
dan mengangkat tangan sekadarnya saja. Dari awal mereka besuara aku sudah
mengeluarkan ekspresi dan mengenakan headset yang tidak ada suaranya sama
sekali agar mereka terpancing bahwa aku tidak menghargai mereka. Wanita
bertudung didepanku juga dipaksanya hingga harus mengeluarkan lembaran-lembaran
mereka.
Saat kuacuhkan, mereka tidak beranjak, tetap menyodorkan tangannya,
sambil sesekali menyentuh tanganku dan mengarahkan ke mulut mereka, isyarat
buat membeli makanan. Tetap kuacuhkan. Mereka mulai melotot dan memaki. Aku
berpura-pura tidak mendengar, sampai ia berteriak dan aku menatapinya juga.
“woy, jawab kek, ngomong kek apa, hargai suara kami dong, apa lu
melotot-melotot ke gua hah??” hardiknya. Berhasil. Ia terperangkap. Kusodorkan
recehan yang bahkan tidak cukup untuk membeli apapun. Tidak laku lagi.
“maksud lo apaan nih hah? Lu menghina gua, hah? Ayo sini lo kalo
berani?” ia melemparkan recehan tadi ke wajahku. Bus tetap berjalan, para
penumpang mulai panik, namun tetap tidak ada yang berkutik. Kuraih masker buff
yang diasongkan dan menyerahkan uangnya, karena aku lupa membawa punyaku hingga
harus membelinya lagi. Agar jika aku memulai aksiku aku harus menutupi wajahku.
Seolah aku mengabaikan mereka yang sedang menggonggongiku.
Ia menarik kerah jaketku, mengangkatnya hingga aku berdiri dari
tempat duduk, kuabaikan lagi sambil membuka kemasan masker dan mengenakannya
hingga ke leherku dan menutupi setengah wajahku. Ia memaki. Kutepiskan
cengkramannya, ia memanas dan melayangkan kepalan tangannya dengan cepat ke
arah wajahku. Lebih cepat lagi aku menunduk, hingga kepalan tinju yang berasal
dari tangannya yang bau itu mengenai temannya. Kuraih wajahnya dengan telapak
tanganku, kudorong dengan kuat dan kubenturkan ke tiang pembatas penumpang. Ia
tesungkur.
Dua temannya yang dibelakang
kembali menyerangku, kuhempaskan telapak kakiku ke wajah salah satunya yang di
sebelah kanan dengan kuat. Hingga ia tersungkur ke bangku penumpang yang dibelakang.
Satunya lagi menyerangku dengn gitar busuk kecil miliknya, kutepiskan. Ini harus
segera tuntas dengan cepat. Kukepalkan tangan kananku dan menonjolkan sedikit
jari tengah dan kuhujam kearah antara leher dan tulang rusuknya. Pun ia
tersesak nafasnya. Yang tersungkur tadi kembali bangkit. Kubenturkan kepalanya
ke besi bangku penumpang berkali-kali dan kuhempas ke kaca jendela hingga
pecah. Kulayangkan lagi kaki ke arah wajahnya yang baru bangkit dari bangku
belakang hingga memcahkan kaca jendela bagian belakang bus ini.
Satu lagi yang berada di depan, setelah menepis pukulannya. Kuhujam
bagian kepala atau pelipis disebelah matanya dengan siku. Agar pembuluh
darahnya kaku. Kubenturkan lagi kepalanya ke tiang itu bertubi-tubi. Ia
tersungkur dan kepalanya jatuh tepat di belakang pintu dan serangan terakhir.
Kutendang pintu itu yang mana kepalanya berada dibalik pintu itu dengan kuatnya.
Para penumpang yang kebanyakannya wanita dan beberapa pria tua
berteriak ketakutan melihatnya. Tiga manusia perusuh itu sudah tidak bergerak
lagi. Target instan berhasil dilumpuhkan. Kuperhatikan para penumpang, ada dua
wanita yang mengarahkan ponselnya. Gawat ia merekamnya. Tanpa berucap apapun,
kuraih ponselnya dan kuhapus semua data yang ia rekam. Bus pun menepi dan
berhenti. Aku segera turun agar tidak menjadi permasalahan yang melibatkan awak
hukum. Padahal tujuanku adalah stasiun kereta dimana bus ini menepi. Namun
untuk menghilangkan jejak, harus kunaiki angkutan lain. Ku amati, banyak
angkutan yang berhenti menunggu penumpang. Beruntungnya ada taksi. Kumasuki
saja dan langsung kukatakan untuk segera jalan saja dan mengubah arah.
---
Pukul sembilan pagi. Aku terlambat empat puluh menit. Dasar. Gara-gara
gadis muda itu, harus berdebat dulu dengannya. Karena aku menaiki taksi yang
sedang ada penumpangnya. Gadis yang kuanggap sedikit gila itu menyuruhku untuk
turun, dan aku bersikeras agar tetap bisa ikut saja kemana, pasti kuganti
ongkosnya. Dasar wanita. Ia menuntut membayar ongkosnya dua kali lipat. Untuk menghindari
hal kelamaan, aku mengiyakan saja. Akibatnya aku harus mengantri ke mesin ATM. Herannya
kenapa aku turut saja. Gadis yang kuanggap sedikit gila itu, karena kerudung
yang ia kenakan sangat aneh, dililitnya entah kemana-mana. Kusemogakan tercekik
lehernya karena lilitan itu yang maha aneh modelnya. Dan polosnya ia, saat
berdebat dengannya, kusempatkan meraih tas mungilnya untuk meraih beberapa
lembar uang miliknya sendiri. Dengan sedikit pengalihan. Jadi saat mengantri,
dan ia mau menunggu, aku hanya mengeluarkan isi dompetnya dan isinya sangat
cukup untuk mengelabuinya. Saat turun, kuserahkan ongkos taksi sesuai tarifnya
dan itu setengahnya dariku, dan aku memberikan tuntutan dua kali lipatnya yang
mana itu adalah miliknya sendiri. Aku membayar hak sang supir taksi sesuai
dengan haknya. Dan tentu saja aku tidak mau rugi, pun pasti wanita yang sedikit
gila itu. Giurkan wanita bukan dengan banyak janji, namun dengan apa yang ia
sukai meskipun itu bayangannya sendiri. Mengerti?
Aku memasuki gerbang tempat dimana aku bekerja. Sebuah lembaga
pengelola wisata. Aku ditempatkan di bagian penerjemah. Kaena aku mahir
beberapa bahasa asing. Bukan dengan terpaksa, dengan disini, aku bisa mengakses
beberapa orang asing yang kadang menjadi suplier buruanku. Atau bahkan
merekalah buruanku. Antek-antek asing yang mencurigakan, semua kutelusuri
datanya. Walau tadi sempat dibentak oleh The Boss, Mr Greg, aku selalu
beralasan dengan lugu. Amarahnya selalu sirna, karena baginya aku adalah
satu-satunya aset yang paling berharga. Karena aku, pun dianggapnya, yang
paling bisa dipercaya melebihi sekretarisnya bahkan istrinya sendiri, aku selalu
berkata apa adanya. Kecuali kejadian tadi tentunya. Walau sempat diinterogasi
oleh Lulu, sekretarisnya.
“where have you been? Mr. Greg menantimu sedari tadi, kalau kau
sampai mengecewakan beliau, habislah sudah.”
“Mr. Greg sudah kubawakan jamu kesukannya, aku memberikannya pada
beliau saat di depan tadi. Tenang saja, aku hanya menaiki angkutan yang mogok,
Lu.”
“mogok? Bukannya semua transportasi umum sudah diganti dengan yang
paling baru?”
“kau tahu buatan cina kan? Seperti ponselmu, motif cangkirmu,
pelembab kulitmu, semuanya dari cina.”
“iya, hah? Lotionku? Apanya yang cina?”
“kau tidak baca keterangannya? Diolah dari mutiara asli cina,
blablabla. Kau ini payah, tidak teliti.”
“tidak seperti kau, pantas saja si Bos selalu membanggakanmu. Tapi darimana
kau tahu lotionku?”
Aku pun berlalu meninggalkan Lulu yang masih bertanya. Aku segera ke
mejaku dan akan segera melayani turis special dari negeri Gajah Putih. Ia membutuhkan
penerjemah. Sayang sekali, aku bukan ahli dalam bahasa yang memiliki huruf
abjad yang terdiri dari tiga puluhan lebih. Beruntungnya, kusodorkan pada
ahlinya.
“Fer, bahasa Thai nih, lusa, bisaa ya? Asisten inggrisnya tidak
ada. Jadi dia butuh penerjemah langsungnya, sekalian. Kaerna bakal ada acara
besar nih”
“Lusa ya, berarti hari Rabu? Hmm, kulihat jadwalku dulu, oke, aku bisa.”
“ Sip.”
“oh iya, dibawah tumpukan berkasmu, ada paket dari Sydney,
sepertinya. Lihatlah. Aku meletakkannya disitu tadi pagi. Mungkin dari
perlombaan menulis essaimu itu”
Kubuka amplop besar yang berisi sertifikat tebal yang bertuliskan
namaku sebagai juara ke 3. Ada selipan surat kabar selembar. Dan satu keping
micro chip yang di tempel di tepat di bawah tulisan angka 3. Kuamati micro chipnya,
surat kabarnya, halaman utamanya. Sebuah tulisan besar, headline. Akan diadakan
pemilihan Miss Transgender di kota ini. Dan yang meminta layanan penerjemah
adalah, … ternyata ini pesan dari si Nomor 3.
Kumasukkan micro chipnya ke ponselku, berikut prosedurnya muncul. Bahwa
para transgender dan wanita jadi-jadian itu akan berangkat dengan mengendarai
sebuah bus dan dikawal oleh awak hukum. Pun hingga di tempat audisinya, dijaga
sangat ketat. Nomor 3 menyarankanku agar mengikuti skenarionya. Bahwa dia yang
akan mengatasi gedungnya jika kendaraan pengangkut mereka tidak bisa
dilumpuhkan.
“Kita punya satu nyawa, sebaiknya hanya untuk yang terbaik.” 3.