Senin, 28 Maret 2016

Special Sparkle: SAiV ! Act; two.

SAiV
ACT: TWo
Aku memasukkan properti perburuan ke ranselku. Kukenakan jaket bertudung hitam dan bergegas keluar menuju tempatku bekerja. Sebagai freelancer yang tidak memiliki pekerjaan tetap, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan keseharianku.
Lalu-lalang melintang padatnya ibu kota. Beberapa kemajuan diterapkan masih saja ada kemacetan yang awet. Majunya peadaban membuat semua yang didesa ingin turut serta merasakan indah dan nikmatnya mencari penghidupan. Akibatnya ibukota penuh sesak dengan keramaiannya.
Mereka yang dianggap memiliki keahlian namun kurang beruntung, terpaksa untuk melakukan pekerjaan rendahan. Mereka yang sebenarnya tidak bisa apa-apa namun uangnya bisa berbicara, bisa dengan mudah lulus dari pendidikan dengan predikat sempurna bisa duduk di kantornya dan katanya ‘bekerja’. Pun mereka yang tidak bisa apa-apa miskin pula, pendidikannya tersia, meilih meminta dan menyanyi saja di jalan raya. Dan cara mereka sungguh meresahkan saja. Meminta dengan memaksa, menyanyi dengan seenaknya saja, padahal bicara saja tidak bisa, namun dipaksa mengeluarkan suara.
Untuk pengguna jalan raya sepertiku, aku harus menggunakan alat transportasi umum, agar bisa lebih mudah mengamati, mengawasi, ciri-ciri tipikal yang akan menjadi target buruanku. Namun tidak hanya mereka yang terdaftar, tapi mereka yang secara instan kudapati didepan mata juga pasti kusikat saja. Seperti mereka yang bernyanyi seenaknya ini. Agar tidak terlihat seperti aku yang mencoba memulainya, maka aku harus menjadi korban dari pekerjaan mereka agar bisa dilihat sebagai pembelaan diri.
Seusai bernyanyi dengan suara yang tidak pantas itu di bus kota yang kunaiki ini, mereka mendatang satu demi satu penumpang sembari menyodorkan tangan mereka. Sembari memproklamirkan rasa kelaparan dan mengharapkan agar bisa membeli sesuap nasi. Tak hanya mereka pun para pengasong silih berganti menaiki dan menawarkan barangnya kepada para calon pembeli. Setiba diarahkannya tangan mereka kepadaku, aku yang sedari tadi menggunakan headset mengacuhkan mereka dan mengangkat tangan sekadarnya saja. Dari awal mereka besuara aku sudah mengeluarkan ekspresi dan mengenakan headset yang tidak ada suaranya sama sekali agar mereka terpancing bahwa aku tidak menghargai mereka. Wanita bertudung didepanku juga dipaksanya hingga harus mengeluarkan lembaran-lembaran mereka.
Saat kuacuhkan, mereka tidak beranjak, tetap menyodorkan tangannya, sambil sesekali menyentuh tanganku dan mengarahkan ke mulut mereka, isyarat buat membeli makanan. Tetap kuacuhkan. Mereka mulai melotot dan memaki. Aku berpura-pura tidak mendengar, sampai ia berteriak dan aku menatapinya juga.
“woy, jawab kek, ngomong kek apa, hargai suara kami dong, apa lu melotot-melotot ke gua hah??” hardiknya. Berhasil. Ia terperangkap. Kusodorkan recehan yang bahkan tidak cukup untuk membeli apapun. Tidak laku lagi.
“maksud lo apaan nih hah? Lu menghina gua, hah? Ayo sini lo kalo berani?” ia melemparkan recehan tadi ke wajahku. Bus tetap berjalan, para penumpang mulai panik, namun tetap tidak ada yang berkutik. Kuraih masker buff yang diasongkan dan menyerahkan uangnya, karena aku lupa membawa punyaku hingga harus membelinya lagi. Agar jika aku memulai aksiku aku harus menutupi wajahku. Seolah aku mengabaikan mereka yang sedang menggonggongiku.
Ia menarik kerah jaketku, mengangkatnya hingga aku berdiri dari tempat duduk, kuabaikan lagi sambil membuka kemasan masker dan mengenakannya hingga ke leherku dan menutupi setengah wajahku. Ia memaki. Kutepiskan cengkramannya, ia memanas dan melayangkan kepalan tangannya dengan cepat ke arah wajahku. Lebih cepat lagi aku menunduk, hingga kepalan tinju yang berasal dari tangannya yang bau itu mengenai temannya. Kuraih wajahnya dengan telapak tanganku, kudorong dengan kuat dan kubenturkan ke tiang pembatas penumpang. Ia tesungkur.
Dua temannya  yang dibelakang kembali menyerangku, kuhempaskan telapak kakiku ke wajah salah satunya yang di sebelah kanan dengan kuat. Hingga ia tersungkur ke bangku penumpang yang dibelakang. Satunya lagi menyerangku dengn gitar busuk kecil miliknya, kutepiskan. Ini harus segera tuntas dengan cepat. Kukepalkan tangan kananku dan menonjolkan sedikit jari tengah dan kuhujam kearah antara leher dan tulang rusuknya. Pun ia tersesak nafasnya. Yang tersungkur tadi kembali bangkit. Kubenturkan kepalanya ke besi bangku penumpang berkali-kali dan kuhempas ke kaca jendela hingga pecah. Kulayangkan lagi kaki ke arah wajahnya yang baru bangkit dari bangku belakang hingga memcahkan kaca jendela bagian belakang bus ini.
Satu lagi yang berada di depan, setelah menepis pukulannya. Kuhujam bagian kepala atau pelipis disebelah matanya dengan siku. Agar pembuluh darahnya kaku. Kubenturkan lagi kepalanya ke tiang itu bertubi-tubi. Ia tersungkur dan kepalanya jatuh tepat di belakang pintu dan serangan terakhir. Kutendang pintu itu yang mana kepalanya berada dibalik pintu itu dengan kuatnya.
Para penumpang yang kebanyakannya wanita dan beberapa pria tua berteriak ketakutan melihatnya. Tiga manusia perusuh itu sudah tidak bergerak lagi. Target instan berhasil dilumpuhkan. Kuperhatikan para penumpang, ada dua wanita yang mengarahkan ponselnya. Gawat ia merekamnya. Tanpa berucap apapun, kuraih ponselnya dan kuhapus semua data yang ia rekam. Bus pun menepi dan berhenti. Aku segera turun agar tidak menjadi permasalahan yang melibatkan awak hukum. Padahal tujuanku adalah stasiun kereta dimana bus ini menepi. Namun untuk menghilangkan jejak, harus kunaiki angkutan lain. Ku amati, banyak angkutan yang berhenti menunggu penumpang. Beruntungnya ada taksi. Kumasuki saja dan langsung kukatakan untuk segera jalan saja dan mengubah arah.
---
Pukul sembilan pagi. Aku terlambat empat puluh menit. Dasar. Gara-gara gadis muda itu, harus berdebat dulu dengannya. Karena aku menaiki taksi yang sedang ada penumpangnya. Gadis yang kuanggap sedikit gila itu menyuruhku untuk turun, dan aku bersikeras agar tetap bisa ikut saja kemana, pasti kuganti ongkosnya. Dasar wanita. Ia menuntut membayar ongkosnya dua kali lipat. Untuk menghindari hal kelamaan, aku mengiyakan saja. Akibatnya aku harus mengantri ke mesin ATM. Herannya kenapa aku turut saja. Gadis yang kuanggap sedikit gila itu, karena kerudung yang ia kenakan sangat aneh, dililitnya entah kemana-mana. Kusemogakan tercekik lehernya karena lilitan itu yang maha aneh modelnya. Dan polosnya ia, saat berdebat dengannya, kusempatkan meraih tas mungilnya untuk meraih beberapa lembar uang miliknya sendiri. Dengan sedikit pengalihan. Jadi saat mengantri, dan ia mau menunggu, aku hanya mengeluarkan isi dompetnya dan isinya sangat cukup untuk mengelabuinya. Saat turun, kuserahkan ongkos taksi sesuai tarifnya dan itu setengahnya dariku, dan aku memberikan tuntutan dua kali lipatnya yang mana itu adalah miliknya sendiri. Aku membayar hak sang supir taksi sesuai dengan haknya. Dan tentu saja aku tidak mau rugi, pun pasti wanita yang sedikit gila itu. Giurkan wanita bukan dengan banyak janji, namun dengan apa yang ia sukai meskipun itu bayangannya sendiri. Mengerti?
Aku memasuki gerbang tempat dimana aku bekerja. Sebuah lembaga pengelola wisata. Aku ditempatkan di bagian penerjemah. Kaena aku mahir beberapa bahasa asing. Bukan dengan terpaksa, dengan disini, aku bisa mengakses beberapa orang asing yang kadang menjadi suplier buruanku. Atau bahkan merekalah buruanku. Antek-antek asing yang mencurigakan, semua kutelusuri datanya. Walau tadi sempat dibentak oleh The Boss, Mr Greg, aku selalu beralasan dengan lugu. Amarahnya selalu sirna, karena baginya aku adalah satu-satunya aset yang paling berharga. Karena aku, pun dianggapnya, yang paling bisa dipercaya melebihi sekretarisnya bahkan istrinya sendiri, aku selalu berkata apa adanya. Kecuali kejadian tadi tentunya. Walau sempat diinterogasi oleh Lulu, sekretarisnya.
“where have you been? Mr. Greg menantimu sedari tadi, kalau kau sampai mengecewakan beliau, habislah sudah.”
“Mr. Greg sudah kubawakan jamu kesukannya, aku memberikannya pada beliau saat di depan tadi. Tenang saja, aku hanya menaiki angkutan yang mogok, Lu.”
“mogok? Bukannya semua transportasi umum sudah diganti dengan yang paling baru?”
“kau tahu buatan cina kan? Seperti ponselmu, motif cangkirmu, pelembab kulitmu, semuanya dari cina.”
“iya, hah? Lotionku? Apanya yang cina?”
“kau tidak baca keterangannya? Diolah dari mutiara asli cina, blablabla. Kau ini payah, tidak teliti.”
“tidak seperti kau, pantas saja si Bos selalu membanggakanmu. Tapi darimana kau tahu lotionku?”
Aku pun berlalu meninggalkan Lulu yang masih bertanya. Aku segera ke mejaku dan akan segera melayani turis special dari negeri Gajah Putih. Ia membutuhkan penerjemah. Sayang sekali, aku bukan ahli dalam bahasa yang memiliki huruf abjad yang terdiri dari tiga puluhan lebih. Beruntungnya, kusodorkan pada ahlinya.
“Fer, bahasa Thai nih, lusa, bisaa ya? Asisten inggrisnya tidak ada. Jadi dia butuh penerjemah langsungnya, sekalian. Kaerna bakal ada acara besar nih”
“Lusa ya, berarti hari Rabu? Hmm, kulihat jadwalku dulu,  oke, aku bisa.”
“ Sip.”
“oh iya, dibawah tumpukan berkasmu, ada paket dari Sydney, sepertinya. Lihatlah. Aku meletakkannya disitu tadi pagi. Mungkin dari perlombaan menulis essaimu itu”
Kubuka amplop besar yang berisi sertifikat tebal yang bertuliskan namaku sebagai juara ke 3. Ada selipan surat kabar selembar. Dan satu keping micro chip yang di tempel di tepat di bawah tulisan angka 3. Kuamati micro chipnya, surat kabarnya, halaman utamanya. Sebuah tulisan besar, headline. Akan diadakan pemilihan Miss Transgender di kota ini. Dan yang meminta layanan penerjemah adalah, … ternyata ini pesan dari si Nomor 3.
Kumasukkan micro chipnya ke ponselku, berikut prosedurnya muncul. Bahwa para transgender dan wanita jadi-jadian itu akan berangkat dengan mengendarai sebuah bus dan dikawal oleh awak hukum. Pun hingga di tempat audisinya, dijaga sangat ketat. Nomor 3 menyarankanku agar mengikuti skenarionya. Bahwa dia yang akan mengatasi gedungnya jika kendaraan pengangkut mereka tidak bisa dilumpuhkan.

“Kita punya satu nyawa, sebaiknya  hanya untuk yang terbaik.” 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar