Sparkle : II
Kemana ia?
“Yaah, gerbangnya udah ditutup” keluhku ketika melihat ibu guru
menggerakkan gerbang untuk menutupnya. Anak-anak lainnya berlarian berburu
masuk kedalam kastil pendidikan dasar yang bertaraf agama. Madrasah Ibtidaiyah
Negeri Kuta Blang, Lhokseumawe. Begitu nama yang terpampang di prasati modern
di sebelah gerbang hitam yang telah tertutup rapat. Dijaga ketat oleh guru yang
bertugas hari ini, selasa. Ia berdiri dengan gagah dan tatapan bengis.
Dilengkapi dengan senyuman terbalik yang dihiasi lipstick merah yang sangat
terang spesialnya. Gawat!! Ibu Ruhmi, ibu Ruhmi hari ini yang bertugas piket.
Dia lah yang sedang berdiri didepan gerbang dan mengatur barisan anak-anak
terlambat yang mulai berdatangan.
Aku turun dari kendaraan ayahku setelah kuciumi punggung tangannya
dan menerima uang saku. Kuayunkan kaki dengan pelan saja, karena aku sudah tahu
kalau aku terlambat. Gebang juga tidak akan terbuka jika aku berlari sekencang
kuda. Gerbang juga tidak akan berlari jika kukejar. Aku melangkah dengan santai
sampai teriakan keluar dari kerongkongan ibu Ruhmi dengan keras.
“Hey hey,cepat cepat CEPAAAAAATT!!! Udah tau telat, malah jalan
pelan lagi!! Sini baris!!” Omelnya sembari mencengkeram tas yang sedang erat
memeluk bahuku. Aku hampir terpungkal. Kutatapi lagi raut wajahnya yang sedang
mengalir darah militer. Suram. Aku dan anak-anak terlambat lainnya sedang
menanti bergesernya gerbang hitam ini agar bisa memasukinya. Karena
keterlambatan, kami hanya bisa terlebih dulu menatapi mereka yang berbaris dan
masuk kekelas hingga halaman sekolah berbatako merah dan yang terukir garis
untuk lapangan badminton itu senyap dan harus meratapi vonis hukuman oleh ibu
Ruhmi. Tidak perlu tegang Sobat, hukumannya hanya membersihkan sampah yang
tersisa, seperti serpihan kecil bungkusan permen yang harus menggunakan gigi
seri untuk membukanya. Sekecil itu. Aku sering menyebutnya sampah mikro karena
ukurannya yang terlalu mini untuk bisa diangkut dengan jari. Jika kau tidak
mendapati sebutir sampah sekecil apapun itu maka, kau tidak akan diizinkan
masuk kelas.
Setelah aku dan para personil terlambat lainnya mengunduh
sampah-sampah mikro itu, kami harus menemui Ibu Ruhmi yang sedang duduk
dibangku panjang yang ada disebelah pintu kelas IV B. Ibu Ruhmi duduk dengan
mengayunkan sebuah pena berwarna merah diatas buku besar double-folio yang
berwarna merah pula. Beliau mencatat kami para murid yang terlambat dengan
menanyakan nama, kelas, dan alasan mengapa kami terlambat. Satu persatu dari
kami diinterogasi kecil dan aku, adalah langganannya. Jika sobat melihat buku
itu dan muncul namaku, aku selalu mengatakan pada Bu Ruhmi alasan keterlambatan
yang sama dan basi. Mules atau kebelet atau sakit perut. Tentu dengan sinonim
yang berbeda. Walau aku menjadi langganannya, beliau tetap bertanya dan menulis
nama-nama kami tanpa menatapi wajah-wajah imut kami yang mulai bepeluh
keringat.
Setelah interogasi pun kami
langsung menuju kelas yang sedang berdering dengan suara murid-murid yang
sedang membaca do’a sebelum pelajaran berlangsung. Diawali dengan melantunkan
ayat suci surat pendek yang terdapat dalam juz 30 dari Alquran yang dipimpin
oleh seseorang didepan kelas. Ia melantunkan suaranya yang nyaring -jika
suaranya nyaring- dengan tenang, ayat demi ayat kemudian diikuti oleh murid
lainnya.
Kuayunkan langkahku dengan sedikit cepat sambil menenteng sebuah
keranjang sampah menuju sebuah ruangan yang dihalangi oleh sebuah pintu
berwarna coklat gelap dan tergantung disudutnya dua lembar papan kecil yang
dihubungkan dengan rantai dan bertuliskan KELAS V B dan KELAS II B. kelas yang
digunakan 2 kali dalam sehari. Pada pagi hari kelas ini dihuni oleh kelas lima
dan pada petang hari dihuni oleh kelas dua. Hampir setiap kelas menjadi
dwifungsi, karena komplek sekolah yang tidak begitu luas tetapi murid yang semakin
melonjak setiap tahun. Angkatan tahunku ketika awal kelas satu mencapai hingga
5 kelas, yaitu A, B, C, D, hingga E. karena keterbatasan kelas dan sekolah
masih dalam masa pembangunan, pihak sekolah akhirnya memutuskan untuk meminjam
sekolah tetangga yang ada dihadapan sekolah kami. SDN 11.
Setibanya dihadapan pintu kelasku, kuputar gagang pintu sambil
kulontarkan salam kedalam kelas dengan suara pelan, hampir tidak didengar. Ibu
Rohamah, wali kelasku yang juga ramah seperi namanya sedang berdiri tidak jauh
dari pintu, hanya beliau yang menjawab. Karena yang lain masih dalam lantunan
ayat suci Alquran. Ketika kulangkahkan kaki
yang ke dua kedalam kelas yang agak remang, sekitar lima puluh delapan
pasang bola mata menatapku. Aku tersentak, gugup. Kemudian kuletakkan keranjang
sampah berwarna hijau kumuh diatas serokan merah dengan gagang yang hampir
punah di sebelah sapu yang berada disebelah pintu kelas. Pun aku menuju ibu
guru untuk kutuah punggung tangannya, dan tanpa basa-basi lagi langsung
menuju mejaku yang berada di urutan paling belakang. Kudaratkan tubuhku diatas
kursi dan menghela napas panjang. Pfiiuuuh, lumayan lelah untuk pagi ini.
Dayat, teman semejaku, yang telah tiba lebih dulu dariku sedari
tadi. Terkekeh ia ketika melihatku lalu menyalurkan dan membuka telapak
tangannya. Ia mengajak toss, kusambut tossnya dengan senyum tanpa menanyakan alasan
padanya. Apa yang ada didalam kepala anak yang menyandang nama asli
Hidayatullah ini. Perlu kusampaikan sobat, setiap kawanku pasti memiliki sisi
keanehan yang nyaris hampir abnormal. Dayat, salah satu keanehannya adalah ia sering
menyanyikan lagu “God is a Girl”-nya Avril Lavigne, tetapi yang remix atau full
house. Yang biasa diputar dengan volume akhir di angkutan-angkutan umum yang
berinisial “labi-labi”. Tentu saja ia menyanyikannya lengkap dengan suara DJ
dan music remixnya. Bukan beatbox yang ia dendangkan, lebih tepatnya mulutnya
seperti pemutar rekaman yang sudah lama tidak diganti batu baterainya. Meskipun
begitu ia tetap teman tinggiku dikelas V b ini.
Aku duduk bersamanya di bangku paling belakang karena peraturan
yang berlaku ialah yang paling tinggi maka ia yang paling akhir harus menempati
kursinya. Tetapi aku sempat berfikir dalam kelas ini ada suatu ketidak adilan
dalam penempatan posisi tempat duduk. Aku merasa ada yang lebih tinggi dariku.
Abdil Ridha, buah hati Ibu kepala sekolah, sering kali kubandingkan tinggiku
dengannya, kutaksir selisihnya sekitar tujuh atau delapan senti meter. Tetapi
ia duduk ditengah sedangkan aku ada di paling belakang. Ini tidak adil
menurutku. Ada beberapa kemungkinan yang terlintas dalam benakku. Pertama,
karena ia anak kepala sekolah. Kedua, ia anak kepala sekolah. Ketiga, ia adalah
anak kepala sekolah. Jadi tidak ada hak bagiku untuk memprotesnya pada wali
kelasku. Hingga harus meneriakkan “bu, bu, ini tidak adil. Mentang-mentang Abdil
anak kepala sekolah dia nggak boleh duduk dibelakang? Padahaldia lebih tinggi
dari saya bu!!”. Sangat tidak sopan menurutku. Toh indera pendengar kita juga
masih dalam fungsi dan keadaan yang sama. Kita bisa menyantap pelajaran dengan
keadaan sama. Aku hanya tidak bisa menerima karena oh, ini masalah kulit kawan.
Warna kulit. Dengan radiasi yang sangat minim atau bisa disebut remang, aku
akan terlihat aneh jika duduk di belakang. Yang terlihat hanya beju putih dan
bola mataku saja, kemudian gigiku ketika senyumku melebar. Karena oh tidak,
lagi-lagi. Karena kulitku gelap. Betapa tidak, cahaya yang redup dan posisi
tempat dudukku yang ada diurutan paling belakang. Namun kemudian kusimpulkan
saja dalam pasrah, terserah pada Tuhan Yang Maha Mengetahui sajalah.
-oOo-
Dalam kehidupan, manusia berusaha melakukan kebenaran dan mengharapkan
balasan kebaikan. Tetapi kadangkala ketika telah bersusah payah melakukan
kebaikan malah keburukan bahkan kehinaan menerpa diri. Hal ini pernah dialami
oleh teman ku yang menyandang salah satu nama Islami yang populer, Nurul. Saat
itu adalah pergantian jam pelajaran ketika kelas masih dalam penantian guru
selanjutnya, tiba-tiba saja pintu terbuka dengan cepat. Kami menyaksikan
seorang ibu berbadan agak gempal, bermata seperti sedang silau terkena cahaya,
padahal kelasku remang. Dan yang paling special darinya yaitu lipstick merahnya
yang menghiasi bibirnya.Ibu Ruhmi, itu ibu Ruhmi. Ia masuk dengan menggenggam
penggaris kayu inventaris sekolah yang berwarna kuning. Ketika ia masuk, imajinasiku
bermain agak berlebihan. Ia masuk seperti menendang pintu. Gubraaak!! Ia masuk
sambil rolling dengan senjatanya. Dan penggaris kayu itu seolah adalah sebuah
senapan mesin. Gawat! Ini adalah era konflik RI dengan GAM. Siapa perwira ini,
dari battalion mana? Apakah dikelasku ada mata-mata ataukah musuhnya?
“SIAPA PIKET HARI INI? SIAPA?”
teriaknya lantang layaknya komandan.
“CEPAT CEPAT KELUAR!! BERSIHIN ITU SAMPAH YANG ADA DIDEPAN KELAS”. Makin besar suaranya, ia berteriak sambil menembakkan ke atas.
“CEPAT CEPAT KELUAR!! BERSIHIN ITU SAMPAH YANG ADA DIDEPAN KELAS”. Makin besar suaranya, ia berteriak sambil menembakkan ke atas.
Kemudian dengan
kesal ia menenyakan siapa yang piket pada hari selasa ini sambil masuk ke
barisan meja dan mendarat persis dimeja Nurul yang sedang berdiri karena ia
yang bertugas piket hari ini. Ia berdiri dengan lunglai, terakhir baru
kuketahui kalau ia sedang dalam keadaan sakit hari ini.
“KAMU YANG PIKET
HARI INI? HAH?” Tanya Bu Ruhmi. Nurul mengangguk pelan.
“KAMU TIDAK DENGAR BARUSAN? IBU SURUH KELUAR?” suaranya panas. Belum sempat Nurul melangkah, sebuah ayunan keras dari penggaris kuning pun mendarat di punggungnya. PLAAAKK!! Nurul tak berbunyi, ia langsung melangkah keluar kelas dengan air mata yang mulai membasahi wajahnya. Hampir semua dari mereka yang piket pada hari ini ditebas oleh Bu Ruhmi. Kecuali ada satu orang yang kerap kuketahu kalau ia adalah someone specialnya Bu Ruhmi. Ridwan namanya, murid yang antah-berantah mengapa dispecialkan oleh beliau. ia tidak pintar, tidak juga mengidap penyakit parah, atau berkebutuhan khusus. Ia juga normal seperti murid lainnya. Tetapi hampir selalu kami temukan kalau ia seperti dilindungi oleh ibu Ruhmi. Apakah ia anaknya komandan ibu Ruhmi?
“KAMU TIDAK DENGAR BARUSAN? IBU SURUH KELUAR?” suaranya panas. Belum sempat Nurul melangkah, sebuah ayunan keras dari penggaris kuning pun mendarat di punggungnya. PLAAAKK!! Nurul tak berbunyi, ia langsung melangkah keluar kelas dengan air mata yang mulai membasahi wajahnya. Hampir semua dari mereka yang piket pada hari ini ditebas oleh Bu Ruhmi. Kecuali ada satu orang yang kerap kuketahu kalau ia adalah someone specialnya Bu Ruhmi. Ridwan namanya, murid yang antah-berantah mengapa dispecialkan oleh beliau. ia tidak pintar, tidak juga mengidap penyakit parah, atau berkebutuhan khusus. Ia juga normal seperti murid lainnya. Tetapi hampir selalu kami temukan kalau ia seperti dilindungi oleh ibu Ruhmi. Apakah ia anaknya komandan ibu Ruhmi?
Setahun berselang,
banyak yang berubah. Seperti kelas yang telah memisahkan antara murid laki-laki
dengan murid perempuan. Dan ada hal yang penting yang juga berubah dalam
insiden tahun lalu yaitu ibu Ruhmi dan Nurul Ulia. Saat upacara Bendera,
kuamati para Guru satu persatu dari wajah mereka, tidak kutemukan. Semakin hari
juga tidak kutemukan. Pun Nurul Ulia. Kemana ia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar