Jumat, 05 Juni 2015

Sparkle : III Nightmare?

Sparkle : III
Nightmare?
   Padahal bibir ini telah kubasahi dengan dzikir sebelumku terlelap. Berharap Ilahi menjaga tidurku dari gangguan. Namun ia hadir kedalam mimpiku. Orang yang sering menjutakan imajinasiku dalam semesta pikiran. Dengan keindahan yang sering kupahat melalui kata-kata di atas lembaran-lembaran hampa. Namun Senyumnya yang merekah lembut itu mendekat. Meraih tanganku untuk bersanding bersamanya. Di bawah siraman cahaya rembulan yang dikecup gemintang, dengannya aku bercengkrama ria, mesra. pun ia merebahkan kepalanya di pundakku.

    Aku terjaga. Gelisah merekah hati, mencengkram perasaan. Aku gundah, bingung, keringat yang membasahi kening ini kuusap. Kuberanjak untuk mensucikan diri dengan berwdhu dan kulanjutkan dengan mengecup bumi dalam sujud shalat malam..
Ini pasti mimpi. Pasti iblis telah menjebakku dengan menjelma dalam tidurku. Kembali ku munajatkan perlindungan kepada Ilahi Rabbi. Tapi ia kembali hadir dalam lelapnya mimpi ini. Tapi apa mungkin ia adalah sosok jelmaan iblis. Aku yakin bahwa Allah telah menjaga tidurku melalui doa dan dzikir yang diajarkan Nabi.

   Tapi sosok indah dengan pakaian serba merah itu muncul lagi. Melalui senyum lembutnya ia berpesan agar aku segera menjemputnya, bersanding mesra hingga uban-uban menua. Dan berharap kembali bahagia di Jannah ilahi disana. Nanti.

  Saat-saat dimana aku sering terhempas karenanya adalah ketika mata ini tak sengaja memperhatikan, adalah ketika ia mengenakan pakaian serba merahnya, menyelimuti tubuhnya secara menyeluruh. tak berlekuk. Seakan ia masuk ke semesta pikiranku. Ia menari, berlari ria dengan senyum indah yang melekat lembut di wajah manisnya. Mengitari damainya semesta pikiranku yang tenang, seperti teduhnya malam yang dihiasi gemintang dan siraman cahaya rembulan. Kembali ia merekah senyumnya. aku terpaku, bertekuk lutut dalam pengaguman keindahannya.

    Annisa H. Slaneva, sebuah nama yang terpahat lembut bagai senyumnya saat ia mengucapkan jakallahu khairan . Kerap kutahu namanya saat secara tak sengaja sebuah kartu tanda pengenalnya tercecer dari sebuah tas yang ia rangkul. Aku memungutnya dan bergegas kuu kejar ia yang sedari tadi tidak sadar hampir menghilang di penglihatan.
   
     “excuse me! Hey” kataku setengah berteriak sambil berlari mengejarnya.
   Ia menoleh dan BUMM!! Sesuatu terjadi saat ia toleh pandangannya kearahku yang sedang mencoba mengatur nafasku yang berhenti sejenak. Bukan slow motion lagi, tetapi stop motion.
    “ng?”  
    “Annisa H. Slaneva, right?”
    “yah, sure.” Jawabnya dengan sedikit penasaran.
    “I think you just droping this” sembari kusodorkan ktp nya.
    “Its yours?”
    “Masya Allah, sure, its mine. Thank you. But, bagaimana kau yakin ini punyaku?”
    “Aku melihat saat kau berjalan menuju gerbang, ketika kau mengambil sesuatu dari dalam tasmu, dan ktp ini terjatuh.” Paparku sambil berusaha sekuat tenaga agar tidak salah tingkah atau bahkan bertingkah aneh. Keep calm and stay cool. Walau tatapan dinginnya membekukan serta hamper membuatku menggigil karena gugup.
    “Ooh, begitu. Oke, over all  Jazakallahu khairan .” Haturnya dengan senyum nan lembut sambil memasukkan kembali tas selempang mungil yang memeluk bahunya. Senyum menawan yang membuatku kaku bisa disimbolkan dengan karakter seperti ini (^_^). Terhempas lagi, aku.

    Kembali aku memikirkannya, raut wajah, dan nama yang ia sandang. Annisa H. Slaneva. Seperti nama asing, atau nama orang eropa, atau nama orang Rusia. Apakah dia berdarah campuran? Sepintas dari raut wajah yang kuperhatikan, tidak ada ciri khusus. Seperti warna bola mata yang kebiruan atau hidung yang mancung atau postur tubuh yang lebih tinggi. Tapi sepertinya tidak.. Ia  layaknya gadis di Indonesia kebanyakan. Berwajah bulat dan berhidung biasa dan juga postur tubuh yang biasa.

   Selama setahun hidup dalam rantauan di Tanah Siger ini, ada beberapa hal baru yang sedang kupelajari. Seperti ilmu psikologi sederhana tentang bahasa tubuh seseorang, ekspresi, raut wajah, hal ini kudapati dari saat aku mendalami seni sulap. Pun juga kupelajari berdeduksi, ilmu baru yang kudapat melalui tokoh fiktif Sherlock Holmes. Melalui novel tentunya. Walaupun aku tidak menghadapi kasus pembunuhan atau sebagai seorang detektif, ini kupelajari hanya untuk mendalami karakter seseorang, sifat dan wataknya, respon dari candaan, berbicara, tertawa, mengejek, diejek, atau saat keseharian lain dalam kehidupan.

   Kucoba berdeduksi dari raut wajahnya saat setelah ia mendengar penjelasanku bagaimana aku tahu kalau itu kepunyaannya, ia menjawab dengan kalimat ‘Ooh begitu’. sepertinya ada kalimat lain didalam nya. Kemungkinan besar : “Ooh begitu, ternyata kau yang sering memperhatikanku?”. Atau, “Ooh begitu. Kau mau modus dengan kesempatan ini?”

   Atau mungkin seperti, … ah tidak! Ada apa denganku? Kenapa aku memikirkannya sampai sejauh  ini? Apa yang membuatku hingga terbangun dari lelapku, pun ia hadir di mimpiku. Mungkinkah ini … tidak, tidak. Aku tidak mau jatuh cinta semudah ini. Ini bukan cinta. Aku sudah berkali-kali bertahan dari gelombang godaan seperti ini. Dan aku tidak mau hal-hal serupa. walau kali ini berbeda, ini lebih murni, tanpa dusta, tanpa reka, tanpa terka. Ini suci dan lahir dari batinku sendiri.  
   
    Tak pantas ini kusebut cinta, karena memang ini bukanlah cerita cinta atau tentang ungkapan apa yang hati rasa. Layaknya cerita-cerita basi yang marak bergema. Tapi ini cerita suka, ceita duka, cerita hina, tangis dan tawa, senyuman dan jeritan, segala aspek kehidupan yang ilahi cipta, bukan apa yang manusia reka.
                                                                                 --oOo—

    Terkadang hidup ini bisa dianggap sebuah film dan kita adalah sang aktornya.  Tuhan sebagai sutradara yang mengatur setiap segmen dan segala adegan. Melalui scenario yang telah diciptakanNya dengan sempurna. Demi menggapai sebuah tujuan untuk bisa menjadikan film yang bisa menggema di segala indera pemirsa, maka actor haruslah mengikuti setiap adegan yang ada pada scenario yang telah dibuat oleh sang sutradara. Jika tidak maka kacaulah sebuah film itu.
   
    Begitu juga hidup ini. Allah telah menentukan takdir kisah hidup seorang manusia yang telah diciptakanNya. Melalui takdir yang disebut scenario inilah manusia menjalaninya. Tapi terkadang mansia melupakan scenario itu. Bahkan membelakangi sang sutradara. Seolah mencoba berimprovisasi, berakting dengan sesuka hati. Tanpa peduli dengan resiko dari meninggalkan scenario dan sutradara.

    Skenario yang sering ditinggalkan saat ini adalah AlQuran. Ini dianggap tidak rasional, tidak logis, tidak masuk akal. Padahal tidak ada kitab suci yang menuliskan secara rinci tentang kehidupan yang ada di alam jagat raya ini. Tentang penciptaan manusia, bumi, tata surya, langit dan semuanya telah jelas dan detil disebutkan didalamnya empat belas abad yang lalu, dimana tekhnologi pada saat itu belum bisa menjangkaunya


    Tetapi umat mslim pada saat itu memiliki sebuah visi yang tidak dapat dilihat atau dijangkau oleh indera. Gila. Memang inilah sebutan orang-orang yang tidak percaya dari apa yang disebutkan. Sebutan ini juga seing dilontarkan kepada Rasulullah saw. Oleh orang-oang yang membencinya. Hingga pada akirnya kenyataanya terbalik benarlah semua apa yang dituliskan dalam AlQuran empat belas abad yang lau dibuktukan dengan teknologi masa kini yang super cangih.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar