Rabu, 30 September 2015

Sparkle: IX. FTV Realistis, sadis.

Nama adalah Cerita
Sparkle: IX

“bodoh, kau dipermainkan begitu. Dengan polosnya kau melewati itu. Tidak melawan? Really? Bodoh!” serapah Miftah dengan raut wajah sangat kesal.
“dulu, Mungkin kau boleh mentertawakan aku, kau hina aku karena aku menangisinya ketika putus. Kau ceritakan pada teman-teman lain tentang tangisku. Sekarang kau, … masya Allah” lanjutnya.
“bukan begitu, aku belum selesai bercerita.” Bantahku dengan kesal pula. Namun tetap berkonsentrasi dengan setir.
“tunggu dulu.  bagaimana kau bisa menjemputnya. Dia memintamu untuk mengantarkannya ke kampus?”
“tidak, dia hanya mengatakan sesuatu seperti, atau mungkin itu hanya sindiran agar aku bisa menjemputnya” jawabku.
“medianya?”
“telepon, tepatnya.”
“Telepon? Dia yang menelponmu?”
“iya, semalaman. Ia bercerita banyak hal seperti dulu. Dan, …”
“it’s a trap, dude.”
“apa? Apa maksudmu?”
“kau belum sadar? Dia sengaja menelponmu untuk bisa jadi lebih akab denganmu. Kemudian berkata ‘wah besok gak ada yang nganterin aku ke kampus nih’. Dan kau menawarkan diri, kemudian dia mengatakan jangan, tidak usah, aku tidak mau merepotkanmu. Terus begitu hingga menjadi seolahnya kau yang memaksa menjemputnya . juga karena kau baru bisa mengendarai gerobak ini. Show off, maybe. Saat ia ingin pulang. Kau menjemputnya lagi. Ini dia intinya. Agar kau bisa berada dengannya di suatu tempat. Lalu sang lelaki dengan rupa yang aneh itu menelponnya untuk bertanya tentang lokasi kalian. Dan sang lelaki dengan rupa aneh itu bisa mengancam kau yang hanya diam dengan muka polosmu itu. Kau sudah dijebak, bodoh.” Papar miftah dengan analisis layaknya detektif Conan. Padahal aku belum menceritakannya dengan detail.
“maksudmu aku dijebak agar bertemu dengan …”
“iya, tentu”
Mungkin benar dengan analisis Miftah. Menjebakku agar, ah, sudahlah. Itu mungkin hanya sekedar deduksinya saja. Seperti yang sering kami lakukan. Berdeduksi layaknya detektif, namun lebih banyak mengada-ngada. Hanya aku dan Tuhan tentunya yang tahu cerita sebenarnya. Bahwa aku saat itu, seolah memaksanya agar aku bisa menjemputnya untuk mengantarnya ke kampus. Oh iya, siapa dia yang kuceritakan. Dia adalah salah satu teman kecilku yang punya cerita aneh saat ulang tahunnya.
Aku baru saja mahir untuk bisa menyetir Honda Jazz milik ayahku. Ia pergi keluar kota untuk beberapa waktu dan membiarkanku mengendarai mainannya dengan sesukaku. Ini kesempatan baik bagiku. Tentu ku ajak teman-teman kecilku itu untuk sekedar bermain dan jalan-jalan. Walau tak lengkap seperti tiga tahun yang lalu, tanpa si Lita. Ada cerita lain dengan Lita setelah insiden ulang tahun itu. Pun sang putri yang berulang tahun itu. Tak ada kabar apapun. Namun saat itu ada kabar baik darinya. Setelah kami melakukan sedikit perjalanan singkat. Aku ingin melakukannya lagi, hanya berdua dengannya. Jika saja bisa.
Malam itu, ia bercerita banyak hal. Tentang kuliahnya dan hal lainnya yang bagik itu sangat tidak penting.  Namun aku tetap saja dengan tenang mendengarkannya. Apapun, setiap kata dan rangkaian cerita yang keluar dari mulutnya. Cinta? Cih, bukan. Ini Cuma rindu. Iya pernah memang, tapi kuenyahkan saat ada yang bisa mengindahkan. Benar apa yang diungkap Miftah. Ia menyindir dan membua seolah aku yang memintanya untuk menjemputnya kuliah. Dan itu terjadi. Aku menjemput sang putri dari istananya dengan kereta kuda silver jazz-ku.
Sebelum kuantarkan ia kembali menuju istananya, ingin ku mengajaknya untuk makan siang. Sedikit jauh ku mengitari kota ini untuk mencari tempat makan dengan suasana yang nyaman. Satu demi satu, dienyahkan. Hingga ia katakan bahwa ia sedang tidak ingin makan apapun. Akhirnya ku arahkan kemudi menuju alun-alun kota Lhokseumawe yang berada di sebelah Islamic Centre. Mungkin untuk sedikit memakan camilan saja.  Pun sang putri menyetujuinya dengan senyuman lembut.
Aku segera turun dan segera menuju meja untuk reservasi. Saat aku mulai duduk dan mengambil ponsel dari saku celanaku serta meletakkan kunci yang telah kutekan tombolnya. Sembari mengecek semua media sosial yang ada di ponselku, sang putri yang sedari tadi bersamaku tidak kunjung datang menempati tempat duduknya. Kumenoleh ke arahnya. Ia sedang menerima telepon. Tapi ia berjalan seolah menjauh dan kulihat raut wajahnya menjadi serius. Ah, mungkin masalah ujiannya di kampus yang dibatalkan. Aku kembali menatapi layar ponselku. Sesekali melepas pandanganku ke hamparan hijau alun-alun kota ini. Atau lebih dikenal dengan nama Lapangan Hiraq.
Saat aku mematikan layar ponselku aku melihat bayangan sang putri melalui pantulan layar ponselku yang hitam. ia ditarik oleh seseorang. Aku menoleh dan ternyata orang itu adalah laki-laki yang penyebab terbungkamnya sang putri waktu itu. Ia menarik sang putri kesuatu tempat yang agak jauh dari keramaian. Sempatnya ia menoleh ke arahku dan berteriak dalam serapahnya.
“Kau tunggu aku disitu njing ya, kau tunggu!!” ia meneriakkanku dengan hewan. Oh shit. Aku sempat mengira jika itu bukan untukku, namun saat kulihat disekitarku, tak ada sesiapa. Benar itu untukku serapahnya. Tak ada yang bisa kulakukan, selain kuacungkan jari tengahku. Kembali ia menatapku dengan bengis dan mengajak sang putri untuk berbicara dengannya.  
Pun aku bingung. Aku harus apa? Ah iya. Aku harus memesan makanan. Aku harus makan siang terlebih dahulu. Satu porsi bakso mungkin cukup mendiamkan amarah lambung ini. Kucoba untuk menikmati sesuap demi sesuap dengan tenang. Jika lelaki itu datang menghampiriku, aku akan mensilahkannya untuk duduk, atau kusuapi ia jika perlu. Mungkin ia sedang lapar. Seperti disebuah iklan yang ada di televisi, dengan tag line "loe resek kalo lagi laper". Pun tak lupa kuberi tahu Hafia yang sedang magang disebuah bank konfensional tentang keberadaanku.
"Kau tenangkan dulu situasinya, akan kuusahakan untuk berada disana" 
Sesuap terakhir, lumayan membuatku berkeringat. Dengan dua sendok sambel yang ku sengajai. Ku seruput kuah sesendok demi sesendok perlahan. Saat kuletakkan ponselku yang sedari tadi ku genggam diatas meja, tiba tiba ada yang meletakkan kunci sepeda motor dan menggebrak meja dengan kasar.
"Kau dengar aku ya njing, aku sudah sangat muak dengan kalian. Untuk apa kau menjemputnya? Hah?" Serapahnya. Ia memanggilku dengan hewan lagi dan merasa muak? Cih, justru aku merasa mual saat menatapnya.
"Kau pikir aku tidak tahu siapa kau sebenarnya hah? Jangan mentang-mentang kau seorang mejiksyen kau pikir aku takut dengan kau?" Ternyata ia tahu bahwa aku terkenal dan keren sebagai seorang pesulap. Tapi, apa katanya tadi? Mejiksyen? Mejiksyen ya? Hahaha. 
"Kau tahu siapa aku kan? Hah? Jangan senyum saja kau!" Iya, aku hanya mengahadapinya dengan senyuman polos saja. Bukannya takut untuk melawan. Dalam ilmu psikologi yang sepertinya aku pahami, menghadapi orang yang sedang marah adalah dengan tersenyum atau melawannya dengan hal positif seperti dengan kebaikan. Belajar juga dari kisah Rasulullah kan, tentu. Aku juga memikirkan resikonya jika aku malah melawannya dengan kasar. Seperti dimana kami berada sekarang, tempat fasilitas umum, dengan ramainya orang-orang disekitar. Juga nanti, jika ada luka setelah berkelahi mungkin, jika ditanya oleh ayahku, kenapa bisa terjadi, dan kujawab sebabnya adalah karena memperebutkan wanita. Oh God, no. Sangat tidak rasioal. Aku mencoba menghindari hal itu. Mencoba kukontrol situasinya. Tapi jika lelaki dengan raut wajah yang aneh itu berbuat semenanya, oke. Baiklah.
"kau tahu aku siapa kan? Jawab!"
"ahok kan? Eh siapa ya namamu?"
"ya kau tahu aku siapanya dia kan? Hah!" 
"Cowoknya" polosku.
"jadi untuk apa kau jemput dia, setan?"
"Tapi kan kalian sudah putus?" polosku lagi.
"Putus apanya, apalagi yang dikatakannya?" aku yakin ia mulai kalah.
"Entahlah, tanya saja lagi padanya. Dia sembunyi dimana?"
"Kau ini, berani ya?" ia semakin jengkel.
"Kupecahkan juga botol kecap ini dikepalamu" jengkelnya sambil menggengam sebuah botol kecap besar. Aku kembali terkekeh remeh. Itu membuatnya semakin memuncak emosi.
Kasarnya Ia mencengkerami kerah bajuku dengan tangan kanan nya dan mengepalkan tangan kanannya yang hitam. Kuraih kunciku dengan tangan kanan dan ku genggam untuk mengontrol amarahku. Kuamati sekitarku, meja, dengan adanya garpu, kuah yang pedas, termasuk wajahnya. Sumpah. Aku lebih tampan darinya.
Aku malah tertawa polos lagi. Ia sudah di ambang puncak amarah. Tangannya yang ia kepal itu akan didaratkan diwajahku. Melesat cepat. Namun nihil. Aku lebih dulu. Kupelintir siku tangan kirinya yang sedari tadi mencengkeram kerah bajuku. Kudorong dengan cepat, kepalanya kuhempas ke atas meja yang terbuat dari plastik. Beberapa barang seperti botol saus dan kecap berjatuhan ke tanah. Salah satunya pecah. Ku toleh ke bawah meja, oh tidak kunci mobil ayahku patah. Kuraih garpu, ingin kutancapkan ke arah bola matanya. 
"Dengar, now is my turn. Oh ya, kau tidak paham bahasa inggris. Apa tadi katamu, mejiksyen? Ahahahahaha." ejekku mengenyahkan serangannya. Tidak sia-sia bekal ilmu bela diri ini.
"Kau pikir, cuma kau yang bisa mengancamku? Hah? Mana pacarmu itu? Apa dia masih pacarmu? Dia sudah tang menganggapmu lagi, taki kau masih mengharap? Bodoh. Apa peduliku. Dia harus melihat ini." pandanganku menyapu sekitar. Di sekeliling, orang-orang mulai panik dan menatapiku yang seolah sebagai polisi yang sedang memebekuk pelaku kriminal. Aku mencoba mencari sang putri itu, ternyata ia melihat kami dari jauh. Cih.
"Hey gadis malang! Kau mau melihat ini, kan? Cepat kesini!" kataku setengah berteriak sambil tetap memegangi lelaki dengan raut wajah yang aneh ini. Ia berusaha melawan. Namun, jika ia bergerak, garpu yang sudah kuolesi dengan sambal ini siap menusuk matanya.
"Jika kau bergerak melawan, kuoleskan cabe ini ke matamu yang aneh itu." giliranku mengancam.
"Kau tidak tahu siapa aku, bodoh. Aku juga tidak perlu tahu siapa kau. Orang yang hanya bisa memberikan penderitaan. Tampangmu, aduh."
"Terserah padaku, siapa yang ingin kujemput. Siapapun yang ingin kubawa. Bahkan presiden sekalipun."
"Cukup Rayan, lepasin. Lepasin nggak?" sang putri tiba didepan kami.
"Atau apa? Hah? Mau ngapain? Lelaki seperti ini yang kau, ... Aduuh mama sayang eeeh." tegasku meniru aksen komika indonesia timur.
Tiba-tiba sang pangerannya melawan, meraih garpu di tanganku dengan tangannya yang bebas. Inginnya untuk menyerangku, namun dengan tangkas kuhempaskan lagi kepalanya ke meja dan kuraih cepat botol saus dan kuarahkan di kepalanya. Kuangkat dengan tinggi dan siap kudaratkan di kepalanya. Namun, Hafia tiba, meraih botol saus yang ada ditanganku dan mengempaskannya. Botol itu terlempar jatuh ke tanah. Pecah.
“hey hey hey, tahan tahan. Easy dude, easy. Sejak kapan kau menjadi sesadis ini hah? Kau lupa? Kau sadar siapa dirimu?” hafia menenangkan aku yang sedang dalam mode beast.
“orang-orang akan semakin ramai. Sudahlah. Kalian pulang saja. Bawa dia pulang. Jika diteruskan, akan datang polisi yang tidak jauh dari sini.” Hafia menenangkan situasi dan menyarankan sang putri untuk segera pergi. Walau pria dengan raut wajah yang aneh itu membantah dan ingin kembali melawanku, namun tetap saja Hafia mengenyahkannya.
Sang putri pun memaksanya untuk segera pergi. Dengan tatapan waspada kembali kubereskan disekelilingku. Aku menggaruk-garuk kepala saat kulihat kunci mobil milik ayahku sudah patah. Gawat. Segera kuhampiri sang pemilik warung bakso untuk mempertanggung jawabkan perbuatanku. Aku disambut dengan tatapan yang menyenangkan.
“tadi itu keren sekali bujang, saat kau melawannya. Aku mengerti masalahnya. Jika itu tentang cinta, kenapa tak kau tanyakan langsung pada sang wanita, untuk memilih diantara kalian berdua. Selesai, kan.” Paparnya yang membuatku bingung. Ada apa dengan pedagang ini? Mengapa ia tidak keluhkan bebeapa propertinya yang kuhancurkan? Ia malah mengatakan itu dengan suara keras. Membuat orang-oang disekitar menoleh. Pun aku malu.
“ah, bukan. Ini masalah hutang, ia merasa tertipu dengan bisnis MLM yang kutawarkan. Hehehe.” Polosku.
“mohon maaf atas kekacauan tadi. Dan ini sebagai ganti ruginya. Aku cuma punya segini. Mungkin itu cukup.” Haturku sambil menyerahkan tiga lembar uang kertas berwarna biru. Ia menerimanya dengan senang hati.
            Aku segera menuju mobilku yang disana sudah berdiri hafia bersandar dipintu kanan. Kulempar kuncinya yang sudah patah. Ia menyambutnya dan menatapinya dengan bingung.
            “patah? Oke. Biar aku yang menyetir. Kau sedang aneh. Kita urus kunci ini dulu lalu kita cari tempat makan yang nyaman.”
            “oke. Whatever. Kau mau tau kejadiannya?”
            “aku sudah melihatnya dari awal. Saat kerahmu ditariknya?”
            “iya? Bagaimana? Keren kan? Seperti ftv yang pernah kau bintangi.”
            “iya keren. Tapi dimana kau belajar menjadi sesadis itu?”
            “sadis apanya, itu hanya beladiri.”
            “itu bukan beladiri. Maksudku keaadanmu secara psikologis. Kau seperti psikopat.”
            “psikopat?:
            “ya, tepatnya, psikopat binaan.”
Saat aku kembali ke kediamanku, ternyata aku telah dinanti makan siang oleh karyawan ayahku. Seperti biasa, ia sudah memesan makanan yang sama-sama kami sukai. Namun kukatakan bahwa aku sudah makan tadi.
            “wah, bang, aku sudah makan tadi. Ah iya, tadi saat aku makan di lapangan Hiraq, ada yang berkelahi. Keren sekali seperti dalam sinetron. Kelihatannya, mereka memperebutkan cewek. Karena yang terlihat ada dua orang cowok, dan satu cewek. Tapi tidak lama, karena sang pedagang melerainya dan marah-marah menuntut ganti rugi.” Jelasku padanya. Yang kujelaskan tentangku tadi, namun bukan sebagai aku. Sebagai oang lain.
            “begitulah anak muda sekarang. Mau dikata apa. Kau harus tahu satu hal, kau kan masih muda. Tentang wanita itu, jika kau merasa disaingi, atau seperti kejadian tadi. Jika ada orang lain yang mengejarnya juga, pecayalah, lebih baik kau menyerah dan jauhi saja wanita itu. Karena ia sudah menjadi murahan. Maksudku, iya sudah wajar wanita diperebutkan seperti itu. Tapi jika sudah sampai pada taraf kalimat pemilihan, (pilih aku atau dia), kau akan dibuat menjadi barang pertimbangan, ia akan memilih salah seorang diantara kalian. Salah satunya akan merasa senag dan lainnya akan merasa sangat kecewa. Ternyata dari awal bukan hanya kau seorang yang dipertimbangkannya tapi ada satu, dua bahkan lebih. Mereka yang telah lebih dulu leluasa.” Jelasnya panjang lebar, aku menangapinya dengan khidmat. Perfect.

            “bukan maksud mengajari, tapi sebagai orang yang lebih tua dan lebih berpengalaman darimu, aku hanya berbagi. Ayo makan lagi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar