Jumat, 05 Juni 2015

Sparkle: IV The Holy Jail

Nama adalah Cerita
Sparkle IV
The Holy Jail
            ‘braak’ pintu lemari kuhentakkan dengan keras karena aku sedang diburu waktu. Tanpa membawa buku aku langsung berlari bergegas dari kamarku. Dengan tangan yang masih memasukkan kancing baju, kemudian memasukkan sabukku ke besi pengaitnya yang sudah melingkar di pinggangku. Kudengar gema suara dari speaker TOA, suara hitungan dari satu sampai sepuluh oleh ustadz yang bertugas piket, dan itu telah melangkah ke hitungan ketujuh. Jika aku tidak sampai untuk apel rutin pagi didepan kantor dalam hitungan kesepuluh, habislah aku, hukuman memvonisku. Aku pun berlari dan dihadapanku ada anak-anak kelas dua yang sedang memakai sepatu dengan sibuk didepan papan-papan tempat menyusun sepatu mereka, dan itu adalah jalan satu-satunya menuju tangga yang dihalangi dengan desak. Aku tidak peduli dengan anak kelas dua, karena pikiranku cuma sampai ke depan kantor dengan selamat, tanpa terlambat. Aku tidak mau terlambat karena yang sedang piket adalah ustad Abdul Manan, ustad paling disiplin serta sangat tegas mengenai waktu. Satu-satunya yang pernah ada.
            Aku tidak peduli lagi, langsung saja aku terobos mereka yang belum selesai memakai sepatu. Aku tidak sadar kalau aku merubuhkan seorang personil kelas dua yaitu Iqbal SB. Gubraak! , ia terjatuh, karena tidak dapat menyeimbangkan badannya yang agak gempal, aku menoleh ke arahnya yang sedang bangkit dan kemudian berteriak keras bagaikan tokoh super hero Marvel HULK yang sedang marah.
            ``WOOY ANAK BARU !! AWAS KAU NANTI !!!”
Aku tak peduli walaupun ketakutan, aku terus berlari sekencang kuda, tangga kulompati bagaikan ninja, dinding kupanjati layaknya spiderman, ah, tidak, tidak ada dinding didepan tangga. Dalam pelarianku, aku bergumam “Sial, lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau’’. Saat ini nasibku layaknya Negeriku Tempo Doeloe, tapi, negeriku sudah merdeka, penjajahan atas dunia pun telah dihapuskan. Walaupun saat ini negeri biadab israel masih bersarang di bumi suci Palestina, semoga Allah menempatkan mereka di dasar Jahannam. Lalu bagaimana nasibku nanti? Apakah aku akan bonyok? Babak belur? Atau sama seperti anak palestina yang tak bersalah ditangkap lalu disiksa oleh makhluk-makhluk tak berakal itu? Naúdzubillahi min dzalik, Ya Allah semoga saja tidak terjadi apa-apa.
Setibanya di depan kantor, aku pun langsung menuju kedalam barisan dan berdiri dengan perasaan takut, nafasku terengah-engah, jantungku berdegup kencang, sangat kencang, akupun mencoba menenangkan diri sambil kembali mengatur nafasku. Lalu kulihat kebelakang segerombolan santri lainnya yang berlari dan selamat dari keterlambatan dan disusul dibelakang mereka, seorang berbadan besar, gempal, susah baginya untuk berlari dengan cepat. gempal, besar, dan berkulit terang. Persis. Karena ia tertinggal dibelakang, maka Iqbal SB dan beberapa santri lain digolongkan menjadi santri yang terlambat karena waktu hitunganpun sudah berakhir. Mereka digiring untuk maju dihadapan kami yang tidak terlambat untuk siap diberikan hadiah oleh ustad Manan. Lalu merekapun disuruh untuk berdiri sejajar satu baris dihadapan kami semua, berdiri untuk dipermalukan. Kulirik wajah mereka satu persatu, tiba di wajah Iqbal SB yang kulihat, ternyata dia sedang menatapku dengan penuh emosi, seperti Hulk yang siap melompat dan menerjangku. Mulutnya bergerak seakan berkata padaku dari jauh  “Awas kau nanti”. Jleb!! Isyarat yang ia sampaikan itu membuatku tersentak dan kaget. Aku ketakutan. Jantungku berdendang tak beraturan kembali. Kulit hitam-manis-ku mulai menuangkan keringat dingin.
            Setelah apel pagi kami pun bergegas menuju kelas masing-masing. Aku masuk ke kelas setelah kembali dari kamar untuk mengambil buku-buku pelajaran hari ini. Saat belajar, aku tidak konsentrasi, dibenakku “Cuma ada kamu, sayang,” ah, bukan. Dalam pikiranku cuma  terbayang bagaimana nasibku nanti ketika aku bertemu dengan Iqbal SB. Apa aku bakal bonyok, dihujani dengan pukulan dari tangannya yang gempal, hingga aku mengalami terkilir, bahkan tuangku patah, hingga harus dibawa kerumah sakit dan yang paling mengerikan adalah harus di amputasi. Ah, tidak tidak. Apa yang aku pikirkan? Itu tidak mungkin terjadi, tetapi perasaanku berkecamuk badai. Wajar aku masih santri kelas satu Tsanawiyah, santri paling junior ditempat ini.
            Karena tidak konsentrasi lagi dengan penjelasan oleh guru, maka aku memutuskan  untuk keluar kelas dengan alasan ke toilet, sekedar mencari udara segar. Tetapi bukan udara segar toilet. Siapa yang bisa menjamin kalau udara segar ada ditoilet? Tidak ada, itu semua hanya ada diiklan-iklan televisi. Yang dibuat mengada-ngada. Seperti ketika pergi ke toilet serasa pergi ke taman berbunga yang indah dan menyegarkan. That’s just BULLSHIT. Paling tidak toilet yang dikenakan tarif saja yang hanya terlihat bersih. Bukan harum menyegarkan. yang paling sering didapati adalah –apalagi toilet di sekolah-sekolah malah gelap menyeramkan. Hingga banyak adegan-adegan film horor yang menggunakan jasa toilet kumal sebagai salah satu tempat paling horor. Tetapi toilet ini tidak begitu menyedihkan walaupun sering terekam oleh hidung semerbak aroma yang agak menusuk hingga ke saluran eustachius.
            Aku melangkah dengan teruntai menuju sudut bak besar yang membentang sembari kucelupkan tangaku kedalam air bak besar yang sudah terisi penuh. Kuputar tuas kran air berwarna merah yang agak keras dihadapanku. Air meluncur pelan, kubasuh tangan ku, wajahku, kemudian rambut jigrakku dengan air yang meluncur keluar secara perlahan dari kran. Kuputar lagi tuas itu hingga air yang keluar pun lebih deras dan mengeluarkan suaranya. Aku gelisah, kubasuh lagi wajahku dengan berharap basuhan air ini dapat menenangkan gelisahku hingga lenyap. Tapi nihil, tetap saja ancaman tadi masih menghantui pikiranku. Pikiranku kacau, aku tidak tahu harus kabur atau sembunyi di habitat yang seukuran gelas kecil ini. Kucelupkan kepalaku kedalam air yang berwarna keemasan tanah, hingga air mengubur seluruh kepalaku. Ingin rasanya kuhempaskan segala kepenatan ini dengan berteriak dengan keras didalam air.
Tiba-tiba seseorang memukul pundakku, aku tersentak kaget. Aku menoleh dan byuuur, wajahku disirami dengan air sebelum aku dapat melihat siapa orang ini. Kuusap wajahku. Kerah bajuku ditarik kearah wajahnya dengan kasar. Kembali aku dikagetkan karena aku tahu persis siapa pemilik wajah ini. Iqbql SB. Iqbal SB. Penyandang nama asli Muhammad Iqbal ini ditambah dengan inisial SB atau Samsul Bahri, nama sang ayah. Inisal ayahnya dipampang karena ah, sudahlah, semua orang juga sudah menyadari bahwa nama Iqbal dengan Muhammad sebegai nama awalnya adalah nama populer. Lebih tepatnya pasaran. Begitu banyak anak yang lahir dengan menandang nama ini. Dikelas sekolah dasar ku, ada 6 orang penyandang. Belum lagi dikelas lainnya. Agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, maka para penyandang nama Muhammad Iqbal menyambung nama mereka dengan inisial nama ayah mereka. Ia bernama M.Iqbal SB dan dikelasnya ada Iqbal S, juga Iqbal Y, mereka bisa di kombinasikan menjadi Iqbal SBY. Nama pemimpin Negara ini selama dua periode.
            Aku telah berada dalam keadaan yang sangat mengerikan. Nasibku sedang diujung tanduk. Walau sebenarnya tidak ada anduk, melainkan sebuah bak besar. Aku ketakutan, bingung, karena aku sudah berada dalam tengkraman orang yang dari tadi membuatku gelisah. ketika seperti ini aku tidak mungkin bisa melawan badan gempalnya ditambah ia bersama seorang teman kelas dua kurus nya. Mat Husen. Tidak ada cara lain selain menyodorkan maaf, atau bahkan kalau bisa aku mentraktirnya. Itu lebih baik daripada aku babak belur. Ide-ide cemerlang tak mau hadir dikepalaku, karena sudah dipenuhi rasa takut.
            “ma mamaaf, a a aku tidak sengaja” aku memelas dengan gemetar. Ia menarik kerahku dengan kasar hingga aku menjinjit. Kemudian dihempasnya tubuh kecilku kedinding.
            “maaf? Gara-gara kau, aku harus menerima hukuman yang seharusnya milikmu. Kau anak baru sudah berani macam-macam ya? Kuhantam wajah hitammu ini baru tahu rasa kau” hardiknya dengan bengis. Bhugh!! Tangannya yang gempal berlabuh di tembok, bersebelahan dengan wajahku.
            Sobat pasti tahu kondisi jantungku saat ini. Gemuruh badai langit yang mengamuk. Seperti itulah mungkin. Mat Husen mencoba menenangkan Iqbal SB, tapi ia tetap tidak peduli. Hingga suaranya makin keras membentakku. Hingga akhirnya Allah mengutus malaikat untukku.
            “Woy, SB!! Apa yang kau lakukan? Hah? Itu anak baru. Kau pikir mentang-mentang tubuhmu besar dan usiamu berada diatas, kau berlagak hebat?
            “Berisik kau Sinnon!! Bukan urusanmu!!
            Ia datang diiringi dengan tokoh-tokoh besar kelas tiga lainnya dibelakang dan melepaskanku dari terkaman SB. Aku selamat
“sudahlah, pergi sana. Sebelum kulakukan hal yang sama.”
“aku bilang ini bukan urusanmu! Kau yang pergi!” bantahnya.
“hey tambun! Kau tidak dengar?” ucap Zulfikar Abed, tokoh paling tinggi dan besar di kelas tiga sambil menatapnya. Ia pun ingin segera bertindak namun dicegah oleh Sinnon karena ia tidak mau masalah ini menjadi lebih besar. Begitulah yang dipikirkan anak muda yang menyandang nama asli Agus Salim ini.
Iqbal SB pun beranjak pergi setelah dipaksa oleh Mat Husen dan juga tidak kuat menatap tatapan bengis dari tokoh-tokoh besar kelas tiga. Sempat ia berbalik untuk kembali mengancamku, namun ia urungkan karena aku dikelilingi paa tokoh besar kelas tiga.
“hey, kau tidak apa-apa? Jika kau punya masalah datanglah pada kami. Kami senior siap membantu kalian. Tidak usah takut.”
“aku tidak apa-apa. Terima kasih.” Ucapku sambil merapikan kembali kerah kemeja seragamku yang telah basah.
“kalau kau perlu bantuan, apapun itu datanglah. Termasuk mengerjakan PR mu. Kami ada di ujung. Kamar 6.”


            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar