Sparkle : III
Nightmare?
Padahal
bibir ini telah kubasahi dengan dzikir sebelumku terlelap. Berharap Ilahi menjaga
tidurku dari gangguan. Namun ia hadir kedalam mimpiku. Orang yang sering
menjutakan imajinasiku dalam semesta pikiran. Dengan keindahan yang sering
kupahat melalui kata-kata di atas lembaran-lembaran hampa. Namun Senyumnya yang
merekah lembut itu mendekat. Meraih tanganku untuk bersanding bersamanya. Di
bawah siraman cahaya rembulan yang dikecup gemintang, dengannya aku bercengkrama
ria, mesra. pun ia merebahkan kepalanya di pundakku.
Aku
terjaga. Gelisah merekah hati, mencengkram perasaan. Aku gundah, bingung, keringat
yang membasahi kening ini kuusap. Kuberanjak untuk mensucikan diri dengan
berwdhu dan kulanjutkan dengan mengecup bumi dalam sujud shalat malam..
Ini
pasti mimpi. Pasti iblis telah menjebakku dengan menjelma dalam tidurku.
Kembali ku munajatkan perlindungan kepada Ilahi Rabbi. Tapi ia kembali hadir
dalam lelapnya mimpi ini. Tapi apa mungkin ia adalah sosok jelmaan iblis. Aku
yakin bahwa Allah telah menjaga tidurku melalui doa dan dzikir yang diajarkan
Nabi.
Tapi
sosok indah dengan pakaian serba merah itu muncul lagi. Melalui senyum
lembutnya ia berpesan agar aku segera menjemputnya, bersanding mesra hingga
uban-uban menua. Dan berharap kembali bahagia di Jannah ilahi disana. Nanti.
Saat-saat
dimana aku sering terhempas karenanya adalah ketika mata ini tak sengaja
memperhatikan, adalah ketika ia mengenakan pakaian serba merahnya, menyelimuti
tubuhnya secara menyeluruh. tak berlekuk. Seakan ia masuk ke semesta pikiranku.
Ia menari, berlari ria dengan senyum indah yang melekat lembut di wajah
manisnya. Mengitari damainya semesta pikiranku yang tenang, seperti teduhnya
malam yang dihiasi gemintang dan siraman cahaya rembulan. Kembali ia merekah
senyumnya. aku terpaku, bertekuk lutut dalam pengaguman keindahannya.
Annisa
H. Slaneva, sebuah nama yang terpahat lembut bagai senyumnya saat ia
mengucapkan jakallahu khairan . Kerap kutahu namanya saat secara tak
sengaja sebuah kartu tanda pengenalnya tercecer dari sebuah tas yang ia
rangkul. Aku memungutnya dan bergegas kuu kejar ia yang sedari tadi tidak sadar
hampir menghilang di penglihatan.
“excuse me! Hey” kataku setengah berteriak sambil berlari mengejarnya.
Ia
menoleh dan BUMM!! Sesuatu terjadi saat ia toleh pandangannya kearahku yang
sedang mencoba mengatur nafasku yang berhenti sejenak. Bukan slow motion lagi,
tetapi stop motion.
“ng?”
“Annisa
H. Slaneva, right?”
“yah,
sure.” Jawabnya dengan sedikit penasaran.
“I
think you just droping this” sembari kusodorkan ktp nya.
“Its
yours?”
“Masya
Allah, sure, its mine. Thank you. But, bagaimana kau yakin ini punyaku?”
“Aku melihat
saat kau berjalan menuju gerbang, ketika kau mengambil sesuatu dari dalam
tasmu, dan ktp ini terjatuh.” Paparku sambil berusaha sekuat tenaga agar tidak
salah tingkah atau bahkan bertingkah aneh. Keep calm and stay cool. Walau tatapan
dinginnya membekukan serta hamper membuatku menggigil karena gugup.
“Ooh,
begitu. Oke, over all Jazakallahu
khairan .” Haturnya dengan senyum nan lembut sambil memasukkan kembali tas
selempang mungil yang memeluk bahunya. Senyum menawan yang membuatku kaku bisa
disimbolkan dengan karakter seperti ini (^_^). Terhempas lagi, aku.
Kembali
aku memikirkannya, raut wajah, dan nama yang ia sandang. Annisa H. Slaneva. Seperti
nama asing, atau nama orang eropa, atau nama orang Rusia. Apakah dia berdarah
campuran? Sepintas dari raut wajah yang kuperhatikan, tidak ada ciri khusus.
Seperti warna bola mata yang kebiruan atau hidung yang mancung atau postur
tubuh yang lebih tinggi. Tapi sepertinya tidak.. Ia layaknya gadis di Indonesia kebanyakan.
Berwajah bulat dan berhidung biasa dan juga postur tubuh yang biasa.
Selama
setahun hidup dalam rantauan di Tanah Siger ini, ada beberapa hal baru yang
sedang kupelajari. Seperti ilmu psikologi sederhana tentang bahasa tubuh
seseorang, ekspresi, raut wajah, hal ini kudapati dari saat aku mendalami seni
sulap. Pun juga kupelajari berdeduksi, ilmu baru yang kudapat melalui tokoh
fiktif Sherlock Holmes. Melalui novel tentunya. Walaupun aku tidak menghadapi
kasus pembunuhan atau sebagai seorang detektif, ini kupelajari hanya untuk
mendalami karakter seseorang, sifat dan wataknya, respon dari candaan,
berbicara, tertawa, mengejek, diejek, atau saat keseharian lain dalam kehidupan.
Kucoba
berdeduksi dari raut wajahnya saat setelah ia mendengar penjelasanku bagaimana
aku tahu kalau itu kepunyaannya, ia menjawab dengan kalimat ‘Ooh begitu’.
sepertinya ada kalimat lain didalam nya. Kemungkinan besar : “Ooh begitu,
ternyata kau yang sering memperhatikanku?”. Atau, “Ooh begitu. Kau mau modus
dengan kesempatan ini?”
Atau mungkin seperti, … ah tidak! Ada apa denganku? Kenapa aku memikirkannya sampai sejauh ini? Apa yang membuatku hingga terbangun dari lelapku, pun ia hadir di mimpiku. Mungkinkah ini … tidak, tidak. Aku tidak mau jatuh cinta semudah ini. Ini bukan cinta. Aku sudah berkali-kali bertahan dari gelombang godaan seperti ini. Dan aku tidak mau hal-hal serupa. walau kali ini berbeda, ini lebih murni, tanpa dusta, tanpa reka, tanpa terka. Ini suci dan lahir dari batinku sendiri.
Tak pantas ini kusebut cinta, karena memang ini bukanlah cerita cinta atau tentang ungkapan apa yang hati rasa. Layaknya cerita-cerita basi yang marak bergema. Tapi ini cerita suka, ceita duka, cerita hina, tangis dan tawa, senyuman dan jeritan, segala aspek kehidupan yang ilahi cipta, bukan apa yang manusia reka.
--oOo—
Terkadang
hidup ini bisa dianggap sebuah film dan kita adalah sang aktornya. Tuhan sebagai sutradara yang mengatur setiap
segmen dan segala adegan. Melalui scenario yang telah diciptakanNya dengan
sempurna. Demi menggapai sebuah tujuan untuk bisa menjadikan film yang bisa
menggema di segala indera pemirsa, maka actor haruslah mengikuti setiap adegan
yang ada pada scenario yang telah dibuat oleh sang sutradara. Jika tidak maka
kacaulah sebuah film itu.
Begitu juga hidup ini. Allah telah menentukan takdir kisah hidup seorang manusia yang telah diciptakanNya. Melalui takdir yang disebut scenario inilah manusia menjalaninya. Tapi terkadang mansia melupakan scenario itu. Bahkan membelakangi sang sutradara. Seolah mencoba berimprovisasi, berakting dengan sesuka hati. Tanpa peduli dengan resiko dari meninggalkan scenario dan sutradara.
Skenario
yang sering ditinggalkan saat ini adalah AlQuran. Ini dianggap tidak rasional,
tidak logis, tidak masuk akal. Padahal tidak ada kitab suci yang menuliskan
secara rinci tentang kehidupan yang ada di alam jagat raya ini. Tentang
penciptaan manusia, bumi, tata surya, langit dan semuanya telah jelas dan detil
disebutkan didalamnya empat belas abad yang lalu, dimana tekhnologi pada saat
itu belum bisa menjangkaunya
Tetapi
umat mslim pada saat itu memiliki sebuah visi yang tidak dapat dilihat atau
dijangkau oleh indera. Gila. Memang inilah sebutan orang-orang yang tidak
percaya dari apa yang disebutkan. Sebutan ini juga seing dilontarkan kepada
Rasulullah saw. Oleh orang-oang yang membencinya. Hingga pada akirnya
kenyataanya terbalik benarlah semua apa yang dituliskan dalam AlQuran empat
belas abad yang lau dibuktukan dengan teknologi masa kini yang super cangih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar