Sparkle V
“Detik Mushaf yang tersita (1)”
“Detik Mushaf yang tersita (1)”
Indigo,
sebuah istilah yang sering diungkapkan oleh orang dewasa ini, untuk seseorang
yang dapat melihat makhluk dari dimensi lain. Seperti hantu, setan dan
sejenisnya. Orang seperti ini sering dipanggil dengan sebutan anak indigo
karena kemampuannya melihat makhluk halus bahkan dapat berinteraksi dan
memberikan informasi dari segala aktifitas mereka. Konon katanya, kemampuan ini
diwariskan dari keturunan atau bawaan sejak kelahiran.
Aku sempat mengira jika memiliki kemampuan seperti ini merupakan
sesuatu hal yang luar biasa. Bisa berinteraksi dengan mereka, bermain dan
melakukan hal-hal diluar batas kemampuan manusia, seperti terbang atau
menghilang bahkan membaca pikiran. Karena dipengaruhi oleh bebeapa anime jepang
yang keren, aku ingin bisa melakukan hal itu dan berinteraksi atau memelihara salah satu dari mereka. Namun
melihat kondisi di Nusantara dengan keanekaragaman makhluk hidupnya pun makhluk
halusnya, adalah sesuatu yang sangat mengerikan, karena seramnya semua
jenis-jenis makhluk itu. Pun berinteraksi dengan mereka yang sangat menyeramkan
mengenyahkan imajinasiku tadi.
Seperti yang pernah dialami beberapa temanku dikelas, bukan tentang
makhluk menyeramkan itu, tetapi sang indigolah yang kadang membuat suasana
menjadi menyeramkan. Dia terlihat normal dalam kesehariannya, bercanda,
bercengkrama, dan aktifitas lainnya pun terlihat sangat biasa. Tapi kadang ia
mengejutkan kami ketika ia melihat sosok lain yang kasat dalam indera visual
kami. Seperti ketika sedang berkumpul, bercerita, namun tiba-tiba hening. Ia
menatap kearahku dengan tatapan tajam yang sangat serius. Aku tersentak kaget.
“Ada apa? Kenapa?” tanyaku penasaran. Ia menghela napas dan melepas
senyumnya.
“ah, tidak. Cuma sesosok wanita bermuka hancur penuh darah muncul
dibelakangmu, ia merasa terusik dengan
kebisingan kita disini.” Paparnya dengan polos sambil merekah senyum dan
terkekeh.
“hah? Kau serius?” tanyaku sambil pindah posisi dusukku dengan
kondisi tubuh mulai merinding. Suasana menjadi tegang setelah mendengar
ungkapan dari apa yang ia lihat. Namun ia kembali menenangkan kami dengan
mengatakan bahwa makhluk itu telah berlalu sedari tadi. Walau begitu, tentu
saja kami masih dalam keadaan tegang. Untuk apa ia mendeskripsikan sosok itu
dengan keseraman yang mendetil. Sehingga kami bisa membayangkannya dengan mudah
dan menjadi ketakutan karena makhluk itu ternyata berada disekitar kami.
Tidak banyak yang kuketahui tentang perilaku keseharian teman
indigoku ini. Ia seperti anak-anak biasa dalam kesehaiannya. Terkadang ia
sering berbicara sendiri bahkan ketika ia dalam alunan lelap mimpinya. Sangat
sering. Beberapa temanku mengatakan bahwa ia bukan indigo, ia hanya suka
mengada-ada saja. Bahkan ada yang mengatakan ia mungkin mengalami gangguan pada
jiwanya. Atau bisa jadi ia dan keluarganya terlibat dalam ikatan dengan ilmu
hitam.
--oOo—oOo---
Beberapa waktu setelah merasa senangnya aku karena telah lulus dari
sekolah menengah tingkat akhir, temanku memperkenalkan aku dengan seorang gadis
keturunan Pakistan padaku dengan cara memberikanku serangkai nomor telepon
genggam miliknya. Melalui pesan singkat, kutulis rangkaian kalimat ‘Hai’
untuknya. Gadis itu merespon cepat. Tidak banyak basa-basi, sangat utuh apa
adanya.
Berjanji untuk bertemu, pun aku dengan sahabat sulapku Miftah,
telah merencanakan hal yang sama. Disana ada wanita yang katanya ia cintai
menantinya.
“kita hangout di Cek Mad Café saja, mereka menungu disana.” Kata Miftah sambil
memainkan kedua ibu jarinya membalas sms.
“mereka siapa maksudmu? Vira-mu? Atau para Magician teman-teman
kita?” tanyaku padanya yang ternyata tidak ia hiraukan karena konsentrasi untuk
menjawab pesan singkat untuk gadis –yang katanya ia cintai- itu.
“HEY!! Kau mendengarku?” kataku setengah berteriak kesal karena
kebiasaannya ini yang terkadang sering membuatku merasa gondok akibat
acuhnya padaku ketika ia sedang memegang telepon genggam miliknya.
“Semuanya, personil MJT ku minta
untuk berkumpul disana. Termasuk calon gadismu.” Jelasnya sambil tersenyum.
“hah? Bagaimana kau tahu? Ah, iya.
Tentu saja. Hahaha”
“Karena kita
adalah pesulap, ahahahaa” jawabnya beebarengan denganku.
“kita mampir
diwarung itu sejenak ya. Ada yang ingin kubeli.”
“kau mau beli apa?
Rokok?”
“tentu saja tidak,
orang keren seperti kita ini tidak butuh racun itu. Dan itu akan menjadikan
kita sebagai pria langka.”
“hahaha, luar
biasa.”
“aku hanya migrain. Aku butuh obat sakit kepala.”
“yah, dasar
penyakitan. Apanya yang keren.”
“hey, simpan obat
ini. Ketika kita sudah duduk dengan mereka, mungkin penyakitku akan kambuh. Tolong
berikan obat ini padaku setelah kupaksa.”
“kenapa tidak kau
simpan sendiri? Ooh, iya iya. Aku paham. Sedikit sensasi. Its must be cool.”
Aku mengangguk.
Sensasinya agak sedikit berlebihan. Aku akan melakukan adegan seperti orang
yang kepalanya mau pecah, mata melotot, nafas menderang. Walau penyakitku ini
hanya sekedar pusing biasa. Tetapi jika tidak ditangani maka aku akan terjatuh
lemah, mual, bahkan pingsan. Dalam perjalanan dari kediaman Miftah menuju café
lumayan jauh. Kami harus menempuh sekitar dua puluh menit. Ku sarankan miftah
yang mengemudi. Agar penyakitku tidak kambuh diperjalanan. Saat diperjalanan kumainkan
delight, sebuah propeti sulapku yang merah menawan jika diminkan dimalam hari.
Jika dilihat akan seperti memegang cahaya.
Kami melewati sebuah
sepeda motor yang dikendarai oleh dua orang gadis manis. Sepertinya mereka
sedang dikejar waktu. Karena raut wajahnya resah dan ia melirik jarum jam
berwarna biru muda yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Tebar pesona
dalam performa singkat dengan delight, tentu. Ingin kami berbincang, namun
nihil. Ada janji disana sedang menanti.
Pun akhirnya kami
tiba di tempat itu. Setelah meletakkan sepeda motor kutarik surban yang melilit
dileher miftah yang sedang merapikan rambutnya didepan cermin kecil didalam
spion. Ia masih menarik cambangnya serta poninya dengan gaya abstrak akibat
dipotong secara paksa oleh gurunya saat sekolah dulu.
Seorang lelaki
berpakaian serba hitam melambaikan tangan kearah kami dan meneriakkan namaku.
Itu teman-teman magician kami yang telah tiba lebih dulu. Kembali kutarik
Miftah yang masih saja berdandan. Saat kutarik lagi hampir saja sebuah sepeda
motor menabrakku. Kutoleh pengendaranya. Ternyata itu gadis-gadis tadi. Kubalas
senyum permohonan maaf mereka dan langsng menju meja dimana teman-teman kami
menunggu. Posisi meja kami berada didepan sebuah toko yang sedang tertutup dan
sedikit jauh dari letaknya café yang bernama dan dimiliki oleh seseorang
berinisial Cek Mad. Kami duduk di bagian luar café dan dapat meikmati
pemandangan luar, jalanan dengan orang yang hilir mudik dan sebuah balai bahan
bakar minyak milik Pertamina.
Saat aku mulai
duduk, kepalaku mulai bertingkah. Kulihat Miftah yang sudah mulai hangat
wajahnya karena sudah melihat senyum sang Vira. Aku mencoba untuk memanggilnya
namun teman-teman Magic-ku ini mengajakku untuk bercengkrama. Tiba-tiba aku
dikejutkan dengan hadirnya gadis yang kami lihat dijalan tadi dan mereka yang
hampir menabrakku. Ia duduk tepat diseberangku.
“Hey L, kalian
sudah tiba ya. Wah berbarengan sepertinya. Kalian janjian?” tanya seorang
wanita berbadan sedikit ‘sehat’ yang tiba-tiba muncul.
“maksudmu Dina?
Aku dan Miftah? Tentu. Aku yang menjemputnya.” Jawabku.
“kau belum sadar
L, ini Gita, adikku. Kalian janjian untuk bertemu kan? Dialah yang kuceritakan
padamu waktu itu dan oh iya, kalian mau pesan apa L dan Miftah? Biar aku saja
yang pesenin sekalian, ibu kami menjual nasi jika malam hari. apa kalian lapar?”
“nanti saja. Aku
cukup sebotol air mineral saja dan miftah mungkin dia suka es teh”
“Oke sebentar ya.
Hey L, kalian kan sudah bertemu. Ayo ngomong dong, masa diam saja kalian sedari
tadi.” Kata Dina yang lumayan bising. Aku mengangguk dan mulai menatap adiknya.
Gita. Nama aslinya Soraya Ray. Perbedaan yang terlalu jauh dengan nama
panggilannya. Seperti aku. Tapi uniknya mereka semua saudara-saudarinya yang
mengalir darah Pakistan ini memiliki nama asli dengan nama panggilan yang
berbeda. Sang kakak perempuan sendiri bernama asli Shahnaz Rozi Ray. Kedua
saudara laki-lakinya pun sama. Aku tidak tahu alasannya mereka.
Aku pun ingin
menanyakan hal ini padanya saat ini. Namun tiba-tiba kepalaku mulai bertingkah
dan sedikit parah.
“Ben!!” Aku
memanggil Miftah dengan inisial lamanya, untuk meminta obat ku yang ada padanya.
“Miftah!! WOY MIFTAH!!”
“iya ada apa? Kenapa kau
mempelototiku seperti itu? Sudahlah lanjutkan pembicaraanmu dengannya”
jawabnya polos. Ia sudah paham dengan situasi ini. Seperti yang kukatakan tadi,
acting. Gawat. Kepalaku seperti akan pecah. Ini bukan lagi acting.
“obatku cepat” aku
melirih dan mulai memegang kepalaku. Namun miftah menghiraukanku. Lalu
kuhentakkan tanganku diatas meja yang disusun memanjang dengan keras hingga
hampir menjatuhkan semua yang ada diatasnya.
“CEPAT BERIKAN
OBATKU, bodoh!!’’ aku sedikit berteriak. Mifah pun seera bergegas membkakan
obat itu dan merampas minuman yang sedang digenggam temanku. Langsung menuntunku
untuk meminumnya. Suasana meja kami menjadi hening dan tegang, beberapa dari
mereka saling bertanya-tanya tentang apa yang terjadi denganku. Sesaat kemudian
aku mulai tenang. Kepalaku mulai seimbang.
“Gimana sudah mendingan? Maaf teman-teman dia hanya sedang migrain.
Tidak usah khawatir.”
“iya lumayanlah.”
“ya sudah.
Baguslah kalau begitu.”
“hey Miftah! Thank
you!” haturku sambil menyodorkan tinju toss.
“Dasar penyakitan,
selalu merepotkan”
Aku hanya
tersenyum dan suasana pun kembali hangat. Kurogoh sakuku dan kuambil satu dek
kartu remi untuk memulai sedikit performa sulap dan menghibur Gita. Lets Do the
Magic!
“Apa kabar Gita?
Sehat kan? Oke disini saya ada sebuah dek kartu dan kartu ini tidak ada yang kembar,
ataupun sama persis.” Jelasku padanya. “oh iya, kita kan baru bertemu dan
berkenalan. Karena saya Magician maka saya akan memperkenalkan Nama saya dengan
Magic. Oke?”
“Oke.” Jawabnya
sambil mengangguk pelan.
“Oke, Gita,
sekarang katakan stop dan ambil dua buah kartu. Ambil kartunya satu demi satu
oke paham? Sip. Katakan Stop! Dan ambil satu kartunya.”
“Stop!” katanya
dengan lembut.
“oke katakan lagi
stop dan ambil satu lagi kartunya, Oke sekarang Gita sudah mengambil kartunya
secara bebas tanpa paksaan dari saya dan siapapun. Silahkan dilihat sendiri
kartunya. Sebelumnya saya mau nanya nih, Gita tau nggak, ada berapakah jumlah
huruf abjad dari A sampai Z?”
“ah berapa ya, dua
puluh enam.”
“tepat sekali.
Sekarang, lihat angka yang ada kartu yang sedang Gita genggam. Kemudian
dijumlahkan keduanya.”
“Angka di kedua
kartu ini? iya sudah.”
“sebutkan saja
hasil penjumlahannya. Berapa Gita?”
“hmm dua belas.”
“Oke. Jumlah huruf
abjad tadi ada 26. Penjumlahan tadi hasilnya 12. Sekarang sebutkan huruf abjad
yang ke dua belas. Hitung saja dengan jarimu.”
“A;1, B;2, C;3,
D;4, E;5, F;6, G;7, H;8, I;9, J;10, K;11, L;12.. L?”
“Sip, Nama saya
L.” kusodorkan tanganku padanya untuk berjabat dan ia meraihnya sambil bingung
dan spontan merasa wah. “Umur saya bisa dilihat dari kartu yang Gita ambil
tadi. Silahkan dibuka.”
“93. kelahiran 93 ya?”
“tepat sekali.”
“Amazing!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar