Jumat, 05 Juni 2015

Sparkle: II Kemana Ia?

Sparkle : II
Kemana ia?
 “Yaah, gerbangnya udah ditutup” keluhku ketika melihat ibu guru menggerakkan gerbang untuk menutupnya. Anak-anak lainnya berlarian berburu masuk kedalam kastil pendidikan dasar yang bertaraf agama. Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kuta Blang, Lhokseumawe. Begitu nama yang terpampang di prasati modern di sebelah gerbang hitam yang telah tertutup rapat. Dijaga ketat oleh guru yang bertugas hari ini, selasa. Ia berdiri dengan gagah dan tatapan bengis. Dilengkapi dengan senyuman terbalik yang dihiasi lipstick merah yang sangat terang spesialnya. Gawat!! Ibu Ruhmi, ibu Ruhmi hari ini yang bertugas piket. Dia lah yang sedang berdiri didepan gerbang dan mengatur barisan anak-anak terlambat yang mulai berdatangan.
 Aku turun dari kendaraan ayahku setelah kuciumi punggung tangannya dan menerima uang saku. Kuayunkan kaki dengan pelan saja, karena aku sudah tahu kalau aku terlambat. Gebang juga tidak akan terbuka jika aku berlari sekencang kuda. Gerbang juga tidak akan berlari jika kukejar. Aku melangkah dengan santai sampai teriakan keluar dari kerongkongan ibu Ruhmi dengan keras.
 “Hey hey,cepat cepat CEPAAAAAATT!!! Udah tau telat, malah jalan pelan lagi!! Sini baris!!” Omelnya sembari mencengkeram tas yang sedang erat memeluk bahuku. Aku hampir terpungkal. Kutatapi lagi raut wajahnya yang sedang mengalir darah militer. Suram. Aku dan anak-anak terlambat lainnya sedang menanti bergesernya gerbang hitam ini agar bisa memasukinya. Karena keterlambatan, kami hanya bisa terlebih dulu menatapi mereka yang berbaris dan masuk kekelas hingga halaman sekolah berbatako merah dan yang terukir garis untuk lapangan badminton itu senyap dan harus meratapi vonis hukuman oleh ibu Ruhmi. Tidak perlu tegang Sobat, hukumannya hanya membersihkan sampah yang tersisa, seperti serpihan kecil bungkusan permen yang harus menggunakan gigi seri untuk membukanya. Sekecil itu. Aku sering menyebutnya sampah mikro karena ukurannya yang terlalu mini untuk bisa diangkut dengan jari. Jika kau tidak mendapati sebutir sampah sekecil apapun itu maka, kau tidak akan diizinkan masuk kelas.
 Setelah aku dan para personil terlambat lainnya mengunduh sampah-sampah mikro itu, kami harus menemui Ibu Ruhmi yang sedang duduk dibangku panjang yang ada disebelah pintu kelas IV B. Ibu Ruhmi duduk dengan mengayunkan sebuah pena berwarna merah diatas buku besar double-folio yang berwarna merah pula. Beliau mencatat kami para murid yang terlambat dengan menanyakan nama, kelas, dan alasan mengapa kami terlambat. Satu persatu dari kami diinterogasi kecil dan aku, adalah langganannya. Jika sobat melihat buku itu dan muncul namaku, aku selalu mengatakan pada Bu Ruhmi alasan keterlambatan yang sama dan basi. Mules atau kebelet atau sakit perut. Tentu dengan sinonim yang berbeda. Walau aku menjadi langganannya, beliau tetap bertanya dan menulis nama-nama kami tanpa menatapi wajah-wajah imut kami yang mulai bepeluh keringat.
 Setelah interogasi pun kami langsung menuju kelas yang sedang berdering dengan suara murid-murid yang sedang membaca do’a sebelum pelajaran berlangsung. Diawali dengan melantunkan ayat suci surat pendek yang terdapat dalam juz 30 dari Alquran yang dipimpin oleh seseorang didepan kelas. Ia melantunkan suaranya yang nyaring -jika suaranya nyaring- dengan tenang, ayat demi ayat kemudian diikuti oleh murid lainnya.
 Kuayunkan langkahku dengan sedikit cepat sambil menenteng sebuah keranjang sampah menuju sebuah ruangan yang dihalangi oleh sebuah pintu berwarna coklat gelap dan tergantung disudutnya dua lembar papan kecil yang dihubungkan dengan rantai dan bertuliskan KELAS V B dan KELAS II B. kelas yang digunakan 2 kali dalam sehari. Pada pagi hari kelas ini dihuni oleh kelas lima dan pada petang hari dihuni oleh kelas dua. Hampir setiap kelas menjadi dwifungsi, karena komplek sekolah yang tidak begitu luas tetapi murid yang semakin melonjak setiap tahun. Angkatan tahunku ketika awal kelas satu mencapai hingga 5 kelas, yaitu A, B, C, D, hingga E. karena keterbatasan kelas dan sekolah masih dalam masa pembangunan, pihak sekolah akhirnya memutuskan untuk meminjam sekolah tetangga yang ada dihadapan sekolah kami. SDN 11.
 Setibanya dihadapan pintu kelasku, kuputar gagang pintu sambil kulontarkan salam kedalam kelas dengan suara pelan, hampir tidak didengar. Ibu Rohamah, wali kelasku yang juga ramah seperi namanya sedang berdiri tidak jauh dari pintu, hanya beliau yang menjawab. Karena yang lain masih dalam lantunan ayat suci Alquran. Ketika kulangkahkan kaki  yang ke dua kedalam kelas yang agak remang, sekitar lima puluh delapan pasang bola mata menatapku. Aku tersentak, gugup. Kemudian kuletakkan keranjang sampah berwarna hijau kumuh diatas serokan merah dengan gagang yang hampir punah di sebelah sapu yang berada disebelah pintu kelas. Pun aku menuju ibu guru untuk kutuah punggung tangannya, dan tanpa basa-basi lagi langsung menuju mejaku yang berada di urutan paling belakang. Kudaratkan tubuhku diatas kursi dan menghela napas panjang. Pfiiuuuh, lumayan lelah untuk pagi ini.
 Dayat, teman semejaku, yang telah tiba lebih dulu dariku sedari tadi. Terkekeh ia ketika melihatku lalu menyalurkan dan membuka telapak tangannya. Ia mengajak toss, kusambut  tossnya dengan senyum tanpa menanyakan alasan padanya. Apa yang ada didalam kepala anak yang menyandang nama asli Hidayatullah ini. Perlu kusampaikan sobat, setiap kawanku pasti memiliki sisi keanehan yang nyaris hampir abnormal. Dayat, salah satu keanehannya adalah ia sering menyanyikan lagu “God is a Girl”-nya Avril Lavigne, tetapi yang remix atau full house. Yang biasa diputar dengan volume akhir di angkutan-angkutan umum yang berinisial “labi-labi”. Tentu saja ia menyanyikannya lengkap dengan suara DJ dan music remixnya. Bukan beatbox yang ia dendangkan, lebih tepatnya mulutnya seperti pemutar rekaman yang sudah lama tidak diganti batu baterainya. Meskipun begitu ia tetap teman tinggiku dikelas V b ini.
 Aku duduk bersamanya di bangku paling belakang karena peraturan yang berlaku ialah yang paling tinggi maka ia yang paling akhir harus menempati kursinya. Tetapi aku sempat berfikir dalam kelas ini ada suatu ketidak adilan dalam penempatan posisi tempat duduk. Aku merasa ada yang lebih tinggi dariku. Abdil Ridha, buah hati Ibu kepala sekolah, sering kali kubandingkan tinggiku dengannya, kutaksir selisihnya sekitar tujuh atau delapan senti meter. Tetapi ia duduk ditengah sedangkan aku ada di paling belakang. Ini tidak adil menurutku. Ada beberapa kemungkinan yang terlintas dalam benakku. Pertama, karena ia anak kepala sekolah. Kedua, ia anak kepala sekolah. Ketiga, ia adalah anak kepala sekolah. Jadi tidak ada hak bagiku untuk memprotesnya pada wali kelasku. Hingga harus meneriakkan “bu, bu, ini tidak adil. Mentang-mentang Abdil anak kepala sekolah dia nggak boleh duduk dibelakang? Padahaldia lebih tinggi dari saya bu!!”. Sangat tidak sopan menurutku. Toh indera pendengar kita juga masih dalam fungsi dan keadaan yang sama. Kita bisa menyantap pelajaran dengan keadaan sama. Aku hanya tidak bisa menerima karena oh, ini masalah kulit kawan. Warna kulit. Dengan radiasi yang sangat minim atau bisa disebut remang, aku akan terlihat aneh jika duduk di belakang. Yang terlihat hanya beju putih dan bola mataku saja, kemudian gigiku ketika senyumku melebar. Karena oh tidak, lagi-lagi. Karena kulitku gelap. Betapa tidak, cahaya yang redup dan posisi tempat dudukku yang ada diurutan paling belakang. Namun kemudian kusimpulkan saja dalam pasrah, terserah pada Tuhan Yang Maha Mengetahui sajalah.
 -oOo-
 Dalam kehidupan, manusia berusaha melakukan kebenaran dan mengharapkan balasan kebaikan. Tetapi kadangkala ketika telah bersusah payah melakukan kebaikan malah keburukan bahkan kehinaan menerpa diri. Hal ini pernah dialami oleh teman ku yang menyandang salah satu nama Islami yang populer, Nurul. Saat itu adalah pergantian jam pelajaran ketika kelas masih dalam penantian guru selanjutnya, tiba-tiba saja pintu terbuka dengan cepat. Kami menyaksikan seorang ibu berbadan agak gempal, bermata seperti sedang silau terkena cahaya, padahal kelasku remang. Dan yang paling special darinya yaitu lipstick merahnya yang menghiasi bibirnya.Ibu Ruhmi, itu ibu Ruhmi. Ia masuk dengan menggenggam penggaris kayu inventaris sekolah yang berwarna kuning. Ketika ia masuk, imajinasiku bermain agak berlebihan. Ia masuk seperti menendang pintu. Gubraaak!! Ia masuk sambil rolling dengan senjatanya. Dan penggaris kayu itu seolah adalah sebuah senapan mesin. Gawat! Ini adalah era konflik RI dengan GAM. Siapa perwira ini, dari battalion mana? Apakah dikelasku ada mata-mata ataukah musuhnya?
“SIAPA PIKET HARI INI? SIAPA?” teriaknya lantang layaknya komandan.
“CEPAT CEPAT KELUAR!! BERSIHIN ITU SAMPAH YANG ADA DIDEPAN KELAS”. Makin besar suaranya, ia berteriak sambil menembakkan ke atas.
            Kemudian dengan kesal ia menenyakan siapa yang piket pada hari selasa ini sambil masuk ke barisan meja dan mendarat persis dimeja Nurul yang sedang berdiri karena ia yang bertugas piket hari ini. Ia berdiri dengan lunglai, terakhir baru kuketahui kalau ia sedang dalam keadaan sakit hari ini.
            “KAMU YANG PIKET HARI INI? HAH?” Tanya Bu Ruhmi. Nurul mengangguk pelan.
            “KAMU TIDAK DENGAR BARUSAN? IBU SURUH KELUAR?” suaranya panas. Belum sempat Nurul melangkah, sebuah ayunan keras dari penggaris kuning pun mendarat di punggungnya. PLAAAKK!! Nurul tak berbunyi, ia langsung melangkah keluar kelas dengan air mata yang mulai membasahi wajahnya. Hampir semua dari mereka yang piket pada hari ini ditebas oleh Bu Ruhmi. Kecuali ada satu orang yang kerap kuketahu kalau ia adalah someone specialnya Bu Ruhmi. Ridwan namanya, murid yang antah-berantah mengapa dispecialkan oleh beliau. ia tidak pintar, tidak juga mengidap penyakit parah, atau berkebutuhan khusus. Ia juga normal seperti murid lainnya. Tetapi hampir selalu kami temukan kalau ia seperti dilindungi oleh ibu Ruhmi. Apakah ia anaknya komandan ibu Ruhmi?

            Setahun berselang, banyak yang berubah. Seperti kelas yang telah memisahkan antara murid laki-laki dengan murid perempuan. Dan ada hal yang penting yang juga berubah dalam insiden tahun lalu yaitu ibu Ruhmi dan Nurul Ulia. Saat upacara Bendera, kuamati para Guru satu persatu dari wajah mereka, tidak kutemukan. Semakin hari juga tidak kutemukan. Pun Nurul Ulia. Kemana ia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar