Minggu, 09 Agustus 2015

Sparkle: VI Ilahi, Secepat Itukah?

Ilahi, Secepat itukah?
Malam itu awan masih terlihat seperti biasanya, datar tanpa senyuman rembulan. Tidak hujan bahkan tidak berbintang. Seolah langit menjadi hampa tanpa ornamen-ornamen ciptaan dan kuasa ilahi Rabbi. Pun terpaan angin tidak merdu malam itu. Suasana gedung putih tempat para mahasiswa calon kader yang disiapkan oleh Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia untuk mengemban risalah da’wah, warisan para Nabi dan Rasul, tampak terlihat aneh. Kebanyakan dari mereka terlihat murung dan lesu, tidak banyak tawa dan candaan seperti biasanya. Walau terlihat sunyi namun hanya terdengar suara batuk. Hanya batuk para mahasiswa-lah yang memecah keheningan.
Setelah diputuskan oleh dewan kemahasiswaan bahwa nama-nama yang tidak tercantum dikertas biru yang terpahat suram dipintu asrama, tidak akan mendapatkan jatah atau subsidi makan selama empat hari kedepan. Terhitung sejak senin hingga hari kamis mendatang.
“ini nggak adil bro, masa cuma karena kita tidak ikut ekskul panca bela malam itu kita dihukum seperti ini, nggak dapet jatah makan empat hari, bayangin coba” celetuk seorang yang namanya terlibat masalah kaena tidak tercantum.
“ente sih, makanya, ikutan. Namanya ya peraturan. Melanggar, dapet hukuman, wajar kan?”
“iya tapi kan, kita, …”
“lihat, mereka yang tercantum akan mengambil subsidinya dikantor kampus.”
Aku adalah orang yang mendapatkan subsidi diantara mereka. Awalnya akan di bagikan sebesar enam ribu rupiah/mahasiswa. Namun, harga bbm dinegara ini kembali naik. Maka subsidi ditambah menjadi sepuluh ribu rupiah. Walau hanya sepuluh ribu rupiah perhari, berarti jatah subsidinya sekali makan hanya sekitar tiga ribu rupiah. Jika dibagikan seperti ini tidak akan cukup. Ah sudahlah, kita lihat dulu kesepakatan dengan teman sekelasku.
Aku kembali ke kamarku setelah menyepakati bahwa subsidi ini akan di belikan secara bersamaan, berupa beras serta lauknya.
“eh, bro, ente kok dapet? Kan malem itu ente nggak ada?” tanyaku pada temanku yang sedang mengotak atik laptopnya.
“ane kan anterin anak-anak yang sakit, hehehe” jawabnya polos
“iya ya, ente anterin Angga ya?”
“iya, tiba-tiba aja dia lumpuh, awalnya cuma batuk doang, trus tiba-tiba kakinya nggak bisa gerak lagi, mungkin sarafnya kali ya?”
Sejurus kemudian seseorang masuk kekamarku, tampaknya ia baru pulang dari Jakarta, tapi oleh-olehnya hanya pisang dan buah duku. Lumayan sih, untuk malam ini. Kami melanjutkan perbincangan dan berharap anak-anak yang sedang sakit itu segera sehat kembali. Yah, di musim pancaroba ini, banyak teman-teman seasrama kami terserang penyakit seperti demam serta batuk dan pilek. Aku sendiri baru sembuh dari penyakitku. Sempat diceritakan oleh ustadz bagian kemahasiswaan bahwa kabarnya, Angga sedang menjalani kondisi kritis, dan sedang dibawa ke rumah sakit lain. Padahal tadi sore, kabarnya ia sudah cukup baik. Namun, melalui suara telefon, terdengar bahwa ia sedang ditalqinkan. Munajatku dalam hati, semoga ia baik-baik saja.
Tak lama kemudian, tepat pada pukul 22.50 , temanku yang tadinya mengantarkan oleh-olehnya untuk kami kembali datang dengan muka yang lebih lesu dari biasanya. Ia seperti membawa beban pikiran yang sangat berat. Ia sepertinya ingin menyampaikan berita yang bahkan ia sendiri tidak sanggup mengucapkan lewat inderanya. Secara perlahan kalimat itu pun terucap dalam pilunya. Angga telah meninggal dunia.
“eh jangan ngaco lu, cak! Becandanya nggak asik ih!” bantah temanku yang sedari tadi masih ngobrol denganku.
“iya nih” tambahku.
“apa raut wajah ini mengajakmu becanda? Saya serius!” paparnya dengan sangat serius.
Suasana hening. Aku keluar dari kamar dan saat didepan pintu, semua mahasiswa telah ramai dikoridor, isak tangis pun mulai terdengar. Kutatapi wajah mereka satu demi satu. Ternyata benar. Teman kita telah tiada. Tetapi aku masih saja tidak percaya. Pasti mereka semua bergurau, mereka pasti bohong.
Mobil ambulan yang membawa jenazahnya pun sudah tiba. Kami berbondong menuju masjid untuk melihatnya. Aku yang masih dalam rasa ketidak-percayaan ini pun ikut untuk melihat. Bagian belakang masjid ternyata sudah dipenuhi para mahasiswa serta para ustadz. Mereka mengelilingi jasad Angga yang sudah terbujur dingin dan kaku. Satu demi satu dari mereka mendatangi wajahnya dan mengecupnya dalam isak tangis kesedihan.
Kenapa begitu cepat ia pergi? Padahal malam itu kami masih bergurau, ia dengan kekonyolannya memainkan sulap, kami mentertawakannya. Saat mementaskan drama, ia adalah yang paling lucu. Suaranya yang merdu saat mengimami shalat kami. Ia sudah menyelesaikan hafalan Alquran-nya hampir lima belas juz. Ia sangat sederhana, seadanya. Ia juga sang jawara saat pementasan pidato bahasa Arab. Saat sore hari sering kutemukan ia sedang merapikan rambut teman-temannya. Tapi sekarang, ia sudah tidak ada, kenapa begitu cepat Ya Allah? Kenapa? Bahkan aku sempat mengira bahwa ia akan bangun dari pembaringannya dan mentertawakan kami semua yang sedang meratapinya. Apa yang ada dipikiranku? Kenapa sulit sekali menerima kenyataan pahit ini. Bukankah kita semua akan sepertinya.
Kawan, kau tahu?  Ketika kawan sedang berada disebuah taman bunga, bunga mana yang akan kau petik? Tentu saja yang paling indah. Begitu juga hidup ini. Kenapa Allah memanggil manusia terbaiknya begitu cepat.
Setelah menunggu persetujan dari pihak keluarganya di Lombok utara, ia akan dimandikan serta dikafankan disini dan akan dipulangkan ke tanah kelahirannya di dusun Nangka Rempek, kecamatan Bayan. Para asatidz menganjurkan kepada mahasiswa yang telah dibekali pelatihan untuk mengurus jenazahnya.
Saat sedang menunggu kabar dari keluaganya, seorang teman yang mengiringnya selama diperjalanan menuju rumah sakit menceritakan tentang keadaanya. Dalam isak tangis ia bercerita
“saat rumah sakit menolaknya karena keadaan sudah penuh, kami membawanya ke rumah sakit lain. Kondisinya sedang dalam keadaan setengah sadar, tubuhnya lemas. Bersuarapun ia tidak sanggup. Namun dalam keadaan seperti itu, ia masih bisa menyuruh teman-teman disampingnya untuk membacakan Alquran untuknya. Ia menyimak hafalan temannya, ia menggelengkan kepalanya dengan pelan jika yang dibaca salah. Sampai bacaan sebanyak tiga juz ia masih mendengarkan bacaan temannya.
Lalu kawan, dengan suara sangat pelan dipangkuan ustadz Imam Taufik, ia berkata “ummul kitaab” mereka membacakannya, kemudian terus mentalqinkannya. Ia melanjutkan dengan lirih nafasnya yang hangat dan pelan “nikmatnya, nikmatnya ya Allah, …” ia ditalqinkan, kemudian perlahan ia mengucapkan kalimat tauhid dan ia pun tidak bernafas lagi.”
Kawan, ia adalah sahabat kita, keluarga kita, semoga syahid disisi Allah. Ia gugur dalam keadaan sedang menuntut ilmu tentang Islam, tentang da’wah, tentang apa yang diwariskan Rasulullah. Ia menghembuskan nafas terakhirnya dalam keadaan sedang muraja’ah, mengulang hafalannya. Sempat merasakan nikmat pada akhir hayatnya.  Kawan, jika itu kau, jika itu kita, jika itu aku. Apakah akan sepertinya? Atau malah sebaliknya? Dalam keadaan sedang bermaksiat, dalam keadaan sedang penuh dosa. Ketika ditalqinkan, malah nyanyian-nyanyian yang terucap. Atau bahkan tak sempat ditalqinkan. Tak ada amalan yang bisa menemani kita?
Angga Pratama, pemuda Lombok yang berusia masih sangat muda. Terlahir sebagai orang yang akan mengemban risalah da’wah, pada tanggal 17 september 1992. Namun ketetapan Allah tak ada yang bisa mengganggu. Ditanah Bekasi ini Allah menjemputnya, 29 maret 2015, tepatnya pukul 22.40 ia menghembuskan nafas terakhirnya. Selamat jalan Angga, setelah husnul khatimah, semoga nikmat-Nya membimbingmu pada Jannah-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar