Jumat, 05 Juni 2015

Sparkle : I, Nama Pertama

Sparkle : I
Nama Pertama
Langit masih gelap dan sang surya masih enggan untuk keluar dari persembunyiannya. dan kala itu adalah dimana orang-orang juga masih enggan untuk bangkit dari kematian-sesaatnya. persis seperti yang kurasakan saat ini, didalam sebuah kendaraan darat besar bertuliskan Damri dietiap sisinya.Saat itu aku masih setengah sadar, aku masih belum tahu dimana dan mengapa aku disini. Dengan tarikan tangan yang kuat oleh Miftah dan suara kondektur yang meneriakkan dengan keras hingga membuatku terjaga bahwa kendaraan besar ini sudah tiba di kota tujuan. Metro, Kota Metro nama tempat ini. Kota dimana aku dan beberapa teman yang baru aku kenal didalam perjalanan walaupun kami tinggal di satu kota yang sama. Kecuali dua orang teman seperjuangan tapi dilain medan, yaitu Amriadi, Teman seperjuanganku ketika aku menimba ilmu di pondok pesantren Ihyaa Ussunnah, dan Miftahul Anhar, teman dan orang paling nekat yang pernah kukenal, kami berdua pernah mengirup keilmuan di pondok pesantren yang sama, akan tetapi Miftah meninggalkan pondok menuju SMA ketika aku pun meninggalkan pondok dan kota tempatku berada awalnya menuju kota hujan. Aku pun makin akrab dengannya ketika aku kembali ke kotaku dan kami pun menjadi seniman panggung berkelas, yaitu pesulap. Lebih kerennya kami dikenal dengan sebutan Magician.
  
Mataku masih remang-remang ketika pertama kali menginjakkan kaki di tanah Lampung ini. Mungkin karena pengaruh dari kapal Ferry yang kami tumpangi dan aku bahkan mereka juga mungkin tidak biasa dengan kapal walaupun tidak mabuk, tapi karena pengaruh terpaan angin malam selama dua jam dan itu adalah waktu dini hari sekitar pukul satu atau dua pagi. Dengan mata yang masih berat aku merasa bingung. Sepertinya ada yang aneh dengan kota ini. Kupaksa membuka mata lebar-lebar dan kuamati disekelilingku dataran kota ini. Mungkin kota ini letak geografisnya jauh dari pegunungan bahkan lautan. Kuamati juga teman-temanku ternyata mereka juga kelihatan masih lelah. Ustadz Ridho, seorang sarjana muda yang lulus dengan nilai Cumlaude. Beliaulah yang menuntun kami ke kota ini untuk menuntut dan menimba ilmu. Kau tahu sobat, ilmu itu tidak bersalah, maka kau tak perlu menuntutnya dan ilmu tidak ada didalam sumur maka kau tak perlu menimbanya. Begitulah ungkapan yang sering diucapkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab karena telah melecehkan sebuah ungkapan lain dari kata belajar. Kulihat ustad Ridho sedang menggenggam ponsel miliknya, mungkin menghubungi seseorang untuk menjemput dan membawa kami ke tempat dimana kami nanti akan mencicipi ilmu-ilmu baru yang ada di kampus. Ya, kampus. Kami kemari untuk melanjutkan pendidikan tingkat Perguruan Tinggi. Pun kami tidak sabar lagi ingin tahu bagaimana kampus kami nanti. Apakah sesuai dengan yang Aku dan Miftah gambarkan dalam bayangan?  Sepeti memiliki fasilitas lengkap, ruangan ber-AC, gedung kmpus yang luas dan megah, ruangan-ruangan laboraturium, menaiki gedung dengan menggunakan lift, dan serba moderen lainnya. Kami pun tak sabar lagi ingin cepat-cepat tiba disana.

Aku melihat dari kejauhan seseorang dengan sepeda motor dan mengenakan pakaian solat dan peci putihnya melaju dengan tenang sambil tersenyum-senyum melihat kami semua. Ia pun turun dari motornya dan menyapa kami dengan ramah .

“Assalamualaikum!” sapanya yang diiringi senyuman yang meraut diwajahnya dengan mata agak sipit sembari menjabat tangan-tangan kami dengan erat.
“wah, udah lama nunggu ya? Afwan ana nggak ngeliat hape tadi Ustadz. Subhanallah, ini dari Aceh semua ya? Oh iya, Saya Rohman, M Rohman”
“Saya Ibrahim” kata salah seorang dari rombongan kami yang mengenakan almamater dengan bertulislan “almufassabil Graduate of Misbahul Ulum”
“Saya Saifuddin”
“Saya Amriadi”
“Saya Mif-tah”
“Saya Suprianto”

Giliranku, “saya L, eh, maksudku saya Arrayyan. Muhammad Arrayyan” tukasku sambil menjabat tangannya yang masih diselimuti dingin pagi. Aku menghela napas panjang. Kuamati sekitar tempat ini, masih dalam kesunyian pagi. Udara sejuk menerpa wajahku dengan lembut. Kulirik Casio G-Shock hitam yang melingkar ditangan kiriku, pukul 5.45 pagi. Sesaat kemudian Ustadz Ridho pun menuntun kami menuju mushalla yang tidak jauh dari tempat dimana kami diturunkan untuk melaksanakan shalat subuh. 

Tak lama setelah shalat, Mas Rohman yang kerap kini dipanggil dengan inisial Mas Em karena Rahman adalah nama yang sangat berat buatnya. Entah apa maksudnya hingga sampai kapanpun tidak ada yang pernah menyinggung tentang namanya. Mas Em tiba dengan tiga teman seangkatannya yang masing-masing mengendarai sepeda motor guna untuk menjemput dan membawa kami ke taman ilmu yang sudah sangat membuatku penasaran. Hingga tiba ditempat itu aku masih bingung dimana gedung kampusnya? Yang aku lihat didepanku hanya sebuah gedung milik SDIT Almuhsin dan sebuah masjid disebelahnya.

“ayo, kita ke asrama saja dulu, istirahat. Pasti capek dong selama didalam bis.” Kata mas Saiful Umar, bujang lampung dengan bakat suara yang sangat tinggi dan merdu, dan kudengar bahwa iya kerap sudah memiliki lusinan piala, trophy atau penghargaan melalui MTQ. Ya, ia adalah sang jawara tahfidz MTQ.
”saya Saiful Umar, asli dari Kotabumi, Lampung Utara.” Tukasnya sambil tersenyum ramah dan menjabat tanganku kemudian meraih koperku untuk dibawakan olehnya.
“Anu, nama saya L mas” kataku.
“hah? siapa?”
“eh, anu mas, nama saya Arrayyan” tambahku demi membenarkan nama asliku dari keceplosan karena kebiasaan memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama L. jika dipikir memang sangat jauh sekali jatuhnya antara Arrayyan dengan L. paling jika nama panggilan bisa diambil dari awal nama atau akhir nama, seperti ray, atau yan, bahkan rayyan. Atau panggilan dari keluarga ibuku, Roy.
Bicara soal nama panggilanku, sobat. Sungguh, pasti tersirat sepucuk kisah dibalik untaian indah sebuah nama, karena nama adalah cerita. saat ini aku sudah menyimpulkan bahwa beda habitat yang aku tempati maka beda juga nama yang dipanggilkan untukku. Hingaa saat ini, aku sudah mengumpulkan seluruh namaku yang telah akrab dimulut orang-orang. Dimulai dari tempat kelahiranku, desa Kampung Jawa, Kota Lhokseumawe. Nama netral yang dipanggil oleh teman-temanku adalah Rayyan. Tetapi nama yang kemudian agak sedikit melenceng dari huruf vocalnya adalah; Roy, panggilan hangat dari pamanku ketika beliau masih bujang. Adik kandung ibuku ini sering memanggilku dengan Roy ketika menyuruhku membeli sebungkus rokok untuknya. Dia mengira dalam pikiran bujang dan mudanya Roy adalah nama yang keren atau gaul. Akan tetapi kakekku tidak senang mendengar jika ada yang memanggilku dengan Roy. Beliau lebih suka memanggilku dengan Muhammad, atau Rayyan. Namun sapaan Roy masih tetap saja hangat ditelingaku hingga seluruh saudara-saudari ibuku mengikutinya.

Menuju habitat selanjutnya yaitu taman pendidikan yang dimulai dari yang paling dasar. Tetapi sebelumnya ada satu hal yang bisa dibilang ini merupakan aib ataupun sebuah rahasia. Mengapa kukatakan aib, sobat, bicara tentang pendidikan dasarku yang sebenarnya aku tidak pernah mengenyam pendidikan dasar yang bernama Taman Kanak-kanak (TK). Tetapi yang terkadang hal ini kuanggap menjadi aib adalah sebuah kekurangan yang ketika itu disebutkan atau dijadikan sebuah ejekkan untukku hingga aku menjadi tidak bersyukur adalah perbedaan warna kulitku dengan warna kulit kedua orang tuaku. Betapa tidak, kedua orang tuaku memiliki warna kulit putih sedangkan aku berkulit hitam. Hitam manis sih, tapi jika berbeda dengan kedua orang tuaku kadang terasa aneh bagiku. Apalagi ketika saat aku masih dalam masa kanak-kanak, ketika sering diajak oleh orang tuaku menuju rumah teman-temannya atau ketika ada yang berkunjung ke tempatku. Kerap kali candaan-candaan yang dilontarkan sering membuat dadaku panas. Seperti candaan “waah, ini anaknya yang pertama ya, udah besar ya, “ tiba pada kalimat yang membuatku mendidih “tapi kok itam ya?” ada juga “anak siapa ini?” yang paling menjijikkan adalah “kau anak siapa? Ayah dan ibumu putih, ditambah adikmu juga putih, kau pasti anak yang diadopsi kan?”

Miris sekali, rasanya ingin kumasukkan pasir ke dalam mulut orang-orang yang mengatakan untukku seperti itu, bersyukur ketika aku mendengar ada orang yang mengatakan hal yang sama tapi dalam bahasa yang sangat indah ia mengatakan “kau mirip dengan kakekmu ya”. Gunung pun siap melontarkan panas lava dan magmanya jika ia melanjutkan kalimatnya seperti kalimat-kalimat orang yang tidak mengerti bagaimana perasaan seorang bocah sepertiku. Bagaimana jika terserang gangguan mental, atau psikologis yang membuat aku hilang semangat, terpuruk dalam sudut semesta kesunyian. Apalagi jika melihat orang-orang yang bahkan memiliki fisik yang sama persis dengan orang tuanya. Belum lagi jika aku melihat adikku yang baru saja lahir dengan kondisi warna yang tentu saja berbeda denganku. Pedih.

Lambat laun itu semua tergantikan ketika aku mulai dewasa. Ketika aku mulai mengerti hidupku yang dulu kadang membuatku hingga membuka akta kelahiran berkali kali, meyakinkan bahwa aku memang anak kandung. Ketika aku mulai memahami biologi bahwa ini semua karena faktor genetik yang diwariskan oleh kakekku melalui ibuku. Ketika aku semakin paham dengan keadaan sekitar, keadaan diamana tidak hanya aku yang merasakan hal ini. Ada beberapa orang yang merasakan hal yang sama, bahkan ada yang lebih parah. Ketika aku mulai mensyukuri karunia kehidupan dari Sang Maha Pecinta hamba-Nya. Ketika aku mulai menyadari bahwa segala sesuatu akan indah pada waktunya. Ketika aku tersadar bahwa betapa adilnya dunia ini. Kunikmati betapa berartinya kehidupan seseorang jika ia bisa menghadapinya dengan tabah dan bisa mengambil semua itu menjadi pelajaran penting baginya. Aku pun mulai senyum kepada dunia ini. Apalagi ketika ada yang mengatakan bahwa aku sangat mirip dengan ayahku, ada beberapa sifat yang kuwarisi darinya. Hingga suara ku juga sangat mirip, karakter, gaya berjalan, dan hampir semuanya. Semakin lebar senyum yang kupampang di wajah hitam ini.

Yang menjadi rahasia adalah aku mengenyam pendidikan dasar TPA di sebuah masjid terbesar di kota Lhokseumawe. Aku belajar a ba ta terlebih dahulu di taman pendidikan alquran ini dan ketika menginjak ke sekolah dasar aku sudah bisa membaca Alquran dengan baik. Aku mendapatkan pengajaran a b c dan 1 2 3 hanya dirumah dengan ibuku. Dan rasa syukurku yang tak pernah luput kepada Allah adalah Karena aku adalah anak pertama, maka waktu belajar yang dibeerikan untukku sangat banyak hingga akupun dengan mudah dan cepat dalam hal membaca dan menulis. Disekolah, aku tinggal meneruskannya saja. Dan ditempat inilah nama panggilanku berubah. Dan panggilannyapun kurang menyenangkan, yaitu ayam. Panggilan hewan ternak yang sangat berjasa di waktu subuh ini kerap dimulai ketika aku dan teman-teman kecilku sedang makan pada jam istirahat. Satu per satu darikami mengeluarkan bekal yang dibawakan dari rumah. Kami saling bertanya satu sama lain tentang lauk dan apa yang dibawa teman-temannya. Kami pun mulai membuka Tupperware kami masing masing.

“wuih nasi goreng nih, trus kau cuma nasi putih dan telur dadar dengan sedikit sambel serta kecap.” Kataku sambil melirik bekal makan temanku.
“memang kau bawa apa Arrayyan?” Tanya mereka penasaran. Kubuka Tupperware milikku yang bertuliskan nama lengkapku pada bagian atas tutupnya. Dengan semangat empat lima yang berkobar kuteriakkan dengan keras “AKU AYAAAAAAAAAM” sejurus kemudian kelas yang mulanya gaduh bagaikan pasar tiba-tiba hening sejenak sambil semua mata menuju ke arahku. Lalu seorang bocah yang nantinya kupanggil dengan sesama ternak yaitu Bebek, bangkit sambil menunjukkan jarinya kearahku dan dan berteriak juga dengan keras.”DIA AYAAAAAM, NAMANYA AYAM” seisi kelas pun mentertawaiku sambil meneriakkan hewan yang sama, “ayaaam ayaaam, haaahaha ayaaam”. Spontan aku menjadi bengong dalam bingung. Heran dengan teriakan-teriakan aneh itu. Dalam benakku kukatakan “ah, bodoh amat, ayam goreng ini nikmat sekali” kulahap tanpa memperdulikan sekitar. Hingga panggilan ini berlangsung hingga enam tahun di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kutablang ini. Panggilan demi panggilan dengan hewan ternak pun menjadi tren dikelasku. Karena aku tidak mau kalah dengan panggilan ayam, maka akupun memanggil mereka dengan nama hewan pula, mulai dari bebek, kucing, kambing, kerbau, hingga ada gorilla juga, kelasku bisa jadi kebun binatang, sometimes. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar