Ilahi, Secepat itukah?
Malam
itu awan masih terlihat seperti biasanya, datar tanpa senyuman rembulan. Tidak
hujan bahkan tidak berbintang. Seolah langit menjadi hampa tanpa
ornamen-ornamen ciptaan dan kuasa ilahi Rabbi. Pun terpaan angin tidak merdu
malam itu. Suasana gedung putih tempat para mahasiswa calon kader yang
disiapkan oleh Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia untuk mengemban risalah da’wah,
warisan para Nabi dan Rasul, tampak terlihat aneh. Kebanyakan dari mereka terlihat
murung dan lesu, tidak banyak tawa dan candaan seperti biasanya. Walau terlihat
sunyi namun hanya terdengar suara batuk. Hanya batuk para mahasiswa-lah yang
memecah keheningan.
Setelah
diputuskan oleh dewan kemahasiswaan bahwa nama-nama yang tidak tercantum
dikertas biru yang terpahat suram dipintu asrama, tidak akan mendapatkan jatah
atau subsidi makan selama empat hari kedepan. Terhitung sejak senin hingga hari
kamis mendatang.
“ini
nggak adil bro, masa cuma karena kita tidak ikut ekskul panca bela malam itu
kita dihukum seperti ini, nggak dapet jatah makan empat hari, bayangin coba”
celetuk seorang yang namanya terlibat masalah kaena tidak tercantum.
“ente
sih, makanya, ikutan. Namanya ya peraturan. Melanggar, dapet hukuman, wajar
kan?”
“iya tapi
kan, kita, …”
“lihat,
mereka yang tercantum akan mengambil subsidinya dikantor kampus.”
Aku
adalah orang yang mendapatkan subsidi diantara mereka. Awalnya akan di bagikan
sebesar enam ribu rupiah/mahasiswa. Namun, harga bbm dinegara ini kembali naik.
Maka subsidi ditambah menjadi sepuluh ribu rupiah. Walau hanya sepuluh ribu
rupiah perhari, berarti jatah subsidinya sekali makan hanya sekitar tiga ribu
rupiah. Jika dibagikan seperti ini tidak akan cukup. Ah sudahlah, kita lihat
dulu kesepakatan dengan teman sekelasku.
Aku
kembali ke kamarku setelah menyepakati bahwa subsidi ini akan di belikan secara
bersamaan, berupa beras serta lauknya.
“eh,
bro, ente kok dapet? Kan malem itu ente nggak ada?” tanyaku pada temanku yang
sedang mengotak atik laptopnya.
“ane
kan anterin anak-anak yang sakit, hehehe” jawabnya polos
“iya
ya, ente anterin Angga ya?”
“iya,
tiba-tiba aja dia lumpuh, awalnya cuma batuk doang, trus tiba-tiba kakinya
nggak bisa gerak lagi, mungkin sarafnya kali ya?”
Sejurus
kemudian seseorang masuk kekamarku, tampaknya ia baru pulang dari Jakarta, tapi
oleh-olehnya hanya pisang dan buah duku. Lumayan sih, untuk malam ini. Kami
melanjutkan perbincangan dan berharap anak-anak yang sedang sakit itu segera
sehat kembali. Yah, di musim pancaroba ini, banyak teman-teman seasrama kami
terserang penyakit seperti demam serta batuk dan pilek. Aku sendiri baru sembuh
dari penyakitku. Sempat diceritakan oleh ustadz bagian kemahasiswaan bahwa
kabarnya, Angga sedang menjalani kondisi kritis, dan sedang dibawa ke rumah
sakit lain. Padahal tadi sore, kabarnya ia sudah cukup baik. Namun, melalui suara
telefon, terdengar bahwa ia sedang ditalqinkan. Munajatku dalam hati, semoga ia
baik-baik saja.
Tak lama
kemudian, tepat pada pukul 22.50 , temanku yang tadinya mengantarkan
oleh-olehnya untuk kami kembali datang dengan muka yang lebih lesu dari
biasanya. Ia seperti membawa beban pikiran yang sangat berat. Ia sepertinya
ingin menyampaikan berita yang bahkan ia sendiri tidak sanggup mengucapkan
lewat inderanya. Secara perlahan kalimat itu pun terucap dalam pilunya. Angga
telah meninggal dunia.
“eh
jangan ngaco lu, cak! Becandanya nggak asik ih!” bantah temanku yang sedari
tadi masih ngobrol denganku.
“iya
nih” tambahku.
“apa
raut wajah ini mengajakmu becanda? Saya serius!” paparnya dengan sangat serius.
Suasana
hening. Aku keluar dari kamar dan saat didepan pintu, semua mahasiswa telah
ramai dikoridor, isak tangis pun mulai terdengar. Kutatapi wajah mereka satu
demi satu. Ternyata benar. Teman kita telah tiada. Tetapi aku masih saja tidak
percaya. Pasti mereka semua bergurau, mereka pasti bohong.
Mobil
ambulan yang membawa jenazahnya pun sudah tiba. Kami berbondong menuju masjid
untuk melihatnya. Aku yang masih dalam rasa ketidak-percayaan ini pun ikut untuk
melihat. Bagian belakang masjid ternyata sudah dipenuhi para mahasiswa serta
para ustadz. Mereka mengelilingi jasad Angga yang sudah terbujur dingin dan
kaku. Satu demi satu dari mereka mendatangi wajahnya dan mengecupnya dalam isak
tangis kesedihan.
Kenapa
begitu cepat ia pergi? Padahal malam itu kami masih bergurau, ia dengan
kekonyolannya memainkan sulap, kami mentertawakannya. Saat mementaskan drama,
ia adalah yang paling lucu. Suaranya yang merdu saat mengimami shalat kami. Ia
sudah menyelesaikan hafalan Alquran-nya hampir lima belas juz. Ia sangat
sederhana, seadanya. Ia juga sang jawara saat pementasan pidato bahasa Arab.
Saat sore hari sering kutemukan ia sedang merapikan rambut teman-temannya. Tapi
sekarang, ia sudah tidak ada, kenapa begitu cepat Ya Allah? Kenapa? Bahkan aku
sempat mengira bahwa ia akan bangun dari pembaringannya dan mentertawakan kami
semua yang sedang meratapinya. Apa yang ada dipikiranku? Kenapa sulit sekali
menerima kenyataan pahit ini. Bukankah kita semua akan sepertinya.
Kawan,
kau tahu? Ketika kawan sedang berada
disebuah taman bunga, bunga mana yang akan kau petik? Tentu saja yang paling
indah. Begitu juga hidup ini. Kenapa Allah memanggil manusia terbaiknya begitu
cepat.
Setelah
menunggu persetujan dari pihak keluarganya di Lombok utara, ia akan dimandikan
serta dikafankan disini dan akan dipulangkan ke tanah kelahirannya di dusun
Nangka Rempek, kecamatan Bayan. Para asatidz menganjurkan kepada mahasiswa yang
telah dibekali pelatihan untuk mengurus jenazahnya.
Saat
sedang menunggu kabar dari keluaganya, seorang teman yang mengiringnya selama
diperjalanan menuju rumah sakit menceritakan tentang keadaanya. Dalam isak
tangis ia bercerita
“saat
rumah sakit menolaknya karena keadaan sudah penuh, kami membawanya ke rumah
sakit lain. Kondisinya sedang dalam keadaan setengah sadar, tubuhnya lemas.
Bersuarapun ia tidak sanggup. Namun dalam keadaan seperti itu, ia masih bisa
menyuruh teman-teman disampingnya untuk membacakan Alquran untuknya. Ia
menyimak hafalan temannya, ia menggelengkan kepalanya dengan pelan jika yang
dibaca salah. Sampai bacaan sebanyak tiga juz ia masih mendengarkan bacaan
temannya.
Lalu
kawan, dengan suara sangat pelan dipangkuan ustadz Imam Taufik, ia berkata
“ummul kitaab” mereka membacakannya, kemudian terus mentalqinkannya. Ia
melanjutkan dengan lirih nafasnya yang hangat dan pelan “nikmatnya, nikmatnya
ya Allah, …” ia ditalqinkan, kemudian perlahan ia mengucapkan kalimat tauhid
dan ia pun tidak bernafas lagi.”
Kawan,
ia adalah sahabat kita, keluarga kita, semoga syahid disisi Allah. Ia gugur
dalam keadaan sedang menuntut ilmu tentang Islam, tentang da’wah, tentang apa
yang diwariskan Rasulullah. Ia menghembuskan nafas terakhirnya dalam keadaan
sedang muraja’ah, mengulang hafalannya. Sempat merasakan nikmat pada akhir
hayatnya. Kawan, jika itu kau, jika itu
kita, jika itu aku. Apakah akan sepertinya? Atau malah sebaliknya? Dalam keadaan
sedang bermaksiat, dalam keadaan sedang penuh dosa. Ketika ditalqinkan, malah
nyanyian-nyanyian yang terucap. Atau bahkan tak sempat ditalqinkan. Tak ada
amalan yang bisa menemani kita?
Angga Pratama, pemuda
Lombok yang berusia masih sangat muda. Terlahir sebagai orang yang akan
mengemban risalah da’wah, pada tanggal 17 september 1992. Namun ketetapan Allah
tak ada yang bisa mengganggu. Ditanah Bekasi ini Allah menjemputnya, 29 maret
2015, tepatnya pukul 22.40 ia menghembuskan nafas terakhirnya. Selamat jalan
Angga, setelah husnul khatimah, semoga nikmat-Nya membimbingmu pada Jannah-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar