Tentang
tanah perbatasan ini, uniknya. Sebenarnya jauh untuk menempuh perbatasan itu.
Negeri jiran bernama Malaysia. Waktu yang harus ditempuh adalah selama empat
sampai tujuh jam menggunakan kendaraan bermesin yang beroda empat. Kukatakan, uniknya. Apa? Ini tanah melayu.
Nun disana pun ada suku dayak yang menderu. Mereka pernah bersatu, saat
kutanyakan pada orang disitu, tentang arti sebuah tugu. Tugu ketupat berdarah.
Adalah
sebah desa bernama Parit Setia, bersebelahan dengan desa destinasi kediamanku
dan beberapa temanku. Sebuah destinasi yang menjadi pilihan untuk melakukan
kegiatan kampus berinisial KKN. Kuningnya sebuah kabupaten bernama Sambas ini
terwarnai dari bangunan keratonnya. Wilayah kalimantan barat, buah hati dari
ibu kota Propinsi Pontianak.
Selepas
doa yang dipimpin oleh seorang tokoh pengasuh surau kecil nan sederhana bernama
Al Hidayah ini, aku berdialog dengannya. “Tidak ada lagi orang Madura disini. Pun seorangnya.” Tukas sang bapak pada kami.
“mereka
menjarah kami dengan seenaknya, sesuka hatinya. Jika tidak kami layani, darah
kami ditumpah boi. Tugu itu, kau lihat kan? Ketupat berdarah. Ketupat yang di
tampung dengan tiga buah lengan. Itu adalah tiga oang dari kami yang menjadi
korban pertama. Pun itu adalah saat lebaran.” Tegasnya lagi dengan suara
sepuhnya yang parau.
Miris
sekali mendengar cerita suram itu. Namun apapun saat ini sudah datangnya
kedamaian. Nyaman, bahkan tak ada pencurian. Untuk tamu seperti kami sangat
dimuliakan. Apalagi magangnya kami di desa ini adalah dalam segi religius.
Almamater dari altar suci Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah Mohammad Natsir disambut
lembut saat kami utarakan perkenalan.
“Delapan
bujang untuk wilayah kecamatan Jawai ini insya Allah akan melaksanakan
program-program mereka dan kegiatan da’wah lainnya selama satu bulan penuh,
bahkan lebaran mereka juga masih disini. Semoga bisa bermanfaat bagi kita
nantinya khususnya di bulan puasa nantinya.” Jelas ketua pengurus masjid kepada
para jamaah sebelum iqomah shalat isya.
Setiap
malam hampir semua dari kami menyebar ke beberapa masjid dan surau. Diminta
untuk sekedar menyampaikan prakata singkat bahkan mengimami tarawih. Ada yang
menjemput kami bahkan ada tempat yang kami datangi. Akses menuju lokasi
sangatlah mudah. Karena jalan yang perlu ditempuh adalah jalan yang lurus. Iya,
maksudku meskipun jalan yang aspalnya hampir musnah, dengan lubang-lubang yang
parah, jalannya hanya lurus searah saja. Namun jaraknya lumayan jauh dari
lokasi kediamanku dan teman-temanku.
“baik,
jadi begini bujang. Setelah kami perbincangkan, surau ini selama satu bulan
penuh kalian dipersilahkan untuk mengimami dan sekaligus kultumnya juga.
Biarkan kami sebagai makmum saja.” Pinta salah seorang pengurus surau.
“wah,
tapi pak, kita disini sebagai tamu kan lebih baik jika, …”
“sudahlah
boi, justru itu. Karena kami kedatangan tamu spesial dari Jakarta, maka
maksimalkan saja dengan sebaik-baiknya. Kau sanggup kan boi?”
“baik, Insya Allah kami sanggup pak. Kita juga
akan bergantian untuk memenuhinya. Karena di beberapa masjid dan surau lain
nama kami juga sudah tercantum.”
Antusias
yang seperti ini adalah kunci utama untuk suksesnya semua kegiatan dan program
kami. Secara maksimal mereka menyerahkannya untuk lancarnya kegiatan kami.
Walau dalam segi pemahaman tentang cara beribadah yang berbeda pendapat namun
tidak menjadi ultimatum bagi kami. Mereka mempersilahkannya dengan senang hati.
Seperti
saat pertama kali aku mengimami empat shaf shalat subuh. Doa qunut tak
kulantunkan karena kebiasaanku. Maksudku, aku mengilhami pendapat itu. Namun
setelah salam, baru aku menyadari bahwa aku lupa menanyakan perihal ini sebelum
ber-takbiratul ihram. Setelah aku berbalikkan badan, aku memperhatikan raut
wajah para jamaah yang ikut shalat dibelakangku. Tidak ada yang seperti
keheranan atau merasa aneh. Kecuali satu dua dari meeka yang sekedar melihat
siapa yang mengimami.
Setelah
para jamaah satu demi satu mennggalkan masjid, pun aku menanyakan perihal ini.
Tentang aku yang tidak melantunkan do’a qunut ini. Aku sangat khawatir.
Bisa-bisa karena hal ini, aku bahkan temanku bisa dianggap aliran baru ata bisa
dianggap sesat atau tidak diperkenankan lagi melakukan banyak kegiatan disini
atau bahkan diusir dari tempat ini.
“disini
qunut memang tidak dibacakan, biasanya. Tergantung sang imam juga. Jika adik
ini ingin membacakannya juga tidak masalah.” Jelas pak tetua masjid sembari
tersenyum.
Pun aku
merasa sangat lega atas apa yang diungkapkan sang tetua masjid. Kekhawatiran
yang terlalu berlebihan pun sirna. Namun kewaspadaan harus tetap ada. Siapa
tahu jika ada saja rintangan dan halangan yang akan menjadi tantangan ketika
menjadi juru da’wah, terutama di tanah perbatasan ini. Letak geografisnya
sangat jauh dari perkotaan. Mengendarai sepeda motor selama dua jam, menyebangi
sungainya selama seperempat jam.
Para
penjuru senior yang telah menetap lebih dulu dari kami bahkan lebih lama juga
sudah bercerita kondisi psikologis keagamaan mereka. Walau tak sepeti yang
terlihat, mereka yang berjenggot panjang dan becelana cingkrang diwanti-wanti
untuk melakukan aktifitas keagamaan di masjid desa Bakau ini. Bahkan microphone
pun jangankan untuk mengumandangkan azan, mendekati ruangannya pun tidak
diizinkan.
Untuk
wilayah daerah dimana tempatku bertugas, tidak ada secara real rintangan yang
atau tantangan yang secara fisik, namun hanya secara psikis. Dan justru inilah
yang lebih berbahaya sebenarnya. Bisa mengakibatkan hal-hal fatal lainnya. Tapi
ini tidak terlalu menantang mental. Tidak terlalu membuatku harus cemas dan
resah. Tidak membuatku berpikir berulang-ulang, gelisah, khawatir, was-was dan
apapun itu. Seperti yang dirasakan temanku di wilayah destinasinya. Tempat
mereka adala dimana umat muslim hanya sebagai minoritas.
Minoritas
muslim disana telah dihegemoni oleh umat Kisten sang mayoritas. Anak-anak
muslim yang bersekolah di tempat mereka terpaksa harus mengikuti apapn pelajaran
yang diberikan. Tak heran ketika temanku mengajak anak-anak itu untuk belajar
mengeja aksara Alquran, dan menanyakan perihal tauhid. Tenatang siapakah sang
Penguasa alam jagat raya ini, siapakah Tuhan kita? Mereka dengan sangat polos
dan spontan menjawab “Yesus”.
Pengetahuan
dasar tentang Islam yang seharusnya sudah pasti diketahui layaknya sebagai anak
muslim, itu tidak. Ini beralaskan pendidikan. Ya pendidikan yang harus mereka
resapi secara terpaksa tanpa pesona melalui sekolah yang dikelola oleh sang
Mayoritas, Kristen. Apa harus dikata? Tak ada sekolah lain. Itulah sekolah
paling langka untuk wilayah tersebut. Pun sang minor, kemana harus menanak?
Iika ada, sungguh jauh disana. Kepedulian dari muslimin lainnya? Mungkin hanya
sebongkah, selangkah, kemudian lepas arah. Tega? Entahlah. Setiap harinya
anak-anak yang seharusnya sudah mengeja abata malah harus menelusuri
pasal-pasal Perjanjian Baru dan Lama. Dieja untuk mengucap haleluya dengan
irama. Nihil untuk melantunkan shalawat atas Nabi-Nya.
Toleransi
katamu? Cih. Itu hanya ungkapan jika kau adalah sang Mayoritas. Agar tidak
menghalangi, membatasi atau katanya mengusik minoritas lainnya. Tapi jika
sebagai minor, tak segan mereka angkat senjata dan siap membidik
kerdilan-kerdilan dibawahnya.
“apa
Tuhan mereka itu tuli? Untuk memuji saja harus dengan pengeras suara?
Mengganggu orang tidur saja.” Kata seseorang yang sengaja mengeraskan emosinya.
Saat melihat teman-temanku melewatinya yang sedang duduk-duduk di seberang
warung yang sedang didatangi teman-temanku itu.
“tidak
usah khawatir anak muda, mereka memang seperti itu ika pulang berburu, mungkin
emosi karena buruannya sedikit.” Ibu pemilik warung melembutkan kekhawatiran
teman-temanku yang sudah bergetar kakinya. Seskali mereka melirik kebelakang,
kemudian orang tesebut berdiri dan berbicara dengan suara yang lebih panas.
“Ini
negeri kalimantan. Mereka tidak boleh macam-macam seperti di Jakarta karena
mereka mayoritas. Tapi disini mereka adalah minoritas. Awas saja, meskipun
mereka berlima, ini, tak akan segan-segan kutembaki kepala mereka!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar