Jumat, 05 Juni 2015

Sparkle: V Detik Mushaf yang Tersita

Sparkle V
“Detik Mushaf yang tersita (1)”
          Indigo, sebuah istilah yang sering diungkapkan oleh orang dewasa ini, untuk seseorang yang dapat melihat makhluk dari dimensi lain. Seperti hantu, setan dan sejenisnya. Orang seperti ini sering dipanggil dengan sebutan anak indigo karena kemampuannya melihat makhluk halus bahkan dapat berinteraksi dan memberikan informasi dari segala aktifitas mereka. Konon katanya, kemampuan ini diwariskan dari keturunan atau bawaan sejak kelahiran.
Aku sempat mengira jika memiliki kemampuan seperti ini merupakan sesuatu hal yang luar biasa. Bisa berinteraksi dengan mereka, bermain dan melakukan hal-hal diluar batas kemampuan manusia, seperti terbang atau menghilang bahkan membaca pikiran. Karena dipengaruhi oleh bebeapa anime jepang yang keren, aku ingin bisa melakukan hal itu dan berinteraksi  atau memelihara salah satu dari mereka. Namun melihat kondisi di Nusantara dengan keanekaragaman makhluk hidupnya pun makhluk halusnya, adalah sesuatu yang sangat mengerikan, karena seramnya semua jenis-jenis makhluk itu. Pun berinteraksi dengan mereka yang sangat menyeramkan mengenyahkan imajinasiku tadi.
Seperti yang pernah dialami beberapa temanku dikelas, bukan tentang makhluk menyeramkan itu, tetapi sang indigolah yang kadang membuat suasana menjadi menyeramkan. Dia terlihat normal dalam kesehariannya, bercanda, bercengkrama, dan aktifitas lainnya pun terlihat sangat biasa. Tapi kadang ia mengejutkan kami ketika ia melihat sosok lain yang kasat dalam indera visual kami. Seperti ketika sedang berkumpul, bercerita, namun tiba-tiba hening. Ia menatap kearahku dengan tatapan tajam yang sangat serius. Aku tersentak kaget.
“Ada apa? Kenapa?” tanyaku penasaran. Ia menghela napas dan melepas senyumnya.
“ah, tidak. Cuma sesosok wanita bermuka hancur penuh darah muncul dibelakangmu,  ia merasa terusik dengan kebisingan kita disini.” Paparnya dengan polos sambil merekah senyum dan terkekeh.
“hah? Kau serius?” tanyaku sambil pindah posisi dusukku dengan kondisi tubuh mulai merinding. Suasana menjadi tegang setelah mendengar ungkapan dari apa yang ia lihat. Namun ia kembali menenangkan kami dengan mengatakan bahwa makhluk itu telah berlalu sedari tadi. Walau begitu, tentu saja kami masih dalam keadaan tegang. Untuk apa ia mendeskripsikan sosok itu dengan keseraman yang mendetil. Sehingga kami bisa membayangkannya dengan mudah dan menjadi ketakutan karena makhluk itu ternyata berada disekitar kami.
Tidak banyak yang kuketahui tentang perilaku keseharian teman indigoku ini. Ia seperti anak-anak biasa dalam kesehaiannya. Terkadang ia sering berbicara sendiri bahkan ketika ia dalam alunan lelap mimpinya. Sangat sering. Beberapa temanku mengatakan bahwa ia bukan indigo, ia hanya suka mengada-ada saja. Bahkan ada yang mengatakan ia mungkin mengalami gangguan pada jiwanya. Atau bisa jadi ia dan keluarganya terlibat dalam ikatan dengan ilmu hitam.
--oOo—oOo---
Beberapa waktu setelah merasa senangnya aku karena telah lulus dari sekolah menengah tingkat akhir, temanku memperkenalkan aku dengan seorang gadis keturunan Pakistan padaku dengan cara memberikanku serangkai nomor telepon genggam miliknya. Melalui pesan singkat, kutulis rangkaian kalimat ‘Hai’ untuknya. Gadis itu merespon cepat. Tidak banyak basa-basi, sangat utuh apa adanya.
Berjanji untuk bertemu, pun aku dengan sahabat sulapku Miftah, telah merencanakan hal yang sama. Disana ada wanita yang katanya ia cintai menantinya.
“kita hangout di Cek Mad Café saja,  mereka menungu disana.” Kata Miftah sambil memainkan kedua ibu jarinya membalas sms.
“mereka siapa maksudmu? Vira-mu? Atau para Magician teman-teman kita?” tanyaku padanya yang ternyata tidak ia hiraukan karena konsentrasi untuk menjawab pesan singkat untuk gadis –yang katanya ia cintai- itu.
“HEY!! Kau mendengarku?” kataku setengah berteriak kesal karena kebiasaannya ini yang terkadang sering membuatku merasa gondok akibat acuhnya padaku ketika ia sedang memegang telepon genggam miliknya.
            “Semuanya, personil MJT ku minta untuk berkumpul disana. Termasuk calon gadismu.” Jelasnya sambil tersenyum.
            “hah? Bagaimana kau tahu? Ah, iya. Tentu saja. Hahaha”
            “Karena kita adalah pesulap, ahahahaa” jawabnya beebarengan denganku.
            “kita mampir diwarung itu sejenak ya. Ada yang ingin kubeli.”
            “kau mau beli apa? Rokok?”
            “tentu saja tidak, orang keren seperti kita ini tidak butuh racun itu. Dan itu akan menjadikan kita sebagai pria langka.”
            “hahaha, luar biasa.”
“aku hanya migrain. Aku butuh obat sakit kepala.”
            “yah, dasar penyakitan. Apanya yang keren.”
            “hey, simpan obat ini. Ketika kita sudah duduk dengan mereka, mungkin penyakitku akan kambuh. Tolong berikan obat ini padaku setelah kupaksa.”
            “kenapa tidak kau simpan sendiri? Ooh, iya iya. Aku paham. Sedikit sensasi. Its must be cool.”
            Aku mengangguk. Sensasinya agak sedikit berlebihan. Aku akan melakukan adegan seperti orang yang kepalanya mau pecah, mata melotot, nafas menderang. Walau penyakitku ini hanya sekedar pusing biasa. Tetapi jika tidak ditangani maka aku akan terjatuh lemah, mual, bahkan pingsan. Dalam perjalanan dari kediaman Miftah menuju café lumayan jauh. Kami harus menempuh sekitar dua puluh menit. Ku sarankan miftah yang mengemudi. Agar penyakitku tidak kambuh diperjalanan. Saat diperjalanan kumainkan delight, sebuah propeti sulapku yang merah menawan jika diminkan dimalam hari. Jika dilihat akan seperti memegang cahaya.
            Kami melewati sebuah sepeda motor yang dikendarai oleh dua orang gadis manis. Sepertinya mereka sedang dikejar waktu. Karena raut wajahnya resah dan ia melirik jarum jam berwarna biru muda yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Tebar pesona dalam performa singkat dengan delight, tentu. Ingin kami berbincang, namun nihil. Ada janji disana sedang menanti.
            Pun akhirnya kami tiba di tempat itu. Setelah meletakkan sepeda motor kutarik surban yang melilit dileher miftah yang sedang merapikan rambutnya didepan cermin kecil didalam spion. Ia masih menarik cambangnya serta poninya dengan gaya abstrak akibat dipotong secara paksa oleh gurunya saat sekolah dulu.
            Seorang lelaki berpakaian serba hitam melambaikan tangan kearah kami dan meneriakkan namaku. Itu teman-teman magician kami yang telah tiba lebih dulu. Kembali kutarik Miftah yang masih saja berdandan. Saat kutarik lagi hampir saja sebuah sepeda motor menabrakku. Kutoleh pengendaranya. Ternyata itu gadis-gadis tadi. Kubalas senyum permohonan maaf mereka dan langsng menju meja dimana teman-teman kami menunggu. Posisi meja kami berada didepan sebuah toko yang sedang tertutup dan sedikit jauh dari letaknya café yang bernama dan dimiliki oleh seseorang berinisial Cek Mad. Kami duduk di bagian luar café dan dapat meikmati pemandangan luar, jalanan dengan orang yang hilir mudik dan sebuah balai bahan bakar minyak milik Pertamina.
            Saat aku mulai duduk, kepalaku mulai bertingkah. Kulihat Miftah yang sudah mulai hangat wajahnya karena sudah melihat senyum sang Vira. Aku mencoba untuk memanggilnya namun teman-teman Magic-ku ini mengajakku untuk bercengkrama. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan hadirnya gadis yang kami lihat dijalan tadi dan mereka yang hampir menabrakku. Ia duduk tepat diseberangku.
            “Hey L, kalian sudah tiba ya. Wah berbarengan sepertinya. Kalian janjian?” tanya seorang wanita berbadan sedikit ‘sehat’ yang tiba-tiba muncul.
            “maksudmu Dina? Aku dan Miftah? Tentu. Aku yang menjemputnya.” Jawabku.
            “kau belum sadar L, ini Gita, adikku. Kalian janjian untuk bertemu kan? Dialah yang kuceritakan padamu waktu itu dan oh iya, kalian mau pesan apa L dan Miftah? Biar aku saja yang pesenin sekalian, ibu kami menjual nasi jika malam hari. apa kalian lapar?”
            “nanti saja. Aku cukup sebotol air mineral saja dan miftah mungkin dia suka es teh”
            “Oke sebentar ya. Hey L, kalian kan sudah bertemu. Ayo ngomong dong, masa diam saja kalian sedari tadi.” Kata Dina yang lumayan bising. Aku mengangguk dan mulai menatap adiknya. Gita. Nama aslinya Soraya Ray. Perbedaan yang terlalu jauh dengan nama panggilannya. Seperti aku. Tapi uniknya mereka semua saudara-saudarinya yang mengalir darah Pakistan ini memiliki nama asli dengan nama panggilan yang berbeda. Sang kakak perempuan sendiri bernama asli Shahnaz Rozi Ray. Kedua saudara laki-lakinya pun sama. Aku tidak tahu alasannya mereka.
            Aku pun ingin menanyakan hal ini padanya saat ini. Namun tiba-tiba kepalaku mulai bertingkah dan sedikit parah.
            “Ben!!” Aku memanggil Miftah dengan inisial lamanya, untuk meminta obat ku yang ada padanya.
 “Miftah!! WOY MIFTAH!!”
“iya ada apa? Kenapa kau  mempelototiku seperti itu? Sudahlah lanjutkan pembicaraanmu dengannya” jawabnya polos. Ia sudah paham dengan situasi ini. Seperti yang kukatakan tadi, acting. Gawat. Kepalaku seperti akan pecah. Ini bukan lagi acting.
            “obatku cepat” aku melirih dan mulai memegang kepalaku. Namun miftah menghiraukanku. Lalu kuhentakkan tanganku diatas meja yang disusun memanjang dengan keras hingga hampir menjatuhkan semua yang ada diatasnya.
            “CEPAT BERIKAN OBATKU, bodoh!!’’ aku sedikit berteriak. Mifah pun seera bergegas membkakan obat itu dan merampas minuman yang sedang digenggam temanku. Langsung menuntunku untuk meminumnya. Suasana meja kami menjadi hening dan tegang, beberapa dari mereka saling bertanya-tanya tentang apa yang terjadi denganku. Sesaat kemudian aku mulai tenang. Kepalaku mulai seimbang.
             “Gimana sudah mendingan?  Maaf teman-teman dia hanya sedang migrain. Tidak usah khawatir.”
            “iya lumayanlah.”
            “ya sudah. Baguslah kalau begitu.”
            “hey Miftah! Thank you!” haturku sambil menyodorkan tinju toss.
            “Dasar penyakitan, selalu merepotkan”
            Aku hanya tersenyum dan suasana pun kembali hangat. Kurogoh sakuku dan kuambil satu dek kartu remi untuk memulai sedikit performa sulap dan menghibur Gita. Lets Do the Magic!
            “Apa kabar Gita? Sehat kan? Oke disini saya ada sebuah dek kartu dan kartu ini tidak ada yang kembar, ataupun sama persis.” Jelasku padanya. “oh iya, kita kan baru bertemu dan berkenalan. Karena saya Magician maka saya akan memperkenalkan Nama saya dengan Magic. Oke?”
            “Oke.” Jawabnya sambil mengangguk pelan.
            “Oke, Gita, sekarang katakan stop dan ambil dua buah kartu. Ambil kartunya satu demi satu oke paham? Sip. Katakan Stop! Dan ambil satu kartunya.”
            “Stop!” katanya dengan lembut.
            “oke katakan lagi stop dan ambil satu lagi kartunya, Oke sekarang Gita sudah mengambil kartunya secara bebas tanpa paksaan dari saya dan siapapun. Silahkan dilihat sendiri kartunya. Sebelumnya saya mau nanya nih, Gita tau nggak, ada berapakah jumlah huruf abjad dari A sampai Z?”
            “ah berapa ya, dua puluh enam.”
            “tepat sekali. Sekarang, lihat angka yang ada kartu yang sedang Gita genggam. Kemudian dijumlahkan keduanya.”
            “Angka di kedua kartu ini? iya sudah.”
            “sebutkan saja hasil penjumlahannya. Berapa Gita?”
            “hmm dua belas.”
            “Oke. Jumlah huruf abjad tadi ada 26. Penjumlahan tadi hasilnya 12. Sekarang sebutkan huruf abjad yang ke dua belas. Hitung saja dengan jarimu.”
            “A;1, B;2, C;3, D;4, E;5, F;6, G;7, H;8, I;9, J;10, K;11, L;12.. L?”
            “Sip, Nama saya L.” kusodorkan tanganku padanya untuk berjabat dan ia meraihnya sambil bingung dan spontan merasa wah. “Umur saya bisa dilihat dari kartu yang Gita ambil tadi. Silahkan dibuka.”
            “93. kelahiran 93 ya?”
            “tepat sekali.”

            “Amazing!!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar