Nama adalah Cerita
Sparkle: IX
“bodoh, kau dipermainkan begitu. Dengan
polosnya kau melewati itu. Tidak melawan? Really? Bodoh!” serapah Miftah dengan
raut wajah sangat kesal.
“dulu, Mungkin kau boleh mentertawakan
aku, kau hina aku karena aku menangisinya ketika putus. Kau ceritakan pada
teman-teman lain tentang tangisku. Sekarang kau, … masya Allah” lanjutnya.
“bukan begitu, aku belum selesai
bercerita.” Bantahku dengan kesal pula. Namun tetap berkonsentrasi dengan
setir.
“tunggu dulu. bagaimana kau bisa
menjemputnya. Dia memintamu untuk mengantarkannya ke kampus?”
“tidak, dia hanya mengatakan sesuatu
seperti, atau mungkin itu hanya sindiran agar aku bisa menjemputnya” jawabku.
“medianya?”
“telepon, tepatnya.”
“Telepon? Dia yang menelponmu?”
“iya, semalaman. Ia bercerita banyak hal
seperti dulu. Dan, …”
“it’s a trap, dude.”
“apa? Apa maksudmu?”
“kau belum sadar? Dia sengaja menelponmu
untuk bisa jadi lebih akab denganmu. Kemudian berkata ‘wah besok gak ada yang
nganterin aku ke kampus nih’. Dan kau menawarkan diri, kemudian dia mengatakan
jangan, tidak usah, aku tidak mau merepotkanmu. Terus begitu hingga menjadi
seolahnya kau yang memaksa menjemputnya . juga karena kau baru bisa mengendarai
gerobak ini. Show off, maybe. Saat ia ingin pulang. Kau menjemputnya lagi. Ini
dia intinya. Agar kau bisa berada dengannya di suatu tempat. Lalu sang lelaki
dengan rupa yang aneh itu menelponnya untuk bertanya tentang lokasi kalian. Dan
sang lelaki dengan rupa aneh itu bisa mengancam kau yang hanya diam dengan muka
polosmu itu. Kau sudah dijebak, bodoh.” Papar miftah dengan analisis layaknya
detektif Conan. Padahal aku belum menceritakannya dengan detail.
“maksudmu aku dijebak agar bertemu dengan
…”
“iya, tentu”
Mungkin benar dengan analisis Miftah.
Menjebakku agar, ah, sudahlah. Itu mungkin hanya sekedar deduksinya saja.
Seperti yang sering kami lakukan. Berdeduksi layaknya detektif, namun lebih
banyak mengada-ngada. Hanya aku dan Tuhan tentunya yang tahu cerita sebenarnya.
Bahwa aku saat itu, seolah memaksanya agar aku bisa menjemputnya untuk
mengantarnya ke kampus. Oh iya, siapa dia yang kuceritakan. Dia adalah salah
satu teman kecilku yang punya cerita aneh saat ulang tahunnya.
Aku baru saja mahir untuk bisa menyetir
Honda Jazz milik ayahku. Ia pergi keluar kota untuk beberapa waktu dan
membiarkanku mengendarai mainannya dengan sesukaku. Ini kesempatan baik bagiku.
Tentu ku ajak teman-teman kecilku itu untuk sekedar bermain dan jalan-jalan.
Walau tak lengkap seperti tiga tahun yang lalu, tanpa si Lita. Ada cerita lain
dengan Lita setelah insiden ulang tahun itu. Pun sang putri yang berulang tahun
itu. Tak ada kabar apapun. Namun saat itu ada kabar baik darinya. Setelah kami
melakukan sedikit perjalanan singkat. Aku ingin melakukannya lagi, hanya berdua
dengannya. Jika saja bisa.
Malam itu, ia bercerita banyak hal.
Tentang kuliahnya dan hal lainnya yang bagik itu sangat tidak penting.
Namun aku tetap saja dengan tenang mendengarkannya. Apapun, setiap kata dan
rangkaian cerita yang keluar dari mulutnya. Cinta? Cih, bukan. Ini Cuma rindu.
Iya pernah memang, tapi kuenyahkan saat ada yang bisa mengindahkan. Benar apa
yang diungkap Miftah. Ia menyindir dan membua seolah aku yang memintanya untuk
menjemputnya kuliah. Dan itu terjadi. Aku menjemput sang putri dari istananya dengan
kereta kuda silver jazz-ku.
Sebelum kuantarkan ia kembali menuju
istananya, ingin ku mengajaknya untuk makan siang. Sedikit jauh ku mengitari
kota ini untuk mencari tempat makan dengan suasana yang nyaman. Satu demi satu,
dienyahkan. Hingga ia katakan bahwa ia sedang tidak ingin makan apapun.
Akhirnya ku arahkan kemudi menuju alun-alun kota Lhokseumawe yang berada di
sebelah Islamic Centre. Mungkin untuk sedikit memakan camilan saja. Pun
sang putri menyetujuinya dengan senyuman lembut.
Aku segera turun dan segera
menuju meja untuk reservasi. Saat aku mulai duduk dan mengambil ponsel dari
saku celanaku serta meletakkan kunci yang telah kutekan tombolnya. Sembari
mengecek semua media sosial yang ada di ponselku, sang putri yang sedari tadi
bersamaku tidak kunjung datang menempati tempat duduknya. Kumenoleh ke arahnya.
Ia sedang menerima telepon. Tapi ia berjalan seolah menjauh dan kulihat raut
wajahnya menjadi serius. Ah, mungkin masalah ujiannya di kampus yang
dibatalkan. Aku kembali menatapi layar ponselku. Sesekali melepas pandanganku
ke hamparan hijau alun-alun kota ini. Atau lebih dikenal dengan nama Lapangan
Hiraq.
Saat aku mematikan layar
ponselku aku melihat bayangan sang putri melalui pantulan layar ponselku yang
hitam. ia ditarik oleh seseorang. Aku menoleh dan ternyata orang itu adalah
laki-laki yang penyebab terbungkamnya sang putri waktu itu. Ia menarik sang
putri kesuatu tempat yang agak jauh dari keramaian. Sempatnya ia menoleh ke
arahku dan berteriak dalam serapahnya.
“Kau tunggu aku disitu njing
ya, kau tunggu!!” ia meneriakkanku dengan hewan. Oh shit. Aku sempat mengira
jika itu bukan untukku, namun saat kulihat disekitarku, tak ada sesiapa. Benar
itu untukku serapahnya. Tak ada yang bisa kulakukan, selain kuacungkan jari
tengahku. Kembali ia menatapku dengan bengis dan mengajak sang putri untuk
berbicara dengannya.
Pun aku bingung. Aku harus
apa? Ah iya. Aku harus memesan makanan. Aku harus makan siang terlebih dahulu.
Satu porsi bakso mungkin cukup mendiamkan amarah lambung ini. Kucoba untuk
menikmati sesuap demi sesuap dengan tenang. Jika lelaki itu datang
menghampiriku, aku akan mensilahkannya untuk duduk, atau kusuapi ia jika perlu.
Mungkin ia sedang lapar. Seperti disebuah iklan yang ada di televisi, dengan
tag line "loe resek kalo lagi laper". Pun tak lupa kuberi tahu Hafia
yang sedang magang disebuah bank konfensional tentang keberadaanku.
"Kau tenangkan dulu
situasinya, akan kuusahakan untuk berada disana"
Sesuap terakhir, lumayan
membuatku berkeringat. Dengan dua sendok sambel yang ku sengajai. Ku seruput
kuah sesendok demi sesendok perlahan. Saat kuletakkan ponselku yang sedari tadi
ku genggam diatas meja, tiba tiba ada yang meletakkan kunci sepeda motor dan
menggebrak meja dengan kasar.
"Kau dengar aku ya
njing, aku sudah sangat muak dengan kalian. Untuk apa kau menjemputnya?
Hah?" Serapahnya. Ia memanggilku dengan hewan lagi dan merasa muak? Cih,
justru aku merasa mual saat menatapnya.
"Kau pikir aku tidak
tahu siapa kau sebenarnya hah? Jangan mentang-mentang kau seorang mejiksyen kau
pikir aku takut dengan kau?" Ternyata ia tahu bahwa aku terkenal dan keren
sebagai seorang pesulap. Tapi, apa katanya tadi? Mejiksyen? Mejiksyen ya?
Hahaha.
"Kau tahu siapa aku kan?
Hah? Jangan senyum saja kau!" Iya, aku hanya mengahadapinya dengan
senyuman polos saja. Bukannya takut untuk melawan. Dalam ilmu psikologi yang
sepertinya aku pahami, menghadapi orang yang sedang marah adalah dengan
tersenyum atau melawannya dengan hal positif seperti dengan kebaikan. Belajar
juga dari kisah Rasulullah kan, tentu. Aku juga memikirkan resikonya jika aku
malah melawannya dengan kasar. Seperti dimana kami berada sekarang, tempat
fasilitas umum, dengan ramainya orang-orang disekitar. Juga nanti, jika ada
luka setelah berkelahi mungkin, jika ditanya oleh ayahku, kenapa bisa terjadi,
dan kujawab sebabnya adalah karena memperebutkan wanita. Oh God, no. Sangat
tidak rasioal. Aku mencoba menghindari hal itu. Mencoba kukontrol situasinya.
Tapi jika lelaki dengan raut wajah yang aneh itu berbuat semenanya, oke. Baiklah.
"kau tahu aku siapa kan?
Jawab!"
"ahok kan? Eh siapa ya
namamu?"
"ya kau tahu aku
siapanya dia kan? Hah!"
"Cowoknya" polosku.
"jadi untuk apa kau
jemput dia, setan?"
"Tapi kan kalian sudah
putus?" polosku lagi.
"Putus apanya, apalagi
yang dikatakannya?" aku yakin ia mulai kalah.
"Entahlah, tanya saja
lagi padanya. Dia sembunyi dimana?"
"Kau ini, berani
ya?" ia semakin jengkel.
"Kupecahkan juga botol
kecap ini dikepalamu" jengkelnya sambil menggengam sebuah botol kecap
besar. Aku kembali terkekeh remeh. Itu membuatnya semakin memuncak emosi.
Kasarnya Ia mencengkerami
kerah bajuku dengan tangan kanan nya dan mengepalkan tangan kanannya yang
hitam. Kuraih kunciku dengan tangan kanan dan ku genggam untuk mengontrol
amarahku. Kuamati sekitarku, meja, dengan adanya garpu, kuah yang pedas,
termasuk wajahnya. Sumpah. Aku lebih tampan darinya.
Aku malah tertawa polos lagi.
Ia sudah di ambang puncak amarah. Tangannya yang ia kepal itu akan didaratkan
diwajahku. Melesat cepat. Namun nihil. Aku lebih dulu. Kupelintir siku tangan
kirinya yang sedari tadi mencengkeram kerah bajuku. Kudorong dengan cepat,
kepalanya kuhempas ke atas meja yang terbuat dari plastik. Beberapa barang
seperti botol saus dan kecap berjatuhan ke tanah. Salah satunya pecah. Ku toleh
ke bawah meja, oh tidak kunci mobil ayahku patah. Kuraih garpu, ingin
kutancapkan ke arah bola matanya.
"Dengar, now is my turn.
Oh ya, kau tidak paham bahasa inggris. Apa tadi katamu, mejiksyen?
Ahahahahaha." ejekku mengenyahkan serangannya. Tidak sia-sia bekal ilmu
bela diri ini.
"Kau pikir, cuma kau
yang bisa mengancamku? Hah? Mana pacarmu itu? Apa dia masih pacarmu? Dia sudah
tang menganggapmu lagi, taki kau masih mengharap? Bodoh. Apa peduliku. Dia
harus melihat ini." pandanganku menyapu sekitar. Di sekeliling, orang-orang
mulai panik dan menatapiku yang seolah sebagai polisi yang sedang memebekuk
pelaku kriminal. Aku mencoba mencari sang putri itu, ternyata ia melihat kami
dari jauh. Cih.
"Hey gadis malang! Kau
mau melihat ini, kan? Cepat kesini!" kataku setengah berteriak sambil
tetap memegangi lelaki dengan raut wajah yang aneh ini. Ia berusaha melawan.
Namun, jika ia bergerak, garpu yang sudah kuolesi dengan sambal ini siap
menusuk matanya.
"Jika kau bergerak
melawan, kuoleskan cabe ini ke matamu yang aneh itu." giliranku mengancam.
"Kau tidak tahu siapa
aku, bodoh. Aku juga tidak perlu tahu siapa kau. Orang yang hanya bisa
memberikan penderitaan. Tampangmu, aduh."
"Terserah padaku, siapa
yang ingin kujemput. Siapapun yang ingin kubawa. Bahkan presiden sekalipun."
"Cukup Rayan, lepasin.
Lepasin nggak?" sang putri tiba didepan kami.
"Atau apa? Hah? Mau
ngapain? Lelaki seperti ini yang kau, ... Aduuh mama sayang eeeh." tegasku
meniru aksen komika indonesia timur.
Tiba-tiba sang pangerannya
melawan, meraih garpu di tanganku dengan tangannya yang bebas. Inginnya untuk
menyerangku, namun dengan tangkas kuhempaskan lagi kepalanya ke meja dan kuraih
cepat botol saus dan kuarahkan di kepalanya. Kuangkat dengan tinggi dan siap
kudaratkan di kepalanya. Namun, Hafia tiba, meraih botol saus yang ada
ditanganku dan mengempaskannya. Botol itu terlempar jatuh ke tanah. Pecah.
“hey hey hey, tahan tahan.
Easy dude, easy. Sejak kapan kau menjadi sesadis ini hah? Kau lupa? Kau sadar
siapa dirimu?” hafia menenangkan aku yang sedang dalam mode beast.
“orang-orang akan semakin
ramai. Sudahlah. Kalian pulang saja. Bawa dia pulang. Jika diteruskan, akan
datang polisi yang tidak jauh dari sini.” Hafia menenangkan situasi dan
menyarankan sang putri untuk segera pergi. Walau pria dengan raut wajah yang
aneh itu membantah dan ingin kembali melawanku, namun tetap saja Hafia
mengenyahkannya.
Sang putri pun memaksanya
untuk segera pergi. Dengan tatapan waspada kembali kubereskan disekelilingku.
Aku menggaruk-garuk kepala saat kulihat kunci mobil milik ayahku sudah patah.
Gawat. Segera kuhampiri sang pemilik warung bakso untuk mempertanggung jawabkan
perbuatanku. Aku disambut dengan tatapan yang menyenangkan.
“tadi itu keren sekali
bujang, saat kau melawannya. Aku mengerti masalahnya. Jika itu tentang cinta,
kenapa tak kau tanyakan langsung pada sang wanita, untuk memilih diantara
kalian berdua. Selesai, kan.” Paparnya yang membuatku bingung. Ada apa dengan
pedagang ini? Mengapa ia tidak keluhkan bebeapa propertinya yang kuhancurkan?
Ia malah mengatakan itu dengan suara keras. Membuat orang-oang disekitar
menoleh. Pun aku malu.
“ah, bukan. Ini masalah
hutang, ia merasa tertipu dengan bisnis MLM yang kutawarkan. Hehehe.” Polosku.
“mohon maaf atas kekacauan
tadi. Dan ini sebagai ganti ruginya. Aku cuma punya segini. Mungkin itu cukup.”
Haturku sambil menyerahkan tiga lembar uang kertas berwarna biru. Ia
menerimanya dengan senang hati.
Aku segera menuju mobilku yang disana sudah berdiri hafia
bersandar dipintu kanan. Kulempar kuncinya yang sudah patah. Ia menyambutnya
dan menatapinya dengan bingung.
“patah? Oke. Biar aku yang menyetir. Kau sedang aneh.
Kita urus kunci ini dulu lalu kita cari tempat makan yang nyaman.”
“oke. Whatever. Kau mau tau kejadiannya?”
“aku sudah melihatnya dari awal. Saat kerahmu
ditariknya?”
“iya? Bagaimana? Keren kan? Seperti ftv yang pernah kau
bintangi.”
“iya keren. Tapi dimana kau belajar menjadi sesadis itu?”
“sadis apanya, itu hanya beladiri.”
“itu bukan beladiri. Maksudku keaadanmu secara
psikologis. Kau seperti psikopat.”
“psikopat?:
“ya, tepatnya, psikopat binaan.”
Saat aku kembali ke
kediamanku, ternyata aku telah dinanti makan siang oleh karyawan ayahku.
Seperti biasa, ia sudah memesan makanan yang sama-sama kami sukai. Namun
kukatakan bahwa aku sudah makan tadi.
“wah, bang, aku sudah makan tadi. Ah iya, tadi saat aku
makan di lapangan Hiraq, ada yang berkelahi. Keren sekali seperti dalam
sinetron. Kelihatannya, mereka memperebutkan cewek. Karena yang terlihat ada
dua orang cowok, dan satu cewek. Tapi tidak lama, karena sang pedagang
melerainya dan marah-marah menuntut ganti rugi.” Jelasku padanya. Yang
kujelaskan tentangku tadi, namun bukan sebagai aku. Sebagai oang lain.
“begitulah anak muda sekarang. Mau dikata apa. Kau harus
tahu satu hal, kau kan masih muda. Tentang wanita itu, jika kau merasa
disaingi, atau seperti kejadian tadi. Jika ada orang lain yang mengejarnya
juga, pecayalah, lebih baik kau menyerah dan jauhi saja wanita itu. Karena ia
sudah menjadi murahan. Maksudku, iya sudah wajar wanita diperebutkan seperti
itu. Tapi jika sudah sampai pada taraf kalimat pemilihan, (pilih aku atau dia),
kau akan dibuat menjadi barang pertimbangan, ia akan memilih salah seorang
diantara kalian. Salah satunya akan merasa senag dan lainnya akan merasa sangat
kecewa. Ternyata dari awal bukan hanya kau seorang yang dipertimbangkannya tapi
ada satu, dua bahkan lebih. Mereka yang telah lebih dulu leluasa.” Jelasnya
panjang lebar, aku menangapinya dengan khidmat. Perfect.
“bukan maksud mengajari, tapi sebagai orang yang lebih
tua dan lebih berpengalaman darimu, aku hanya berbagi. Ayo makan lagi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar