Nama adalah Cerita
Sparkle : VII
Happy Fvcking Birthday!!
Sebuah budaya yang mendunia
disegala kawula. Suasana yang diperingati setiap tahun bagi setiap orang ini
dikatakan untuk bisa lebih membahagiakan. Entah siapa yang merasa bahagia jika
harus dijadikan “hina” terlebih dahulu bahkan kemudian dituntut harus rayakan
pesta atau mentraktir. Ini negara bernama indonesia. Perubahan dari gaya hidup
yang mengikuti sesuai arus trend-trend Barat. Tetapi dari Barat bagian mana
jika yang akan dibahagiakan harus dijadikan hina terlebih dahulu. Dihadapan
khalayak ramai, dilempari, dilumuri, ditertawakan, hingga mengotori tempat dan pakaian. Sungguh hina, sangat hina.
Iya, tentu tidak semuanya dilakukan hal yang demikian, tidak lagi
bahkan. Itu hanyalah perilaku manusia-manusia berusia kencur. Ini hanya sekedar membawakan kejutan di
detik-detik pertama hari kelahirannya kala ia tidur. Ia akan terbangun dengan
terkejut serta perasaan yang berubah menjadi bahagia karena ada saja orang yang
peduli terhadap hari lahirnya. Padahal sebenarnya, mereka yang yang melakukan
itu sangat berharap agar mengalami hal yang sama terjadi padanya, namun
berinisiatif membungkusnya dengan kertas plastik bernama persahabatan atau
kertas minyak bernama cinta. Berharap sekali. Karena dengan kekuatan berharap
inilah mereka berani untuk melakukannya terhadap orang lain terlebih dahulu.
Its called The power of Ngarep.
Tapi bagaimana jika mereka kemudian melakukan hal yang sama, namun
pada saat yang tidak tepat, entahlah, namanya saja juga kejutan. Bisa saja
datang tanpa dugaan. Walau kondisi sedang sangat tidak memungkinkan, mood tak
beraturan, atau ada moment lain yang sedang sangat sama sekali tidak bisa dienyahkan.
“kau tahu fi, rasanya aku mau kembali ke masa itu.”
“masa apa? Seenaknya ingin kembali kemasa ini dan itu.”
“kau ingat insiden hari minggu itu? Di pantai, kado yang dicuri?”
“bukannya kau yang besikeras agar kita tidak memikirkan hal itu,
bahkan sampai membicarakannya lagi. Whats wrong with you, dude?”
“of course I am, itu karena aku gak mau mengingat itu, karena aku
gak akan pernah terima hal seperti itu. Kau bisa bayangin kan, kita semua satu demi
satu telah dia kerjai dan dibahagiakan, diberikan sureprise. Tapi malah, … dan
kau tahu siapa yang langsung menenangkan kita? Bukan dia.’’
“kakaknya, kan?.”
“Tepat sekali. Hafia.”
Jika kembali kuawang kejadian itu. Dimana aku dan beberapa sahabat
kecilku yang baru saja lulus ujian SNMPTN akan memberikan kejutan kepada
sahabat kami yang sangat berjasa. Karena di kediamannya kami mendapatkan
fasilitas untuk mengerjakan semua prosedur-prosedur untuk masuk ke peruruan
tinggi. Fasilitas yang dimiliki rumah itu tentunya sangat mendukung.
Berawal dari hari kelahiranku yang sudah lama ia persiapkan. Ia
telah merencanakan dengan sangat matang. Ia paham bahwa aku bukan orang yang
teledor. Ia tahu jika melakukan itu tepat pada hari H, maka pasti akan gagal.
Karena ia tahu bahwa aku bukan orang yang bodoh yang mau menerima jika
dilakukan hal demikian. Toh dirumahku, tidak ada budaya seperti itu. Iya semua
orang juga tidak ada budaya melempar telur dirumahnya. Maksudku, perayaannya.
Dirumahku, tidak ada budaya yang diawali dengan meniup lilin, memotong kue dan
pemberian hadiah. Cukuplah uang jajan yang setiap hari diberikan. Meskipun juga
halnya orang tuaku adalah perias kue terbaik untuk acara-acara seperti itu. Aku
juga yang melayani para pelanggan untuk pemesanan kue seperti apapun yang
diinginkan, akan kami tempah dengan senang hati.
Namun temanku yang satu ini, ia
berencana melakukannya sehari sebelum hari itu, tepatnya pada malam sebelum
hari itu. Dengan melakukan adegan bahwa ia kehilangan kunci gerbang rumahnya.
Ia memintaku untuk mencarikannya dengan bantuan senter kecil dari telfon
genggam milikku. Saat aku sedang mencarinya dalam kegelapan disemak rerumputan
dekat dengan parit kecil dan disebelahnya ada sebuah tempat sampah beton kecil,
secara tiba-tiba ia menyiramkan ramuan super bau. Isinya telur ayam busuk yang
dicampur dengan terasi, sedikit air yang bahkan, ugh! kau tahu, aku sendiri
mual saat akan mengatakan ini. Ia menyiramnya tepat mengenai kepalaku. Utuh,
basah sepenuhnya dengan larutan super bau itu.
Aku menatapnya dengan emosi amarah, berserapah,
namun tidak mungkin, mau dikata apa, nasi sudah menjadi bubur dan bubur pun
telah habis disantap.
“bukankah sudah kukatakan bahwa aku
akan mengingatnya dan akan melakukan ini? Aku menepati janjiku kan?” katanya
polos mementalkan serapahku.
“iya, tapi ini belum juga, ini masih
tanggal berapa? Seharusnya besoklah hari kelahiranku. Ouh shit. Sumpah ini sama
sekali tidak nyaman, baunya hueeekk” aku mual dan hampir saja memuntahkan isi
lambungku.
“siapa peduli? Yang penting hari ini
kau akan babak belur. Ayo kita habisi dia malam ini! Lempar lagi telurnya”
ajaknya yang kemudian menyerangku dengan hina. Melempariku lagi dengan beberapa
butir telur tepat mengenai kepalaku, pun ditaburi lagi dengan tepung hingga
menutup selruh bagian rambutku. Mereka mentertawaiku dengn terbahak. Sangat
hina menurutku.
“jangan coba-coba maju atau kau akan, ..” belum sempat ia
menyelesaikan ancamannya aku datang dengan menggenggam sisa-sisa larutan super
bau buatannya dan menaburi ke seluruh wajahnya dan dilanjutkan dengan beberapa
wajah teman-temanku yang lain.
“sekarang pulanglah dan ganti
pakaianmu itu. Lalu kembalilah kemari segera. Maaf kamar mandi dirumah ini
tidak melayani bau busukmu itu”
Sejurus kemudian, pun aku kembali ke
tempat kediamanku. Di sebuah pabrik air minum dalam kemasan milik ayahku yang sudah
tidak beroperasi lagi karena tidak ada lagi dana yang akan menggerakkannya.
Suasananya terkadang menyeramkan, maka terkadang aku sering mengajak temanku
ntuk menginap. Setelah aku samapai di pabrik ini aku membersihkan diri dan
mengganti pakaian kemudian kembali ke rumah itu yang tak jauh dari tempatku.
Saat aku membuka pintu dan masuk
mereka menyambutku dengan kejutan. Dengan sebuah black forest yang bertuliskan
namaku dan tentunya sebuah bingkisan. Mereka memintaku untuk memotong kue dan
menyuapi mereka satu demi satu dari mereka berempat. Kenapa harus seperti ini?
Pun juga mereka memaksaku untuk membuka bingkisan itu. Setelah kubuka isinya
sebuah kemeja hitam, mereka paham warna kesukaanku.
“tuh, pake yang baru, jangan pake
yang itu melulu.” Ledek mereka yang ternyata memperhatikan apa yang sering
kukenakan ditubuhku. Pakaian serba hitam. Maklum, selama kugeluti dunia sulap
aku terbiasa dengan black style. Mereka mengira bahwa aku hanya mengenakan yang
itu terus-terusan padahal aku memiliki banyak pakaian hitam. Walau demikian aku
menerimanya dengan senang hati. Tapi, dalam benakku, aku merencanakan program
pembalasan. Akan ku cari tahu dan kuingat tanggal lahir mereka semua. Terkhusus
kepada gadis pemilik rumah dan pembuat larutan super bau itu.
Kami pun merencanakan hal itu tanpa
sepengetahuannya. Namun hari yang menjadi hari kelahirannya tidak memungkinkan
kami untuk bisa merealisasikannya. Karena itu adalah masa-masa dimana kami
sudah memasuki dan melakukan kegiatan sebagai mahasiswa. Maka kami pun merencanakannya
tujuh hari lebih awal. Beberapa properti kami siapkan. Tak lupa larutan yang
kuracik dengan resep yang sama seperti racikannya. Kue serta sebuah boneka
berukuran lumayan besar berwarna kesukaannya, sebagai apresiasi untuk sahabat
kami tercinta.
Namun, pada hari itu, minggu, hari
yang menjadi hari pembalasan untuknya tiba. Persiapan serta prosedur peleburan
dalam bingkisan kebahagiaan telah matang dengan ranum. Tapi tidak!. Sematang
apapun rencana itu, persiapan itu, adalah nihil. Sepertinya gadis dengan hijau
sebagai warna favoritnya itu telah mengetahui rencana ini. Aku dan
teman-temanku yang lain merasa aneh, siapa dalang yang membeberkan rencana ini.
Anehnya lagi, anak itu tidak hanya mengetahui, ia menghilang. Ponselnya tak
bisa memberikan kami petunjuk. Segera kuhubungi sang kakak perempuannya yang
manis itu. Ia memberi kami jalan bahwa ia dan adiknya telah tiba di pantai.
Tepat sekali. Ia berada tepat di tempat eksekusi.
Setelah tiba di tempat itu, di salah
satu pondok yang berada sedikit jauh dari beberapa pondok lainnya di pinggir
pantai. Pondok pantai yang menyediakan makanan khasnya. Yaitu rujak dan mie
instan yang dicampur dengan bumbu khusus khas Aceh. pondok ini tidak terlalu
ramai walau ini adalah akhir pekan. Tanpa banyak basa-basi lagi aku langsung
menyembunyikan dua buah kotak yang masing-masing berisi kue yang terukir
namanya dan sebuah boneka dengan warna kesukaannya. Kusembunyikan agak jauh
dari pandangan khalayak.
“yan, kau bawa ramuannya ya, kita
langsung menyerangnya di tempat” tutur Hafia mengatur strategi.
“ah, tidak. Dia sedang di dalam air
laut. Kita akan terkena imbasnya terlebih baunya juga. Cukup telur saja. Ini
ambil beberapa butir ya.” Bantahku sambil memberinya dua butir telur dan
langsung berlari menuju sahabat kami itu dan plak! plak! Dua butir telur dari
ku dan Hafia remuk di kepalanya.
“happy birthday! Iya, sorry terlalu
cepat memang. Tapi takutnya kita tak akan bertemu lagi tepat pada tanggal
kelahiranmu.”
“iya, kita akan sibuk sebagai
mahasiswa baru.” Jelasku dan Hafia sembari meninggalkannya dengan wajah yang
aneh. Beda. Sangat beda.
“terserah! Apapun alasannya! Aku
benci hari ini! Aku tidak suka dengan hari ini!” serapahnya dengan wajah
jengkel yang diaduk dengan amarahnya. Aku dan Hafia meninggalkannya dengan
bingung dan langsung menuju meja kami yang berdekatan dengan kakaknya untuk
mempersiapkan kejutan selanjutnya.
“Kak, adikmu kenapa? Kok dingin
gitu?” Tanya Lita pada sang kakak yang baru saja datang dari pemandiannya.
“entahlah Lita, kakak juga tidak
paham. Kalian berencana mengerjai dia hari ini? Tapi ulang tahunnya kan masih
sepekan lagi. Ooh iya kalian udah pada kuliah nantinya ya. Mungkin saja dia sedang pms.”
Jelas kakakn perempuannya yang manis itu.
Ia
tak kembali ke meja. Padahal kami
menungunya sedari tadi. Ia tetap berada didalam rendaman air laut.
Mungkin ia
tidak mau dilempari lagi. Sudahlah kami tidak peduli, sekaan saatnya
pemotongan
kuenya serta pemberian hadiah. bertubi-tubi Cici dan Lita mencoba
mengajaknya kemeja, namun ajakannya dihempas dengan gelengan keala dan
wajah yang murung pula. Namun kami menunggunya hingga hari semakin
gelap. Mentari sepertinya lelah dan juga bosan menunggu pelepasan
kebahagiaan
kami untuk sahabat kami ini.
“sudahlah, kak, tolong bawakan ini keumah
ya. Akan kuambilkan kadonya dulu.” Kataku sambil menyerahkan kotak yang berisi
kue yang bertuliskan namanya. Saat aku berjalan menuju tempat dimana kado itu
kusembunyikan, aku memikirkan tatapannya yang tak biasa. Kureka kembali
kata-katanya tadi. Bahwa ia sangat benci hari ini, tanggal hari ini. Apa ada
kenangan yang menyedihkan atau, ah biarlah mungkin benar kata kakaknya yang
manis itu. Mungkin ia sedang pms. Namun saat kepalaku mendongak keluar pagar
pondok dan mencoba mengambil kado itu, kado yang dibalut dengan kertas
bingkisan berwarna hijau sudah tidak ada lagi. Gawat! Kadonya dicuri. Sial padahal
tempat ini sedikit tersembunyi dari keramaian.
“Woy Hafia! Kadonya hilang! Apa mungkin
kau memindahkannya? Atau ada yang sudah mengambilnya?” teriakku pada mereka.
“tidak ada. Tidak ada yang tahu
dimana kau menyimpannya. Kau yakin menaruhnya disini? Coba tanyakan pada
pemilik pondok ini.” Setelah kami tanyakan ternyata nihil. Tak ada yang
menyadari kebeadaan kado itu.
“kau meletakkannya sembarangan sih,
dicuri kan. Sekarang kekmana?” Lita dan Cici gelisah. Tiba-tiba seorang wanita
muda yang sedang menggendong anaknya mendatangi kami dan mengatakan bahwa kado
yang sedang kami cari baru saja dibawa lari oleh orang dengan sebuah becak.
“kadonya agak besar kan? Bewarna hijau?”
tanyanya lagi.
“iya betul kak. Betul sekali.”
“iya baru saja becak itu pergi ke
arah sana. Kalau dikejar mungkin masih sempat. Bang, coba kejar saja mumpung
belum jauh.” Papar wanita muda itu dan meminta sang suami untuk menolong kami
dengan mengejar becak bermotor yang menjadi angkutan umum dikota ini. Tanpa pikir panjang sang suami yang menjadi superhero kami pun
langsung mengejar dengan sepeda motor miliknya. Pun Hafia menarikku dan
langsung berlari menuju parkiran.
“jangan diam saja, ayo cepat.” Ajaknya
dan langsung menyalakan motor kemudian melaju dengan kecepatan penuh.
“itu! Itu fia. Aku melihat orang yang menolong
kita tadi. Dan pasti itu becaknya.” Kataku. Hafia langsung menuju orang tadi
yang telah memberhentikan becak yang mencuri kado untuk sahabat kami.
“Pak! Kado yang bapak bawa tadi itu
milik mereka.” Kata superhero kami kepada tukang becak yang ternyata seorang
bapak yang membawa istri serta dua anaknya yang masih kecil. Ingin kuserapahi,
namun itu cih, nihil. aku menjadi iba. karena itu orang tua.
“ooh, milik kalian ya dek, waah maaf
ya. Bapak kira nggak ada yang punya. Sebab jauh dari penglihatan orang. Maaf ya
dek.” Tutur sang bapak tukang becak dengan wajah bersalah dan sedikit senyuman.
Aku langsung meraih kembali kado
yang berada di bagian bepan bangku penumpang dan ditutupi dengan selembar
handuk putih kecil. Perasaanku berkecamuk antara amarah dan rasa iba. Tak kuhiraukan
sedikitpun permintaan maaf bapak itu dan apapun yang dikatakannya, aku hanya melihatnya sekilas. Aku tak
peduli. Aku dan Hafia langsung berterima kasih kepada superhero kami yang telah
membantu kami mengejar kado kami. Ingin sebenarnya kusebut sebagai pencuri, tapi ah,
sudahlah, kado untuk sahabat kami telah kami dapatkan kembali dengan utuh.
Saat aku dan Hafia tiba di pondok
dengan membawa kado, aku melihat Lita dan Cici sudah di parkiran. Wajah mereka
murung. Mereka merangkul kotak yang berisi kue untuk sahabat kami itu. Ternyata
ia dan kakak perempuannya yang manis itu telah pulang terlebih dahulu sebelum kami
datang, pun karena hari juga semakin
gelap. mereka diacuhkan?
“sudahlah. Ayo kerumahnya dan
letakkan benda-benda sialan ini di depan pintu rumahnya. Lalu kita pulang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar