Nama adalah Cerita
Sparkle X
Detik Mushaf yang tersita (2)
Songsongan matahari senja belum menguning sendu. Masih terasa
teriknya. Terpaan angin yang sedikit lebih beku karena dataran bukit dan lembah
di sepanjang alat indera berinisial mata memandang. Bukit, lembah, dan udaranya
yang menerpa kulit secara lembut. Ditambah siraman senja yang membuat tempat
ini terlihat lebih indah dari sebelumnya. Tempat ini adalah destinasi wisata
baru di kota ini. Taman wisata Goa Jepang, tulisan ini
terpahat rapi di ujung jalannya yang tak jauh dari destinasinya.
”Bismillah, Ya Allah, semoga
lancar.!” munajatku sebelum masuk ke panggung dan langsung berdiri di sebelah
dua orang pengatur acara.
“baik para hadirin, langsung saja kita panggilkan Romantic
Magician, L. beri tepuk tangan yang meriah, yuhuu!”
“ini dia sang Romantician kita, sebentar L, sebelum kamu
menunjukkan aksimu kali ini, kita interogasi dulu ya Vi, kenapa namanya L?”
“benar sekali Aldo, kenapa bisa dipanggil L, kenapa cuma satu huruf
ya? Atau jangan-jangan dia ini saudaranya al dan dul, anaknya ahmad dhani?
hahaha” interogasi sang mc dihadapan para penonton.
“ah, bukan. Sebenarnya dipanggil Owl, yang artinya burung hantu.
Namun karena lidah kita lidahnya orang Indonesia, khususnya Aceh, agak susah
untuk menyebutnya. Malah terdengar seperti owel owel gitu, makanya cukup L
saja. Gitu. “ jelasku kurang lebih.
“Owl, berarti burung hantu yah, unik
sekali ya para seniman panggung ini. Baik, kita saksikan saja penampilan dari
L, Romantic Magician.” Sang mc mempersembahkan aku dan langsung beranjak dari
panggung. Aku langsung menyapa hangat para audien dan melakukan opening sebelum
memulai pertunjukkanku.
“dalam kehidupan masa muda, tentu tak lepas dari yang namanya
moment-moment menyemainya benih-benih cinta. Cinta adalah anugerah dari Sang
Maha Kuasa, kepada kita hambaNya untuk menciptakan damai tentunya. Setiap orang
yang jatuh cinta, pasti sangat ingin menyenangkan orang yang dicintainya.
Karena dalam sebuah penelitian, otak manusia akan memproduksi dopamin ekstra
yaitu bahan kimia alami, yang membuat orang menjadi gembira berlebihan. Beragam
upaya dilakukan, seperti memberikan sesuatu yang bernilai dimata, atau sekedar
kalimat-kalimat rayuan mesra.” Paparku kemudian diiringi teriakan dari para
audien.
“nah, sebagai seorang romantic magician, saya akan mencoba hal itu.
Dan saya mohon dengan sangat, kepada orang special yang bersedia menemani saya
di panggung yang sangat spektakuler ini, wanita terkhususnya, silahkan.”
Salah seorang kru menyelusuri dan mengajak seorang wanita, jelita
parasnya. Sedikit tinggi tubuhnya, pun hidungnya, semesti sang Ratu dari India.
Saat ia beranjak dari tempat duduknya, berjalan dan langsung bediri disebelahku
dengan anggunnya.
“Hai, halo. apa nama yang paling indah untuk bisa ku menyapamu
dengan hangat?” tanyaku lembut.
“hah?
sorry?” ia malah bingung dengan pertanyaanku. Aku terkekeh, pun para audien.
“maksudku,
siapa namamu?”
“ooh,
Gita Soraya”
“Oke,
Gita. boleh tepuk tangannya untuk Gita.” Pintaku kepada para audien.
Sebenarnya,
ini adalah moment spesial untuknya. Maksudku, iya aku sudah menyarankannya
untuk maju ke panggung dari dua hari sebelum acara ini. Dia bukan seorang
audien yang kupanggil secara acak. Pun juga, adalah Miftah yang menariknya ke
panggung. Iya, semuanya sudah direncanakan. Tapi, tidak semua penampilan
menggunakan orang dalam. Beberapa performa seperti yang kerap kami
lakukan, untuk kelas ekstrim misalnya, peforma mengerikan dengan menggunakan
property yang berbahaya, atau peforma mentalist dengan memprediksi dan performa
lainnya. Ini hanya khusus untukku, karena pada akhir permainan ini aku akan
memberikan hadiah special untuk Gita.
Aku pernah merasa bersalah padanya saat itu. Setelah perkenalan itu
ia mulai tertarik denganku, melalui trik-trik sulap romantisku yang merdu.
Dengan lugu, pun ia katakan bahwa aku orang yang lucu. Ia semakin tertarik,
ketika temanku menceitakan tentang siapa sebenanya dirikuku padanya dan pada
kakak perempuannya. Tentang segala apa yang setiap waktu aku kerjakan, semua
yang ia tahu. Tapi tanpa sepengetahuanku.
“si L, anaknya rajin loh. Dari pagi, dia tuh langsung buka toko kue
orang tuanya. Tepat jam 7 dia udah ngelap kaca, beresin tokonya sampe mengkilap
deh pokoknya. Ntar jam 9 pagi baru orang tuanya datang. Rajin deh. Dia juga
lulusan pesantren, nggak merokok lagi. Agak konyol sih orangnya, tapi asik.
Kalo nggak ada dia, kita ngumpul nggak akan seru. Cuma tadi aja dia agak jaim
karena lagi ketemuan kan.”
“yaudah jodohin aja adikmu sama dia, haha. Gita pasti mau kan dek.
Ganteng sih nggak Cuma manis lah kan orangnya. Daripada cari yang ganteng tapi
bengsek kan? Yaudah ntar kalo jadi bakal Bang Hanif bilangin deh ke dia, mau
kan? Pasti mau dong.” Jelas Hanif, pakar Hypnosis kami dengan panjang lebar dan
diiringi anggukan lembut Gita.
Dua belas hari berjalan. Ia sering mengunjungi toko dimana aku sering menghabiskan waktuku. Tak masalah selama ibuku tidak ada. Atau jika ada, layani layaknya pembeli. Entah siapa saja yang ia bawa ke tokoku hanya untuk membeli sepotong kue. Padahal ia sendiri tidak suka dengan kue-kue ditempatku yang kebanyakan berlapis coklat lezat. Show off maybe? Entahlah. Ia tidak pernah lama, sekedar mampir, membeli dan langsung pulang. Aku sering mengenakan pakaian rapi untuk melayani pembeli. Seperti mengenakan kemeja, dasi merah, atau dasi kupu-kupu, dan rompi hitam. Aku mencoba untuk menjadi seperti waiters, pun dengan logat yang tidak biasa, bukan dengan bahasa indonesia yang medok aceh. Tapi dengan bahasa layaknya profesional.
"Selamat datang di Sabri's Boys bakery shop, ada yang bisa kami bantu. Silahkan."
"mendekati hari kelahiranku Gita
mempersiapkan kejutan untukku sebagai pria yang ia cintai. Setelah sehari
sebelumnya aku dihina dengan ramuan telur busuk yang diguyur di kepalaku, Gita
mengajakku bertemu untuk memberikanku surprise katanya. Aku peringatkan, jika
ada telur yang disiapkan untuk kepalaku, tidak ada kata maaf.
“tenang saja. Awalnya kakakku merencanakan itu, namun tak akan
kubiakan dia mengotori orang yang aku sayang.” Rasa lelah hilang setelah ia
mengukir kalimat itu yang kutatapi melalui layar ponsel butut milikku.
Selalu, Miftah ada bersamaku, menemaniku menjemput surprise itu.
Sebenarnya ia sedang ingin memantau pergerakan Vira-nya. Menggali informasi
melalui teman dekatnya, Dina. Dialah sang kakak Gita. Setelah tiba di tempat
yang direncanakan, mereka langsung menjalankan ritual tahunan yang sang bagiku
sangat langka terjadinya. Gita mengajakku duduk disebelahnya, kemudian aku
mengatakan bahwa aku tidak bisa lama. Ia pun mengangguk lembut dan mengerti.
Segera ia keluakan sebuah bungkusan besar untukku.
“buka di rumah ya, sendirian. Jangan buka didepan orang-orang. Aku
malu.” Sarannya.
“Baiklah, jika memang harus di rumah. Oke, aku harus bergegas
sekarang ya, ada pesanan yang harus diantarkan untuk ibuku. Malam besok ya kita
kemana.”
Setibanya dirumah langsung saja kubuka kotak besar itu, kusobek
pelahan, ada dua buah bungkusan kecil terpisah. Isinya kertas dan sebatang
coklat. Kubuka lagi kotak yang berukuran besar, cih, dipenuhi dengan potongan
koran yang banyak. Sedikit sulit untuk menemukan inti kado ini. Dan akhirnya,
ku temukan. Sebuah baju hitam, lagi. Nice. Aku suka sekali. Kutemukan lagi
gulungan kertas. Kubuka dan ternyata ada untaian puisi yang kukira, walau
ternyata sebuah ucapan dengan kata cinta mengiringi setiap bait-baitnya. Pun
juga Terukir lembut nama lengkapku.
Malam selanjutnya, aku datang menuju kediamannya. Menjemputnya dan
membawanya untuk sekedar menikmati cerahnya bulan malam ini. Jalan menuju
kediaman Gita sedikit sulit untuk pengendara nakal sepertiku. Tidak memiliki
SIM, helm, dan atribut lainnya sebagai syarat agar tidak terkena
razia oleh polantas yang berada dijalur yang harus aku lalui. Untuk menghindai
itu aku harus mengambil alternatif, yaitu jalur yang sedikit angker menurut
orang sekitar. Ya, temaram jalannya pun juga harus melewati kuburan. Rasa
merinding hilang ketika yang kubayangkan adalah senyuman lembut Gita.
Menikmati malam bersamanya dengan bercerita-cerita tentang diriku
yang tidak kuungkapkan segalanya. Untuk apa? Bagiku menjalin hubungan tak halal
sepeti ini pun dengan gadis remaja yang masih belia, tidaklah harus menceritakan siapa
diriku dengan detail. Dan pacaran menurutku adalah mengungkap jati diri satu
sama lain. Bagiku itu tidaklah perlu. Untuk
saling mengerti katamu? Benarkah?
Bukankah ketika tiba saatnya kau melakukan kesalahan yang tiak dapat dimaafkan,
dan semua tentangmu akan diumbar kepada sesiapapun.
Walau demikian aku, dia tak berhenti mencari tahu. Adalah Hanif
malam itu, ku hujami wajahnya karena ia mengatakan segalanya tentangku pada
Gita.
“apa-apaan ini L? aku hanya mengatakan semua yang baik dan benar
tentangmu. Tidak lebih, L. itu saja.”
“justru itu. Segala tentangku yang kau tahu, maka orang lain tak
pelu tahu. Itu bukan urusanmu untuk memberi tahu. Maaf nif, apa itu sakit?”
Hanif mengira bahwa terbawa arus sebagai seorang pesulap yang harus
tertutup dan misterius, bukan. Sama sekali bukan. Aku hanya tidak suka. Itu
saja. Namun tentang Gita, tak perlu kucari tahu, informasi tentangnya secara
detail datang dengan sendirinya, melalui ceritanya sendiri dan kakaknya. Tapi
ada hal aneh yang aku dapat tentangnya. Ia tidak seperti gadis belia biasa. Ia
sama sekali tidak ada rasa takut dengan hal-hal mistis. Atau seperti sudah
terbiasa dengan hal itu. Semenjak kepegian sang ayah untuk selamanya, ia
seperti diganggu oleh sosok dari alam lain. Awalnya aku tidak curiga ketika
malam dimana aku menjemputnya, ia malah mengajakku untuk menemui ayahnya. Ya di
kuburan yang tak jauh dari rumahnya. Malam-malam begini?
“kenapa? Apa kau takut? Biar kuperkenalkan kau pada ayahku.”
“kau bercanda? Malam-malam begini ke kuburan? Berdua? Yang ada
malah kita ditangkap oleh orang sekitar dengan dugaan
berbuat mesum.”
Aku hanya mengira bahwa ia hanya bercanda. Namun perlahan ia mulai
menceritakan sosok itu. Imanku harus kuat ketika mendengar itu. Seperti saat
aku keluar bersamanya pada suatu malam, sering secara tiba-tiba ia memelukku
erat dan merasa
ketakutan lalu berkata bahwa sosok itu muncul di
depan kami. Aku mengitari sepeda motor yang kami kendarai ke rute lainnya yang
lebih ramai. Namun tetap saja. Sosok wanita dengan separuh tubuhnya utuh dan
separuhnya hancur seperti yang ia katakan selalu saja muncul. Padahal beberapa
tokoh agama sudah ia datangi untuk pengobatan,
namun tetap saja.
Pun dirumahnya, ketika ia beranjak tidur. Ada sosok lain. Sosok
yang sering membat Gita harus terjaga dari tidurnya di tengah malam hanya untuk
memenuhi pinta sosok itu bermain-main. Sosok yang dengan postur tubuh seperti
gadis kecil berusia lima tahunan itu kerap terus membangunkan gita ketika ia
ketiduran dan melihatnya bermain-main hingga dua jam.
Ini bukanlah indigo, ini benar-benar
gangguan. Meskipun sebenarnya indigo juga termasuk gangguan. Ini harus
disembuhkan dengan pengobatan terapi ruqyah . ia berkata sudah menjalaninya. Dan mulai
menunjukkan perubahan. Aku sangat kagum karena ia adalah seoang gadis yang
sangat tegar, setelah harus merasakan kehilangan akan sang ayah, kemudian ia
harus diganggu dengan makhluk alam lain, tak lepas juga dari masalah dalam
keluarga yang sering ia ceritakan.
Setelah menerima kenyataan pahit itu, dan
melewatinya dengan tegar hingga terselesaikan semua masalahnya. Tapi ia harus
menerima kenyataan pahit lain, dan itu dariku. Sebagai seorang yang ia sayang
katanya. Hampir seperti Gita, aku juga meiliki kenyataan pahit. Aku berdebat
dengan orang tuaku yang seharusnya tak patut kulakukan sebagai seorang anak
lulusan pesantren. Hingga menjadikanku untuk tidak pulang ke rumah. Aku dipaksa
lagi untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Lampung, sekolah berasrama dengan
jurusan Ilmu Da’wah. Kukatakan pada mereka, aku sudah lelah dengan menghafal
ayat-ayat selama enam tahun penuh di pesantren. Biarkan aku mencicipi ilmu-ilmu
umum. Bantahan ini membuat orang tuaku diam. Diamnya oang tuaku rasanya seperti
neraka.
Aku mulai tidak fokus dalam hal apapun,
bebeapa penampilan sulapku nyaris gagal hanya karena aku kehilangan
konsentrasiku. Pun Gita, aku belum bisa bercerita tentang apa yang aku hadapi.
Namun ia terus ngotot, hingga membuatku kesal. Kukirimkan pesan untuknya dengan
harap ia dapat mengerti keadaanku. Namun tidak, temannya yang sedikit tidak
waras berkali-kali menelponku menanyakan tentang hubunganku, amarahku muncul,
tak sadar jika hp bututku yang kugenggam sebelumnya sudah berserakan di lantai.
Hari-hari berikutnya sama, aku lepas kendali
dan kukatakan pada Gita untuk mengakhiri saja hubunganku dengannya. Aku mengira
ini akan meredakan sedikit beban pikiranku. Namun lagi-lagi tidak. Bertubi-tubi
panggilan telepon dan pesan singkat dilontarkan kearahku, dari temannya, sang kakak, dan beberapa
temanku. Aku hanya menjawab singkat,
“I’m sorry, I wanna dissapear and gone”
--oOo--
Backsound romantis semakin membumbui
penampilan sulapku dengan Gita sebagai sukarelawanku. Aku mulai mengeluakan
beberapa buah amplop dan menyusunnya dengan rapi diatas meja. Permainan ini
kunamai dengan “One Heart”.
“Sekarang tugas Gita, memilih satu buah amplop
dari lima buah yang ada di meja ini. Satu saja, cukup menandainya dengan
melihat saja, tanpa menunjukkannya pada siapapun. Pemainan One Heart ini bisa
juga di ikuti oleh penonton lain. Silahkan untuk para penonton yang bisa
melihat, pilih satu buah amplop seperti yang saya katakan tadi. Baik jika sudah
akan kita lanjutkan”
“Agar
lebih menaik lagi, saya akan menambah jumlah amplop ini. pertahankan amplop
pilihan anda tadi, jangan berubah. Baik saya akan tambahkan.dan amplopnya
bertambah menjadi sembilan buah.”
“oke,
masih dalam posisi pilihan anda tadi, dan sekarang anda harus melangkahkan
posisi pilihan anda tadi sebanyak lima langkah, dan tanpa menunjuk, cukup
dengan melihatnya saja. Baik paham? Cara melangkahkannya harus secara vertikal
dan horizontal, tidak dengan diagonal. Dan hitungan langkah dimulai ketika
sudah melangkah, tidak dari posisi pertama. Baik, paham? Buat para audien juga,
mengeti? Baik. Kita mulai melangkah. 1, 2, 3, 4, 5. Sudah? Pertahankan posisi
dan ingat. Posisi anda pastinya bukan disini.
“benar?
Apakah benar Gita? Para audien bagaimana? Benar? Baiklah, ternyata semuanya
benar. Kita lanjutkan lagi. Sekarang langkahkan posisinya sebanyak 4 langkah
dari posisi anda tadi. Oke, sama seperti tadi. Baik, kita mulai, 1, 2, 3, 4.
Sudah? Dan posisinya bukan disini.
“apa
saya benar lagi? Baik kita lanjutkan lagi, sekarang melangkah tiga langkah. 1,
2, 3. Oke, dan posisinya bukan di sini.
“Kita
lanjutkan kembali dengan melangkah, 3 langkah lagi, mulai, 1, 2, 3. Dan
posisinya bukan di amplop yang ini.
“oke,
melangkah dengan dua langkah lagi, siap, 1, 2. Posisinya bukan disini.
“baik, siap dengan langkah terakhir. Siap ya. Langsung saja melangkah. Hap!
Bukan di amplop ini, bukan yang ini, dan bukan disini.”
|
maaf, ilustrasi sulap sangat sederhana :D |
“dan
akhirnya, langkah terakhir Gita berada di amplop ini. bagaimana dengan
penonton? Apakah sama? Sama kan? Nah, inilah permainan One Heart, satu hati.
Walaupun anda semua berbeda cara untuk menetukan pilihan, menentukan langkah,
namun sejatinya kita memilih tujuan yang sama. Karena kita satu hati.”
“Penasaran
apa hadiah yang telah Gita pilih? Sebelumnya kita lihat dulu delapan amplop
yang tidak dipilih oleh Gita dan para penonton. Silahkan dibuka. Tolong para
kru dibantu.” Para kru segera membukakan satu demi satu dan memperlihatkan isi
dari amplop. Isinya hanyalah kertas dengan tulisan dari nama-nama benda yang
menggiurkan, seperti gadget, uang tunai, permata dan benda-benda mewah lainnya.
“wah, sayang sekali ya, langkah yang
ditentukan oleh Gita tidak mendapatkan barang-barang mewah tadi. Dan
sebenarnya, apa ya isi dari amplop yang dipilihnya. Kita biarkan dia yang
membukanya sendiri. Kamu siap Gita?”
“Siap.”
“iya, mari kita saksikan apa isinya,
tolong berikan mic untuk Gita.”
Ia membuka perlahan isi dari amplop itu dan
ketika ia membuka kertas dengan ukiran tulisan itu, ia tersentak kaget hingga
harus menutup mulutnya. Ia pun membacakannya.
“Kemewahan tak ada artinya dibanding sayangnya
Tuhan kepada Hamba-Nya. Selamat, sebuah Mushaf Alquran menjadi milik anda. Wah.
Hihihi.” Ia kegirangan disambut tepuk tangan yang meriah oleh para audien.
“iya, selamat Gita. Ini dia hadiahnya. Dijaga
baik-baik ya. Hehehe. Oke para hadirin, sekian penampilan dari saya,
terimakasih. Saya L, romantic magician.”
Setibanya dirumah, dalam rehatku di malam yang
lumayan cerah, Gita menghubungiku, ia masih bingung dan mengucapkan terima
kasih. Ia tidak menyangka jika oleh-oleh yang ia pinta menjadi sangat special.
Dengan lugunya ia bertanya, kenapa mushaf Alquran?
“apalagi yang paling bermanfaat selain itu,
tidak ada. Sebenarnya itu untuk menebus waktumu yang pernah tersita olehku.
Seharusnya kita tidak bertemu kan, jika kau harus mengalami hal pahit
keputusanku.”
“apaan sih, udah deh. Aku sudah mengerti
semuanya bang, aku tau. Aku juga sudah tau tentang kakak SPG itu. Dia cantik
juga ya, hahaha. Iya aku mengerti hal itu, bang. Aku sangat menghargai ini, ini
luar biasa. Aku suka sekali. Warnanya juga. Indah sekali. Terimakasih.”