Nama
adalah Cerita
Sparkle IV
The Holy Jail
‘braak’ pintu lemari
kuhentakkan dengan keras karena aku sedang diburu waktu. Tanpa membawa buku aku
langsung berlari bergegas dari kamarku. Dengan tangan yang masih memasukkan kancing
baju, kemudian memasukkan sabukku ke besi pengaitnya yang sudah melingkar di pinggangku.
Kudengar gema suara dari speaker TOA, suara
hitungan dari satu sampai sepuluh oleh ustadz yang bertugas piket, dan itu telah melangkah ke hitungan ketujuh. Jika aku tidak sampai untuk apel rutin
pagi didepan kantor dalam hitungan kesepuluh, habislah aku, hukuman memvonisku.
Aku pun berlari dan dihadapanku ada anak-anak kelas dua yang sedang memakai sepatu
dengan sibuk didepan papan-papan tempat menyusun sepatu mereka, dan itu adalah
jalan satu-satunya menuju tangga yang dihalangi dengan desak. Aku tidak peduli
dengan anak kelas dua, karena pikiranku cuma sampai ke depan kantor dengan
selamat, tanpa terlambat. Aku tidak mau terlambat karena yang sedang piket
adalah ustad Abdul Manan, ustad
paling disiplin
serta sangat tegas mengenai waktu. Satu-satunya yang pernah ada.
Aku tidak peduli lagi, langsung saja
aku terobos mereka yang belum selesai memakai sepatu. Aku tidak sadar kalau aku
merubuhkan seorang personil kelas dua yaitu Iqbal SB. Gubraak! , ia terjatuh, karena tidak dapat menyeimbangkan
badannya yang agak gempal, aku menoleh ke arahnya yang sedang bangkit dan
kemudian berteriak keras bagaikan tokoh super hero Marvel HULK yang sedang
marah.
``WOOY ANAK BARU !! AWAS KAU NANTI !!!”
Aku
tak peduli walaupun ketakutan, aku terus berlari sekencang kuda, tangga
kulompati bagaikan ninja, dinding kupanjati layaknya spiderman, ah, tidak,
tidak ada dinding didepan tangga. Dalam pelarianku, aku bergumam “Sial, lepas
dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau’’. Saat ini nasibku layaknya Negeriku
Tempo Doeloe, tapi, negeriku sudah merdeka, penjajahan atas dunia pun telah
dihapuskan. Walaupun saat ini negeri biadab israel masih bersarang di bumi suci
Palestina, semoga Allah menempatkan mereka di dasar Jahannam. Lalu bagaimana
nasibku nanti? Apakah aku akan bonyok? Babak belur? Atau sama seperti anak
palestina yang tak bersalah ditangkap lalu disiksa oleh makhluk-makhluk tak
berakal itu? Naúdzubillahi min dzalik, Ya Allah semoga saja tidak terjadi
apa-apa.
Setibanya di depan kantor, aku pun langsung menuju
kedalam barisan dan berdiri dengan perasaan takut, nafasku terengah-engah,
jantungku berdegup kencang, sangat kencang, akupun mencoba menenangkan diri
sambil kembali mengatur nafasku. Lalu kulihat kebelakang segerombolan santri
lainnya yang berlari dan selamat dari keterlambatan dan disusul dibelakang
mereka, seorang berbadan besar, gempal, susah baginya untuk berlari dengan
cepat. gempal, besar, dan berkulit terang. Persis. Karena ia tertinggal
dibelakang, maka Iqbal SB dan beberapa santri lain digolongkan menjadi santri
yang terlambat karena waktu hitunganpun sudah berakhir. Mereka digiring untuk
maju dihadapan kami yang tidak terlambat untuk siap diberikan hadiah oleh ustad
Manan. Lalu merekapun disuruh untuk berdiri sejajar satu baris dihadapan kami
semua, berdiri untuk dipermalukan. Kulirik wajah mereka satu persatu, tiba di
wajah Iqbal SB yang kulihat, ternyata
dia sedang menatapku dengan penuh emosi, seperti Hulk yang siap melompat dan
menerjangku. Mulutnya bergerak seakan berkata padaku dari jauh “Awas kau nanti”. Jleb!! Isyarat yang ia sampaikan itu membuatku tersentak
dan kaget. Aku ketakutan. Jantungku berdendang tak beraturan kembali. Kulit
hitam-manis-ku mulai menuangkan keringat dingin.
Setelah apel pagi kami pun bergegas
menuju kelas masing-masing. Aku masuk ke kelas setelah kembali dari kamar untuk
mengambil buku-buku pelajaran hari ini. Saat belajar, aku tidak konsentrasi,
dibenakku “Cuma ada kamu, sayang,” ah, bukan. Dalam
pikiranku cuma terbayang bagaimana
nasibku nanti ketika aku bertemu dengan Iqbal
SB.
Apa aku bakal bonyok, dihujani dengan pukulan dari tangannya yang gempal,
hingga aku mengalami terkilir, bahkan tuangku patah, hingga harus dibawa
kerumah sakit dan yang paling mengerikan adalah harus di amputasi. Ah, tidak
tidak. Apa yang aku pikirkan? Itu tidak mungkin terjadi, tetapi perasaanku
berkecamuk badai. Wajar aku masih santri kelas satu Tsanawiyah, santri paling
junior ditempat ini.
Karena tidak konsentrasi lagi dengan penjelasan oleh
guru, maka aku memutuskan untuk keluar
kelas dengan alasan ke toilet, sekedar mencari udara segar. Tetapi bukan udara
segar toilet. Siapa yang bisa menjamin kalau udara segar ada ditoilet? Tidak
ada, itu semua hanya ada diiklan-iklan televisi. Yang dibuat mengada-ngada.
Seperti ketika pergi ke toilet serasa pergi ke taman berbunga yang indah dan
menyegarkan. That’s just BULLSHIT. Paling
tidak toilet yang dikenakan tarif saja yang hanya terlihat bersih. Bukan harum menyegarkan. yang paling sering
didapati adalah –apalagi toilet di sekolah-sekolah malah gelap menyeramkan.
Hingga banyak adegan-adegan film horor yang menggunakan jasa toilet kumal
sebagai salah satu tempat paling horor. Tetapi toilet ini tidak begitu menyedihkan walaupun sering terekam oleh
hidung semerbak aroma yang agak menusuk hingga ke saluran eustachius.
Aku melangkah dengan teruntai menuju
sudut bak besar yang membentang sembari kucelupkan tangaku kedalam air bak
besar yang sudah terisi penuh. Kuputar tuas kran air berwarna merah yang agak
keras dihadapanku. Air meluncur pelan, kubasuh tangan ku, wajahku, kemudian
rambut jigrakku dengan air yang meluncur keluar secara perlahan dari kran.
Kuputar lagi tuas
itu hingga air yang keluar pun lebih deras dan mengeluarkan suaranya. Aku gelisah, kubasuh lagi wajahku
dengan berharap basuhan air ini dapat menenangkan gelisahku hingga lenyap. Tapi
nihil, tetap saja ancaman tadi masih menghantui pikiranku. Pikiranku kacau, aku
tidak tahu harus kabur atau sembunyi di habitat yang seukuran gelas kecil ini. Kucelupkan
kepalaku kedalam air yang berwarna keemasan tanah,
hingga air mengubur seluruh kepalaku. Ingin rasanya kuhempaskan segala
kepenatan ini dengan berteriak dengan keras
didalam air.
Tiba-tiba seseorang memukul pundakku, aku tersentak kaget. Aku
menoleh dan byuuur, wajahku disirami dengan air sebelum aku dapat melihat siapa
orang ini. Kuusap wajahku. Kerah bajuku ditarik kearah wajahnya dengan kasar.
Kembali aku dikagetkan karena aku tahu persis siapa pemilik wajah ini. Iqbql
SB. Iqbal SB. Penyandang nama asli Muhammad Iqbal ini ditambah dengan inisial
SB atau Samsul Bahri, nama sang ayah. Inisal ayahnya dipampang karena ah,
sudahlah, semua orang juga sudah menyadari bahwa nama Iqbal dengan Muhammad
sebegai nama awalnya adalah nama populer. Lebih tepatnya pasaran. Begitu banyak
anak yang lahir dengan menandang nama ini. Dikelas sekolah dasar ku, ada 6
orang penyandang. Belum lagi dikelas lainnya. Agar tidak terjadi hal yang tidak
diinginkan, maka para penyandang nama Muhammad Iqbal menyambung nama mereka
dengan inisial nama ayah mereka. Ia bernama M.Iqbal SB dan dikelasnya ada Iqbal
S, juga Iqbal Y, mereka bisa di kombinasikan menjadi Iqbal SBY. Nama pemimpin
Negara ini selama dua periode.
Aku telah berada dalam keadaan yang sangat mengerikan.
Nasibku sedang diujung tanduk. Walau sebenarnya tidak ada anduk, melainkan
sebuah bak besar. Aku ketakutan, bingung, karena aku sudah berada dalam
tengkraman orang yang dari tadi membuatku gelisah. ketika seperti ini aku tidak
mungkin bisa melawan badan gempalnya ditambah ia bersama seorang teman kelas
dua kurus nya. Mat Husen. Tidak ada cara lain selain menyodorkan maaf, atau
bahkan kalau bisa aku mentraktirnya. Itu lebih baik daripada aku babak belur.
Ide-ide cemerlang tak mau hadir dikepalaku, karena sudah dipenuhi rasa takut.
“ma mamaaf, a a aku tidak sengaja” aku memelas dengan
gemetar. Ia menarik kerahku dengan kasar hingga aku menjinjit. Kemudian
dihempasnya tubuh kecilku kedinding.
“maaf? Gara-gara kau, aku harus menerima hukuman yang seharusnya milikmu. Kau anak baru sudah berani macam-macam ya? Kuhantam wajah hitammu ini baru tahu rasa kau” hardiknya dengan bengis. Bhugh!! Tangannya yang gempal berlabuh di tembok, bersebelahan dengan wajahku.
“maaf? Gara-gara kau, aku harus menerima hukuman yang seharusnya milikmu. Kau anak baru sudah berani macam-macam ya? Kuhantam wajah hitammu ini baru tahu rasa kau” hardiknya dengan bengis. Bhugh!! Tangannya yang gempal berlabuh di tembok, bersebelahan dengan wajahku.
Sobat pasti tahu kondisi jantungku saat ini. Gemuruh
badai langit yang mengamuk. Seperti itulah mungkin. Mat Husen mencoba
menenangkan Iqbal SB, tapi ia tetap tidak peduli. Hingga suaranya makin keras
membentakku. Hingga akhirnya Allah mengutus malaikat untukku.
“Woy, SB!! Apa yang kau lakukan? Hah? Itu anak baru. Kau
pikir mentang-mentang tubuhmu besar dan usiamu berada diatas, kau berlagak
hebat?
“Berisik kau Sinnon!! Bukan urusanmu!!
Ia datang diiringi dengan tokoh-tokoh besar kelas tiga
lainnya dibelakang dan melepaskanku dari terkaman SB. Aku selamat
“sudahlah,
pergi sana. Sebelum kulakukan hal yang sama.”
“aku
bilang ini bukan urusanmu! Kau yang pergi!” bantahnya.
“hey
tambun! Kau tidak dengar?” ucap Zulfikar Abed, tokoh paling tinggi dan besar di
kelas tiga sambil menatapnya. Ia pun ingin segera bertindak namun dicegah oleh
Sinnon karena ia tidak mau masalah ini menjadi lebih besar. Begitulah yang
dipikirkan anak muda yang menyandang nama asli Agus Salim ini.
Iqbal
SB pun beranjak pergi setelah dipaksa oleh Mat Husen dan juga tidak kuat
menatap tatapan bengis dari tokoh-tokoh besar kelas tiga. Sempat ia berbalik
untuk kembali mengancamku, namun ia urungkan karena aku dikelilingi paa tokoh
besar kelas tiga.
“hey,
kau tidak apa-apa? Jika kau punya masalah datanglah pada kami. Kami senior siap
membantu kalian. Tidak usah takut.”
“aku
tidak apa-apa. Terima kasih.” Ucapku sambil merapikan kembali kerah kemeja
seragamku yang telah basah.
“kalau
kau perlu bantuan, apapun itu datanglah. Termasuk mengerjakan PR mu. Kami ada
di ujung. Kamar 6.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar