Senin, 07 September 2015

Sparkle VIII, Indahnya Ramadhan, Fatamorgana!


Tentang tanah perbatasan ini, uniknya. Sebenarnya jauh untuk menempuh perbatasan itu. Negeri jiran bernama Malaysia. Waktu yang harus ditempuh adalah selama empat sampai tujuh jam menggunakan kendaraan bermesin yang beroda empat.  Kukatakan, uniknya. Apa? Ini tanah melayu. Nun disana pun ada suku dayak yang menderu. Mereka pernah bersatu, saat kutanyakan pada orang disitu, tentang arti sebuah tugu. Tugu ketupat berdarah.

Adalah sebah desa bernama Parit Setia, bersebelahan dengan desa destinasi kediamanku dan beberapa temanku. Sebuah destinasi yang menjadi pilihan untuk melakukan kegiatan kampus berinisial KKN. Kuningnya sebuah kabupaten bernama Sambas ini terwarnai dari bangunan keratonnya. Wilayah kalimantan barat, buah hati dari ibu kota Propinsi Pontianak.

Selepas doa yang dipimpin oleh seorang tokoh pengasuh surau kecil nan sederhana bernama Al Hidayah ini, aku berdialog dengannya. “Tidak ada lagi orang Madura disini.  Pun seorangnya.” Tukas sang bapak pada kami.

“mereka menjarah kami dengan seenaknya, sesuka hatinya. Jika tidak kami layani, darah kami ditumpah boi. Tugu itu, kau lihat kan? Ketupat berdarah. Ketupat yang di tampung dengan tiga buah lengan. Itu adalah tiga oang dari kami yang menjadi korban pertama. Pun itu adalah saat lebaran.” Tegasnya lagi dengan suara sepuhnya yang parau.

Miris sekali mendengar cerita suram itu. Namun apapun saat ini sudah datangnya kedamaian. Nyaman, bahkan tak ada pencurian. Untuk tamu seperti kami sangat dimuliakan. Apalagi magangnya kami di desa ini adalah dalam segi religius. Almamater dari altar suci Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah Mohammad Natsir disambut lembut saat kami utarakan perkenalan.

“Delapan bujang untuk wilayah kecamatan Jawai ini insya Allah akan melaksanakan program-program mereka dan kegiatan da’wah lainnya selama satu bulan penuh, bahkan lebaran mereka juga masih disini. Semoga bisa bermanfaat bagi kita nantinya khususnya di bulan puasa nantinya.” Jelas ketua pengurus masjid kepada para jamaah sebelum iqomah shalat isya.

Setiap malam hampir semua dari kami menyebar ke beberapa masjid dan surau. Diminta untuk sekedar menyampaikan prakata singkat bahkan mengimami tarawih. Ada yang menjemput kami bahkan ada tempat yang kami datangi. Akses menuju lokasi sangatlah mudah. Karena jalan yang perlu ditempuh adalah jalan yang lurus. Iya, maksudku meskipun jalan yang aspalnya hampir musnah, dengan lubang-lubang yang parah, jalannya hanya lurus searah saja. Namun jaraknya lumayan jauh dari lokasi kediamanku dan teman-temanku.

“baik, jadi begini bujang. Setelah kami perbincangkan, surau ini selama satu bulan penuh kalian dipersilahkan untuk mengimami dan sekaligus kultumnya juga. Biarkan kami sebagai makmum saja.” Pinta salah seorang pengurus surau.

“wah, tapi pak, kita disini sebagai tamu kan lebih baik jika, …”
“sudahlah boi, justru itu. Karena kami kedatangan tamu spesial dari Jakarta, maka maksimalkan saja dengan sebaik-baiknya. Kau sanggup kan boi?”
 “baik, Insya Allah kami sanggup pak. Kita juga akan bergantian untuk memenuhinya. Karena di beberapa masjid dan surau lain nama kami juga sudah tercantum.”

Antusias yang seperti ini adalah kunci utama untuk suksesnya semua kegiatan dan program kami. Secara maksimal mereka menyerahkannya untuk lancarnya kegiatan kami. Walau dalam segi pemahaman tentang cara beribadah yang berbeda pendapat namun tidak menjadi ultimatum bagi kami. Mereka mempersilahkannya dengan senang hati.

Seperti saat pertama kali aku mengimami empat shaf shalat subuh. Doa qunut tak kulantunkan karena kebiasaanku. Maksudku, aku mengilhami pendapat itu. Namun setelah salam, baru aku menyadari bahwa aku lupa menanyakan perihal ini sebelum ber-takbiratul ihram. Setelah aku berbalikkan badan, aku memperhatikan raut wajah para jamaah yang ikut shalat dibelakangku. Tidak ada yang seperti keheranan atau merasa aneh. Kecuali satu dua dari meeka yang sekedar melihat siapa yang mengimami.

Setelah para jamaah satu demi satu mennggalkan masjid, pun aku menanyakan perihal ini. Tentang aku yang tidak melantunkan do’a qunut ini. Aku sangat khawatir. Bisa-bisa karena hal ini, aku bahkan temanku bisa dianggap aliran baru ata bisa dianggap sesat atau tidak diperkenankan lagi melakukan banyak kegiatan disini atau bahkan diusir dari tempat ini.

“disini qunut memang tidak dibacakan, biasanya. Tergantung sang imam juga. Jika adik ini ingin membacakannya juga tidak masalah.” Jelas pak tetua masjid sembari tersenyum.

Pun aku merasa sangat lega atas apa yang diungkapkan sang tetua masjid. Kekhawatiran yang terlalu berlebihan pun sirna. Namun kewaspadaan harus tetap ada. Siapa tahu jika ada saja rintangan dan halangan yang akan menjadi tantangan ketika menjadi juru da’wah, terutama di tanah perbatasan ini. Letak geografisnya sangat jauh dari perkotaan. Mengendarai sepeda motor selama dua jam, menyebangi sungainya selama seperempat jam.

Para penjuru senior yang telah menetap lebih dulu dari kami bahkan lebih lama juga sudah bercerita kondisi psikologis keagamaan mereka. Walau tak sepeti yang terlihat, mereka yang berjenggot panjang dan becelana cingkrang diwanti-wanti untuk melakukan aktifitas keagamaan di masjid desa Bakau ini. Bahkan microphone pun jangankan untuk mengumandangkan azan, mendekati ruangannya pun tidak diizinkan.

Untuk wilayah daerah dimana tempatku bertugas, tidak ada secara real rintangan yang atau tantangan yang secara fisik, namun hanya secara psikis. Dan justru inilah yang lebih berbahaya sebenarnya. Bisa mengakibatkan hal-hal fatal lainnya. Tapi ini tidak terlalu menantang mental. Tidak terlalu membuatku harus cemas dan resah. Tidak membuatku berpikir berulang-ulang, gelisah, khawatir, was-was dan apapun itu. Seperti yang dirasakan temanku di wilayah destinasinya. Tempat mereka adala dimana umat muslim hanya sebagai minoritas.

Minoritas muslim disana telah dihegemoni oleh umat Kisten sang mayoritas. Anak-anak muslim yang bersekolah di tempat mereka terpaksa harus mengikuti apapn pelajaran yang diberikan. Tak heran ketika temanku mengajak anak-anak itu untuk belajar mengeja aksara Alquran, dan menanyakan perihal tauhid. Tenatang siapakah sang Penguasa alam jagat raya ini, siapakah Tuhan kita? Mereka dengan sangat polos dan spontan menjawab “Yesus”.

Pengetahuan dasar tentang Islam yang seharusnya sudah pasti diketahui layaknya sebagai anak muslim, itu tidak. Ini beralaskan pendidikan. Ya pendidikan yang harus mereka resapi secara terpaksa tanpa pesona melalui sekolah yang dikelola oleh sang Mayoritas, Kristen. Apa harus dikata? Tak ada sekolah lain. Itulah sekolah paling langka untuk wilayah tersebut. Pun sang minor, kemana harus menanak? Iika ada, sungguh jauh disana. Kepedulian dari muslimin lainnya? Mungkin hanya sebongkah, selangkah, kemudian lepas arah. Tega? Entahlah. Setiap harinya anak-anak yang seharusnya sudah mengeja abata malah harus menelusuri pasal-pasal Perjanjian Baru dan Lama. Dieja untuk mengucap haleluya dengan irama. Nihil untuk melantunkan shalawat atas Nabi-Nya.

Toleransi katamu? Cih. Itu hanya ungkapan jika kau adalah sang Mayoritas. Agar tidak menghalangi, membatasi atau katanya mengusik minoritas lainnya. Tapi jika sebagai minor, tak segan mereka angkat senjata dan siap membidik kerdilan-kerdilan dibawahnya.

“apa Tuhan mereka itu tuli? Untuk memuji saja harus dengan pengeras suara? Mengganggu orang tidur saja.” Kata seseorang yang sengaja mengeraskan emosinya. Saat melihat teman-temanku melewatinya yang sedang duduk-duduk di seberang warung yang sedang didatangi teman-temanku itu.

“tidak usah khawatir anak muda, mereka memang seperti itu ika pulang berburu, mungkin emosi karena buruannya sedikit.” Ibu pemilik warung melembutkan kekhawatiran teman-temanku yang sudah bergetar kakinya. Seskali mereka melirik kebelakang, kemudian orang tesebut berdiri dan berbicara dengan suara yang lebih panas.


“Ini negeri kalimantan. Mereka tidak boleh macam-macam seperti di Jakarta karena mereka mayoritas. Tapi disini mereka adalah minoritas. Awas saja, meskipun mereka berlima, ini, tak akan segan-segan kutembaki kepala mereka!” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar